When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Nean melirik gadis yang terasa nyaman di dekapannya, gadis itu nampak menutup matanya begitu damai dengan napas yang teratur. Gadis itu tertidur karena terlalu lelah menangis. Wajahnya terlihat sembab membuatnya terlihat sangat menyedihkan. Nean menghela napasnya pelan dan sedikit menggerakkan tubuhnya untuk membuat otot-ototnya mengendur, akibat dari posisinya yang tidak berubah-ubah membuat badannya kaku dan mati rasa. Pinggangnya terasa nyeri akibat menopang berat badan Lovinta. “Lovinta.” Nean menepuk pipi gadis itu pelan suapa tidak membuatnya kaget. “Sayang, bangun,” ucap Nean lagi masih dengan nada yang sangat halus dan pelan. Lovinta mulai mengerjabkan matanya pelan dan perlahan kelopak matanya terbuka. “Jam berapa?” tanya gadis itu. “Baru jam satu siang,” jawab Nean denga