Hujan 2 - Teman Baru Kaima

1206 Words
Jika orang dingin ketika diganggu ia akan marah, maka Kaima tidak. Bukan karena ia baik hati, atau rendah hati. hal itu semata-mata karena ia malas bereaksi. Kaima malas berurusan dengan orang lain termasuk memberikan responnya meski hanya ekspresi marah. Ia lebih senang berdiam ketika ada orang yang mencari masalah ke dirinya dan menganggapnya hanya angin lalu. Kaima tidak peduli dibicarakan oleh Miky yang cerewet dan dikritik oleh Valen yang selalu heran dengan tingkahnya. Bahkan, belum bisa dijamin bahwa Kaima menganggap mereka ada. "Gila! Semakin gue ngomongin soal kekurangan Kaima dengan jelas, semakin dia bodo amat." ujar Valen takjub ketika melihat sebongkah es hidup di kelasnya. "Miky lama-lama jadi pengen kayak Kaima, emosi tanpa badai. Pasti seneng, pahalanya mengalir deras." Miky ikut-ikutan. Ia malah membahas sampai akhlak. Sedangkan Rama, seperti biasa hanya heran dengan tingkah dua manusia aneh itu. Bahkan bagi Rama, mereka berdua lebih aneh daripada Kaima. Kaima memang bukan manusia biasa, ia seperti robot hidup yang brilian. Ia jadi kebanggaan kelas meski ia saja tidak tahu apa itu rasa bangga. Prestasinya menjadi perasaan iri banyak orang, segala ketenangan yang ia miliki terkadang juga menjadi sebagian rasa iri. Mereka iri karena hidup Kaima yang begitu tenang. Suatu hari, ada moment yang membuktikan bahwa Kaima tidak pernah marah. Saat itu sedang panas-panasnya, jam istirahat kedua kantin sedang ramai, banyak siswa yang berdesak-desak meramaikan kantin. Dan di saat itu ada pemandangan yang tidak biasa ada di sana, membelalakkan banyak pasang mata. Pemandangan itu adalah datangnya Kaima ke kantin. Kaima masuk di kantin sendirian dengan wajahnya yang dingin. Berjalan dengan membawa rasa dingin seperti hujan di tengah kemarau. Itu kali pertama Kaima ke kantin, ia terpaksa ke sana karena air minumnya habis. Langkah Kaima singkat, tiba-tiba saja ia sudah ada di depan kasir, membayar sebotol air dingin yang ia ambil di kulkas. Namun aktivitasnya menyedot perhatian banyak orang. Banyak juga yang berbisik-bisik membahas tragedi langka itu. "Ada angin apa nih? Manusia pendiem ini ke sini?" bisik salah seorang siswa. "Tapi kenapa ya dia enggak pernah senyum." "Dia broken home ya? Kok sifatnya nggak ngenakin kayak gitu." Bisik-bisik itu terdengar begitu jahat, seperti manusia bukanlah seorang manusia. Ternyata obrolan sunyi itu didengar oleh Valen dan Miky yang sedang menikmati es tehnya. Kuping mereka langsung terbuka mendengar nama Kaima disebut-sebut sejak tadi. Valen memang terkadang heran dengan tingkah Kaima, namun apa yang mereka bicarakan lebih tidak masuk akal. "Manusia batu ngapain ke sini?" seloroh cewek dengan gaya modis. Rambutnya dibuat curly dengan catokan dan nampak sedikit kaku karena sering diubah-ubah. Mereka adalah anak kelas 12. "Eh, eh, katanya dia enggak bisa emosi." yang rambutnya di kepang ikut membuat topik, itu obrolan yang terjadi tepat di samping Valen dan Miky duduk, ada tiga orang bergerombol duduk. Rumor tentang emosi Kaima sudah didengar banyak siswa di sekolah. Rumor yang mereka anggap sesuatu yang mustahil. Rumor yang terdengar seperti sekolah ini bekas kuburan. Maka, di satu sisi mereka mengabaikan rumor aneh itu, namun juga tidak sedikit yang mempercayai itu. Wajar saja, Kaima saja seperti mayat hidup. "Halah, masak sih?" seru salah satu temannya. Gadis berambut curly lob itu tidak percaya. "Yeee, beneran tahu." "Pengen gue buktiin?" gadis yang pertama membahas Kaima saat itu langsung berdiri. Menghampiri Kaima dan menumpahkan es teh di seragam Kaima yang berwarna putih. Es batu yang ikut tersiram jatuh ke lantai dengan suara bergemeletuk. Semua orang di kantin kaget dengan apa yang terjadi, namun juga menunggu apa reaksi Kaima selanjutnya. Valen dan Miky adalah yang paling kaget. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan aksi kekanak-kanakan tersebut. Mentang-mentang senior, tingkahnya sama sekali tidak bisa menjadi contoh baik. "Ganti, es gue. Gara-gara lo, ini jatuh." ucap gadis itu tanpa rasa bersalah. Benar-benar tidak masuk akal. Kaima sendiri diam, ia membasuh bajunya yang basah namun juga tidak bereaksi secara emosi. Kaima kemudian menatap seniornya dengan tatapan datar. Seniornya bingung, ia sepertinya benar-benar merasa sikapnya ini sebuah kesalahan, namun ia juga malu karena telah mengganggu seseorang yang tidak salah. Kaima berlalu, meninggalkan kebingungan luar biasa. "Heh! Lo manusia tanpa emosi, ini gimana es gueee!" Gadis itu masih saja berteriak. Ia belum puas melihat Kaima mendiamkannya. Kaima memang tidak marah dengan perlakuan itu, tapi gadis itu dibuat kesal karena responnya tidak menunjukkan kerendahan hati sama sekali. Miky dan Valen yang tertawa melihat adegan aneh itu langsung menghampiri gadis itu, Valen memberikan uang sepuluh ribu di tangan sang gadis. "Nih, buat ganti es teh. Lain kali, kalau enggak punya duit buat beli es teh, jangan gaya nyiram ke baju orang, ya Kak." ucapnya penuh penghinaan. Miky tertawa dengan suaranya yang cempreng, kemudian tertawa ria bersama Valen keluar kantin. Mereka seakan kagum dengan manusia gletser itu. Mereka juga puas telah mengalahkan kakak kelas yang begitu sok tenar dan cantik. ••• Valen dan Miky langsung menghampiri Kaima yang sedang sibuk mengelap bajunya yang kotor. Noda es teh itu mulai menguning, ia nampak tenang tanpa perasaan sebal sekalipun. Benar-benar perasaan ajaib, manusia seperti Kaima memang ajaib. "Kaima nggak papa kan?" Miky dengan heboh duduk di bangku samping Kaima, bangku yang kosong tanpa pemilik karena memang Kaima duduk sendirian di kelas ini. "Lihat sendiri kan dia baik-baik aja." Meski sebenarnya Valen juga kagum dan takjub namun sebisa mungkin ia mencoba untuk tidak menampakkan perasaan itu. Gengsinya memang tinggi luar biasa. "Bener-bener tega deh tuh senior, sok-sokan." Miky mendumel sendiri. Kaima masih fokus membersihkan bajunya yang basah. "Kalian kenapa duduk di sini?" Rama yang tidur di deretan bangku tiba-tiba bangkit seperti mayat hidup. Memang seumur hidup Valen dan Miky memang tidak pernah berada di dekat bangku Kaima. "Ih kenapa sih? Emangnya ini bangku punya Rama?!" Miky sensi. Tahu lah, Miky dan Rama memang tidak pernah akur, sepertinya Rama memang tidak pernah akur dengan mayoritas perempuan deh. "Kalau iya kenapa?" Rama berdiri, ikut duduk di meja Kaima. Mendadak meja Kaima yang biasa sepi menjadi ramai dan penuh diisi oleh tiga manusia onar. "Dih, apaan sih lo, gaje." Valen ikut-ikutan. "Diem lo suaminya Jongkok." sahut Rama. Valen yang mendengar nama idolanya disebut salah langsung menyanggah. "Heh, bukan jongkok ya! Tapi jeongkuk!" jawab Valen dengan tegas, bahkan ia melafalkan nama Jungkook dengan sempurna serta aksen Korea. Benar-benar k-pop sejati sih. Kaima selesai membersihkan bajunya, kini ia meneguk air yang ia beli di kantin tadi, air yang ia beli dengan harga disiram es teh. "Ma, kamu beneran nggak papa? Miky punya baju bersih di loker kok, barangkali dari pada Kaima kedinginan?" Miky menawarkan bantuan, meski sudah cukup kering, hembusan angin pasti membuat kulitnya dingin. Kaima menolak dengan menggeleng, ia merasa baik-baik saja. "Kalau gitu, boleh nggak Ma, kita jadi temen Kaima" Miky tidak habisnya mengoceh. "Ada Rama sama Valen juga." Valen dan Rama langsung saling menoleh, "Dih apaan, bawa-bawa orang." "Ayolaaah, mari kita buat persahabatan sempurna ini. Ada Kaima, Miky, Valen dan Rama. Orang yang beda-beda dan unik bersatu. Kaaan gemees." Rama dan Valen masih menolak keras. "Gue aja enggak deket-deket banget sama lo-lo pada, gimana kita bisa jadi sahabat." jelas Rama. "Tapi Rama tahu, kalau Valen suka korea." "Satu sekolah juga tahu kali!" Rama masih mengelak. "Sudah-sudah, dari pada berantem gini terus. Mendingan kita temenan aja, yakin, kita bakal jadi sahabat terakur sedunia." Miky masih saja sok dramatis. "Sebuah mitos." Valen menggeleng-gelengkan kepala. Sepertinya ia memang baru menyadari bahwa orang-orang di sekitarnya adalah orang aneh. "Valeeen nggak boleh gitu!" •••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD