Seperti pada hari libur lainnya, hari ini pun toko buku tempat Sana bekerja terlihat lebih ramai dari hari-hari biasa. Beberapa pembeli yang ingin membayar tampak mengantri di empat mesin kasir yang ada. Di depan meja kasir yang di jaga Sana ada empat orang pembeli yang mengantre, dan sekarang menjadi lima orang dengan bertambahnya seorang pembeli lagi. Sana melirik pembeli di antrean terakhir, menghela napas panjang setelah melihat siapa pembeli itu. Joe dengan tubuh tingginya berdiri di sana, menutupi pemandangan yang ada di belakangnya.
"Terima kasih." Sana tersenyum, memberikan kantong plastik berisi buku ke tangan seorang remaja perempuan yang berdiri di depannya. Pembeli yang berada di posisi antrean keempat.
Gadis remaja berwajah oriental itu menrrimanya dengan riang, dia tersenyum membalas senyum Sana.
"Sama-sama. Terima kasih juga, Kak Sana," ucapnya sebelum meninggalkan meja Sana.
Sana mengangguk. "Iya," jawabnya sambil melambai ke arah gadis itu yang juga melambai kepadanya.
Sana memang selalu bersikap ramah seperti itu kepada setiap pembeli yang membayar di mejanya, kecuali pada pembeli yang satu ini. Rasanya sangat sulit untuk beramah-tamah pada Joe meskipun terpaksa. Pemuda ini selalu dan terlalu mengganggu baginya.
Joe meletakkan buku yang dibelinya di atas meja Sana. Memasang senyum terbaik ditujukan kepada perempuan itu, tentu saja senyum yang membuat perempuan-perempuan di kampus mengejarnya. Namun selalu tak mempan kalau di depan Sana. Buktinya perempuan satu ini tetap seperti biasa, tak pernah berubah. Tetap cuek dan datar padanya, senyum pun terpaksa.
Sana menyebutkan harga dari buku yang dibeli Joe dengan suara yang nyaris tak terdengar. Entah kenapa, tapi seolah ada yang mengganjal di tenggorokannya. Dia tidak ingin jari mereka bersentuhan seperti beberapa hari yang lalu, karena sengatan listrik masih bisa dirasakannya sampai sekarang kala mengingat kejadian itu. Bahkan pipinya juga ikut memanas.
"Maaf, Mbak, tapi gue nggak denger lu ngomong apa?" Joe meringis. Entah suara Sana yang memang tidak keluar atau memang telinganya yang sedang bermasalah sehingga perkataan Sana tidak terdengar.
Sana mengangkat wajah, mendongak menatap Joe sekilas, segera membuang muka setelah itu. Dia tidak ingin Joe melihat rona merah di pipinya yang dia yakin sangat kentara.
Namun, Sana terlambat. Meski sekilas tapi Joe sudah melihatnya. Kening Joe berkerut bingung. Apa Sana sakit? pikirnya.
"Lu sakit, Mbak? Pipi lu kok merah?"
Pertanyaan yang sangat tidak ingin didengar Sana, apalagi pertanyaan itu keluar dari mulut Joe. Sana menghela napas berat, menggigit pipi dalamnya lantas menggeleng.
"Aku nggak apa-apa."
Sana bersyukur kali ini suaranya dapat keluar dan kembali normal. Tanpa menatap Joe, sana menyebutkan nominal yang harus dibayar oleh pemuda itu.
Joe memberikan kartu hitam seperti waktu itu, meletakkannya di atas meja seperti buku tadi sambil masih meneliti wajah Sana.
"Beneran lu nggak apa-apa, Mbak?" tanya Joe lagi. Dia ingin memastikan kalau perempuan yang disukainya baik-baik saja. "Muka lu merah lho."
Sana mengembuskan napas kuat. Menatap Joe dengan mata menyipit, alisnya mengerut kesal. Apa Joe tidak mengerti kalau semua ini karenanya? Semua yang terjadi padanya disebabkan oleh pemuda itu. Seandainya Joe paham sedikit saja, tentu dia tidak akan mengganggunya. Sana memejamkan mata sekilas. Dia harus berani mengatakan semua ini kalau tidak ingin mati dalam keadaan kesal.
"Aku beneran nggak apa-apa, Joe!" ucap Sana ketus tapi lirih. Dia tidak ingin para pembeli lain mendengar apa yang dikatakannya pada pemuda di depannya ini. Bagaimanapun rasa kesalnya pada Joe, dia tidak ingin membuat pemuda itu merasa malu. "Asal kamu nggak ganggu aku lagi!"
Raut wajah khawatir Joe berubah. Tatapannya pun menjadi tajam ditujukan pada Sana. Dari perkataan Sana dia sudah dapat mengumpulkan maksud perempuan itu, tapi hatinya menolak untuk yakin.
"Maksud lu?" tanya Joe memastikan. Sebelah alisnya terangkat.
Sana menarik napas, menjilat bibirnya yang terasa kering sebelum menjawab.
"Kamu pinter kan? Jadi, aku yakin, kamu pasti udah tahu maksud aku," sahut Sana tanpa menatap Joe. Karena jujur saja, tatapan tajam Joe membuatnya merinding.
Kedua sudut Joe tertarik ke atas sedikit mendengar jawaban Sana. Ternyata benar apa yang dipikirkannya, Sana hanya menganggapnya sebagai pengganggu. Joe menggeleng pelan. Untung saja dia belum berjuang terlalu jauh. Meski tidak dapat dipungkiri, hatinya menjerit sakit.
"Lalu mau lu?" tanya Joe dengan suara sedikit bergetar. Sialan! makinya marah dalam hati. Seharusnya dia bisa mengendalikan diri agar suaranya terdengar seperti biasa. Sungguh ini sangat memalukan. Suaranya terdengar seperti seseorang yang patah hati.
"Mau aku?" ulang Sana. "Mau aku, kamu jangan ganggu aku lagi!"
Tegas dan tidak ingin dibantah. Itulah yang Joe tangkap dalam nada suara Sana. Berarti perempuan itu benar-benar merasa terganggu dengan kehadirannya selama ini, dan Sana serius memintanya menjauh. Joe tidak tahu saja, Sana menggigit bibir setelah mengucapkan kata-kata itu. Kepalanya yang selalu saja menunduk membuat Joe tidak dapat melihat ekspresi wajahnya. Sebenarnya Sana terpaksa, tapi dia sudah tidak tahan lagi. Dia ingin hari-hari tenangnya yang dulu kembali.
Wajah tampan Joe mengeras. "Oke!" sahutnya tak kalah tegas. "Kalo itu mau lu, gue nggak akan gangguin lu lagi. Mungkin ini terakhir kalinya gue ngomong sama lu. Sorry kalo selama ini gue udah ganggu lu! Terima kasih!" Joe mengambil kantong plastik berisi bukunya beserta kartu hitam miliknya kemudian berbalik dan langsung keluar dari toko tanpa menoleh lagi seperti kebiasaannya hari ini.
Kecewa? Sudah pasti. Marah? Sepertinya iya juga. Kesal? Apalagi. Rasanya Joe ingin memakan orang seandainya saja bisa. Sayangnya dia bukan kanibal. Dengan langkah lebar Joe menuruni eskalator dan langsung menuju ke tempat parkir. Mengambil motornya dan mengendarainya dengan kecepatan tinggi. Kalau soal urusan mengebut di jalan raya, Joe jagonya. Jadi jangan heran kalau dia dapat dengan mudah melewati semua jenis kendaraan yang melaju bersamanya.
Astaga! Dia sangat kesal! Di sepanjang jalan Joe menyumpah. Hampir semua penghuni kebun binatang sudah disebutnya, tapi dia masih belum puas juga. Sepertinya dia memang harus menghubungi Linda. Mungkin percintaan yang liar dan keras dapat meredakan kemarahannya.
Joe membelokkan motor ke arah apartemen Linda, mengubah arah yang semula ingin ke rumah Sean. Saat ini dia lebih membutuhkan Linda daripada Sean.
***
Sana menghembuskan napas lega setelah punggung Joe keluar dari toko. Tadi dia pikir Joe akan menolak dan berkeras untuk tetap mengganggunya, tetapi ternyata sebaliknya. Kalau tahu akan semudah ini sudah dari dulu dia meminta Joe menjauh. Sana tersenyum manis. Semangatnya bertambah untuk memulai hari baru tanpa pengganggu.
"Senyumnya manis banget, Neng!" tegur Hannah tiba-tiba.
Sana melotot, kaget Hannah sudah berada di sampingnya. Sejak kapan? pikirnya. Bukankah tadi Hannah masih melayani dua orang pembeli yang ingin membayar, kenapa sekarang sudah berada di mejanya saja? Hannah bergerak sangat cepat atau menang dirinya yang terlalu lama melamun?
Tak memedulikan belalakkan mata Sana, Hannah kembali bertanya. "Ngomong apaan sih tadi sana Joe? Nggak digombalin kan?" Hannah mengedipkan sebelah mata genit menggoda Sana.
"Apaan sih, Han?" Sana mendengus. "Nggak usah gosip, deh! Lagian nggak ada tuh, ya, gombal-gombalan. Aku baru aja minta Joe berhenti ganggu dan ngehauhin aku."
"Hah? Apa?" Hannah bertanya kaget. Tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Selama ini Sana memang terlihat tidak nyaman dan selalu mengeluh soal dirinya yang merasa terganggu dengan tingkah dan pesan-pesan yang dikirim Joe, tapi sungguh dia tidak menyangka kalau Sana akan melakukan itu. "Terus, reaksi Joe gimana?"
Senyum manis kembali menghiasi bibir Sana setelah tadi cemberut menanggapi godaan Hannah.
Hannah membingkai pipinya sendiri. Benarkah apa yang dipikirkannya? Semoga saja tidak. Hannah menggigit bibir, harap-harap cemas dengan jawaban Sana.
"Menurut kamu gimana?" Sana balas bertanya. Matanya melirik Hannah manis.
"Joe ... setuju?" tanya Hannah dengan menahan napas. Ingin rasanya Hannah menutup telinga. Dia tidak ingin mendengar jawaban dari pertanyaannya sendiri. Hannah khawatir kalau jawaban Sana tidak seperti yang dia inginkan.
Sana mengangguk. Senyum kembali menghiasi bibir mungilnya.
Hannah menarik napas berat melihat anggukan itu. Dugaannya benar. Hannah terduduk lemas di kursi Sana, menyesali apa yang telah dilakukan Sana dan kecewa dengan tindakan Joe. Seharusnya Joe tidak menyerah dan menuruti keinginan Sana, kalau Joe memang benar-benar menyukai Sana. Namun sepertinya Joe tidak bersungguh-sungguh, dia menyerah begitu saja. Ataukah ini hanya pura-pura saja? Joe akan mendekati sana dengan cara lain? Dia berharap seperti itu. Entah kenapa Hannah merasa Joe dan Sana itu cocok, mereka berdua sangat serasi. Karena itu dia sangat mendukung Joe yang mendekati Sana. Hannah merasa kalau Sana dan Joe ditakdirkan untuk menjadi pasangan.
Sekarang Hannah merasa kesal dengan kelakuan kedua sahabatnya, mereka persis seperti anak kecil. Hannah menghembuskan napas kuat, menatap Sana dehgan tatapan luruh. Selama dua bulan ini dia menaruh harapan besar pada Joe untuk bisa mengisi kesindirian Sana setelah ditinggalkan kedua orang tuanya selamanya. Namun sepertinya Sana terlalu rapat menutup harinya yang dulu pernah terluka karena dikhianati oleh Tomi, kekasih Sana sewaktu di sekolah menengah atas dulu. Tomi meninggalkan Sana begitu tahu kalau Sana dikeluarkan dari sekolah karena tidak mampu membayar uang sekolah.
Harapannya sia-sia. Wajar dia kecewa. Hannah menggeleng pelan.
"Kenapa, Sa?" tanya Hannah. "Kenapa lo minta Joe buat ngejauhin lo? Kenapa lo nggak ngasih dia kesempatan?"
"Maksud kamu?" Sana mengerutkan alisnya. Bingung dengan pertanyaan Hannah.
"Lo benar-benar ngerasa terganggu sama Joe atau lo masih bisa ngelupain Tomi?"
Sana terhenyak mendengar pertanyaan itu. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri pelan. "Nggak, Han. Ini nggak seperti yang kamu kira, aku udah lupa sama Tomi."
"Lupa sama Tomi tapi lo juga lupa buka pintu hati lo buat cowok lain yang gue yakin lebih baik dari dia." Hannah berdiri, kepalanya menggeleng. "Jujur, Sa, gue kecewa sama lo ... juga sama Joe." Hannah meninggalkan meja kasir yang dijaga Sana setelah itu. Ada seorang pembeli yang ingin membayar di mejanya.
Sana mengerjap. Masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya dari mulut Hannah. Dia tidak seperti yang Hannah pikirkan. Joe benar-benar mengganggu baginya, bukan karena dia masih belum bisa melupakan Tomi. Sungguh dia sudah melupakan pemuda itu, sejak beberapa tahun yang lalu. Dia sudah tidak pernah mengingat Tomi lagi, baginya Tomi adalah orang asing yang tidak pernah dikenalnya.
Sana memijit pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut. Segera saja dia duduk, khawatir pusingnya bertambah parah kalau dia terus berdiri. Lagipula, tidak ada seorang pembeli pun yang mengantre di depan meja kasirnya. Sana menarik napas panjang, berpikir apakah yang dilakukannya tadi salah. Sepertinya tidak, dia berhak meminta seperti itu. Joe juga tidak keberatan, pemuda itu langsung menyetujui. Meski awalnya Joe menatapnya tajam seolah memprotes, tetapi akhirnya dia setuju.
Sana berharap Hannah mendukungnya. Dia tidak ingin ada yang mengganggunya. Saat ini dia ingin sendiri, belum siap memiliki pasangan. Mungkin Hannah berpikir dia memerlukannya agar tidak selalu sendiri. Sebenarnya niat Hannah baik, tapi dia masih belum bisa menerimanya. Tatapan sana menyapu Hannah. Sahabatnya itu tersenyum pada seorang pembeli yang memberikan bukunya pada Hannah untuk dibayar. Senyum yang terpaksa, dia tahu itu. Dia juga tahu kalau Hannah hanya ingin dia bahagia. Hannah tidak tahu saja dia sangat bahagia dengan hidupnya yang sekarang. Dia memiliki pekerjaan dan sangat bangga dengan pekerjaannya itu. Seperti halnya dengan Hannah yang juga bangga atas pekerjaan mereka.
Sana berpikir untuk meminta maaf pada Hannah nanti karena sudah mengecewakan sahabatnya itu. Mungkin dia akan mentraktirnya nanti sepulang mereka bekerja. Sana harap Hannah mau memaklumi dan memaafkannya. Sana tersenyum pada Hannah yang menatapnya. Meski Hannah membalas senyumnya Sana dapat melihat masih ada kekecewaan di dalam mata sahabatnya.
"Maaf," ucap Sana tanpa suara. Kedua tangannya menyatu di depan d**a membentuk sembah, ditujukan kepada Hannah.
Hannah memutar bola mata. Dia tidak akan pernah bisa marah ataupun kesal pada Sana dalam waktu yang lama. Mereka sangat dekat, bahkan melebihi saudara kandung, dan Sana selalu memiliki cara yang tepat untuk meredakan kekesalannya.
***
Perempuan itu berdiri takjub. Matanya menatap tak percaya pada sosok yang sekarang berdiri di depan pintu apartemennya. Linda menutup mulut menggunakan kedua tangan. Hanya sedetik, di detik berikutnya bibir dipoles lipstik berwarna merah muda itu tersenyum. Tangannya terulur menarik tangan Joe, mengajaknya masuk.
"Kamu tau dari mana alamat apartemen aku, Joe?" tanya Linda memulai perbincangan. Tangannya masih bergelayut manja di lengan Joe.
"Gue rasa itu nggak penting." Joe memasang senyum termanisnya. "Yang penting sekarang gue berada di sini. Gue bener kan?" tanyanya.
Linda mengangguk manja. Tangannya yang tadi berada di lengan Joe beralih memeluk leher pemuda itu. Karena tubuhnya lebih pendek dari Joe, Linda terpaksa harus berjingkat untuk bisa menyapukan bibirnya pada bibir Joe. Mata indah itu terpejam, menikmati kelembutan dari bibir yang sudah sejak dulu menjadi dambanya. Linda menggerakkan bibirnya setelah diam beberapa saat. Melumat dengan pelan dan penuh perasaan, seolah takut bibir Joe terluka kalau dia melumatnya kasar. Namun gerakan pelan itu tidak bertahan lama setelah Joe membalas ciumannya dengan penuh nafsu dan menuntut. Linda mengerang dan dia sudah kalah sebelum pertandingan mereka dimulai.