Tiba-tiba gerimis mengguyur kota yang padat akan penduduk itu, untung saja Zenna sudah sampai di depan pintu gerbang sekolahnya.
Gadis itu terlihat berlari karena menghindari rintik hujan yang semakin deras mengguyur bumi. Zenna kembali berjalan santai ketika sudah sampai di koridor sekolah, namun langkah Zenna harus terhenti ketika seseorang dari belanag memanggilnya.
“Zenna, nanti kamu ada waktu luang tidak? Aku mau ngajak kamu jalan soalnya,” ucap seseorang itu dengan senyum yang menghiasi wajahnya.
“Emm, bagaimana kalau sama kak Lovinta aja? Soalnya aku lagi banyak tugas,” kilahnya mencoba menghindar.
“Tapi aku maunya sama kamu, gimana dong?” wajah Nean namppak kecewa dengan penolakan Zenna.
“Tapi aku emang bener-bener nggak bisa, kak. Tugas aku masih numpuk banyak soalnya.” Zenna benar-benar merasa tidak enak hati ketika wajah Nean semakin terlihat kecewa.
“Zenna ke kelas dulu ya kak, soalnya ada tugas yang belum selesai.” Zenna melenggang pergi begitu saja tanpa menuggu persetujuan dari Nean.
Nean yang melihat punggung Zenna mulai menjauh hanya bisa menghela napasnya pelan. Ingin sekali Nean jalan-jalan bersama Zenna, seperti orang kasmaran pada umunya.
***
Zenna menghela napasnya pelan ketika sudah berada di kelasnya. Bertemu dengan Nean di koridor sekolah membuat hatinya tidak tenang, takut jika ada salah satu siswa atau siswi yang memergokinya dan pastilah masalah akan bertambah banyak.
“Seru banget ya ngegoda guru sendiri?” suara Nadin terdengar sangat jelas jika gadis itu sedang menyindir.
“Maksud kamu apa?” tanya Zenna bingung.
“Pura-pura nggak tau lagi. Emangnya siapa yang ada di koridor sekolah? Kamu ‘kan? Kamu lagi ngegoda pak Nean ‘kan? Lo itu cuma keliatan polos doang tapi nyatanya jadi gadis penggoda.” Lagi-lagi Nadin menuduh Zenna degan kata-kata pedasnya.
Zenna hanya bisa menghela napasnya pelan. Tidak heran lagi jika Nadin selalu menyindirinya dengan kata-kata pedas. Semenjak Zenna berangkat bersama Nean beberapa hari yang lalu, Nadin menjadi sinis kepada Zenna.
Zenna memilih untuk mengabaikan segala tuduhan yang Nadin berikan kepadanya. Zenna tidak ingin pagi ini diawali dengan keributan yang tidak jelas akar permasalahannya.
Nadin yang merasa diabaikan hanya bisa mendengkus kesal, gadis itu paling tidak suka diabaikan seperti ini, terlebih lagi pada musuhnya sendiri.
“Awas lo!” Nadin menggeram marah.
Zenna hanya melihat kepergian Nadin dengan helaan napas pelan. Jujur saja Zenna tidak terlalu suka mencari keributan apa lagi dengan teman satu angkatan.
Zenna kembali duduk tenang di bangkunya dan tidak berselang lama Clara datang dengan jaket yang sedikit basah melekat pada tubuhnya.
“Selamat pagi, Zenna,” sapanya dengan senyum ceria.
“Selamat pagi juga Clara. kamu kehujanan?” tanya Zenna sembari menutup buku yang dibacanya.
“Iya nih, tadi gara-garanya ban motor papa aku kempes, jadi aku pilih jalan kaki aja. Untung nggak jauh, tapi ya ini jadi basah jaket aku,” jelasnya.
Zenna mengangguk paham, “Cepetan dilepas, nanti masuk angina loh.”
“Oh iya, jadi lupa.” Clara tertawa sembari melepas jaketnya.
Zenna hanya menggelegkan kepalanya melihat tingkah Clara yang menurutnya terlalu konyol untuk waktu sepagi ini. Clara memang terkadang pelupa dan terkadang juga pengingat yang sempurna.
“Nggak kerasa ya sebentar lagi kita akan lulus,” ucap Clara setelah membereskan jaketnya lalu duduk di bersebelahan dengan Zenna.
“Iya, padahal baru aja kita masuk SMA.”
“Oh iya, rencana kuliah mau di mana?” tanya Clara nadanya penuh antusias.
Zenna terdiam sesaat, “Entahlah, aku juga nggak tahu. Belum ada pandangan aja.” Zenna tersenyum, namun senyumnya penuh dengan keterpaksan.
Bohong jika Zenna tidak ingin merasakan bangku kuliah., gadis itu sangat ingin merasakan bahagimana berstatus menjadi anak kuliahan. Namun, gadis itu cukup tahu diri jika sang mama pasti tidak akan mengizinkannya untuk masuk ke perguruan tinggi.
“Zenn, kenapa diam? Kata-kataku ada yang bikin kamu tersinggung ya? kalau ada, aku minta maaf.” Clara menatap Zenna penuh rasa bersalah. Gadis itu tidak enak hati ketika melihat wajah Zenna menjadi murung.
Zenna menggeleng tegas, “Kamu nggak salah ngomong kok. Aku hanya sedang memikirkan nenek yang pulang kampung sendirian,” kilahnya.
“Loh, kok nenek kamu pulang sendirian? Biasanya papa kamu yang selalu nganterin.”
Zenna menggeleng sebagai jawaban ‘tidak tahu.’ Tidak ingin larut dalam kesedihan, akhirnya Zenna membicarakan topik lain.
***
“Sini ikut gua!” Nadin menarik Zenna masuk ke dalam gudang sekolah serang diri.
Saat Zenna tengah melintas di koridor sekolah menuju kamar mandi seorang diri, tiba-tiba Nadin datang lalu menariknya kasar tanpa sebab.
“Heh, asal lo tahu ya, gua itu benci sama lo!”
Nadin menarik rambut Zenna sampai gadis itu mendongak meringis menahan sakit di area kepalanya.
“Salah aku sama kamu itu apa sih Din?” tanya Zenna masih meringis kesakitan.
“Kenapa lo deketin pak Nean sih? Lo kan tau gua suka sama pak Nean!” gadis itu berteriak tepat di depan telinga Zenna.
“Kenapa kamu jadi nyalahin aku? Kenapa kamu nggak tanya langsung aja sama pak Nean? Karena yang deketin aku itu pak Nean, bukan aku!” bantah Zenna tegas.
Nadin semakin menarik rambut Zenna. “Kalo lo nggak keganjenan, nggak mungkin pak Nean deketin lo!”
“Din, lepasin. Ini sakit.” Zenna memohon dengan air mata yang sudah mengalir deras.
Nadin melepaskan jambakannya dengan kasar sampai membuat kepala Zenna terhuyung kebelakang beserta tubuhnya yang sudah tersungkur menyentuh lantai yang berdebu itu.
Tanpa rasa penuli dan kasihan, Nadin mengurung Zenna di dalam gudang yang lembab dan penuh debu itu. Nadin seolah menutup telinganya ketika Zenna berteriak meminta tolong untuk dibukakan pintu.
“Mampus lo! makannya jangan main-main sama Nadin,” gumam gadis itu dalam senyum kepuasan.
Sementara itu di dalam kelas, Clara nampak khawatir karena Zenna belum juga kembali dari kamar mandi. Pasalnya sudah satu jam lamannya Zenna tidak kunjung juga kembali ke kelas.
“Aduh, Kinan kemana ya?” gumam Clara sembari meremas jemarinya sendiri untuk meredakan kepanikannya.
Sampai jam pulang sekolah pun tiba, namun Zenna juga tidak kunjung kembali. Clara semakin khawatir ketika semua guru tidak melihat keberadaan Zenna.
“Clara, bagaimana, apa Zenna sudah kembali?” tanya Nean yang nampak begitu kawatir.
Clara menggeleng pelan, “Belum pak, semua guru juga tidak melihat Zenna,” jawab Clara dengan nada yang lirih.
Nean mengigit bibir bawahnya dengan kuat. “Kenama Zenna,” gumamnya pelan.
“Clara, sebaiknya kamu pulang saja ya. Biar Zenna saya yang mencarinya,” ucap Nean.
“Tapi pak ….”
“Kasihan orang tua kamu di rumah pasti mencari kamu. Sudah, sebaiknya kamu pulang. Serahkan Zenna pada saya.”
Nean langsung melenggang pergi tanpa menunggu persetujuan dari Clara. Clara masih terdiam di tempatnya berdiri sembari menatap punggung Nean yang semakin menjauh. Gadis itu menghela napasnya pelan, lalu dengan berat hati meninggalkan sekolah.
***
“HEI, KENAPA KALIAN BERBUAT TIDAK SENONOH DI GUDANG SEKOLAH!”