Jika saja Alaric bisa memilih, kepada siapa dia jatuh cinta mungkin dia akan lebih memilih untuk menjatuhkan hatinya kepada seseorang yang bisa membalas cintanya juga, bukan kepada seseorang yang sudah menikah bahkan berbeda jalan dengannya.
Alaric pernah bahkan sering mencoba untuk melupakan, berusaha mengubur rasa yang sudah tumbuh didalam hatinya, namun semuanya selalu berakhir dengan sebuah kata sia – sia. Perasaanya sudah tumbuh bagaikan sebuah pohon yang sudah mengakar kuat dibawah tanah, hingga sulit untuk dicabut karena sudah terlalu besar akar itu tumbuh.
Sampai akhirnya Alaric memilih untuk menyerah, membiarkan hatinya tetap mencintai dia yang sekarang sudah berbahagia dengan orang lain. Alaric tidak akan memaksa lagi perasaannya untuk melupakan dia, karena Alaric sadar rasa cintanya kepada perempuan yang sudah pergi dari pandangan, kehidupan dan negaranya tanpa ada sebuah paksaan, maka Alaric juga yakin jika rasa cintanya akan hilang terkikis waktu tanpa ada sebuah paksaan juga.
Jam sudah menujukan pukul 11 : 00 malam, namun Alaric masih terlihat asik dengan setumpuk berkas – berkas yang ada diatas mejanya, seperti itulah Alaric sekarang gila kerja, tidak ada kegiatan lain baginya selain bekerja dan bekerja, kadang dihari sabtu dan minggu yang seharusnya dia pergunakan untuk beristirahat dirumah atau menghabiskan waktu bersama keluarga, Alaric malah mempergunakannya untuk bekerja.
Saat Alaric sedang fokus membaca dan mempelajari salah satu berkas, tiba – tiba bunyi handphone yang sejak tadi tergeletak begitu saja terdengar mengeluarkan sebuah nada panggilan masuk. Alaric kalang kabut, dia mendesah beberapa kali karena dia tidak mengingat dimana terakhir kali menyimpan handphonenya.
Alaric membuka laci – laci yang ada diruangannya, berharap dia lupa menyimpan handphonennya disalah satu laci, namun ternyata hasilnya tetap sama yaitu tidak ada. Baru saja handphonenya sempat berhenti tapi kemudian berbunyi untuk yang kedua kalinya, tanda jika si penelepon belum menyerah untuk menghubunginya,
Alaric hampir saja putus asa, inilah yang paling tidak dia sukai pada dirinya sendiri, diusianya yang masih terbilang muda dia sudah menjadi orang yang pelupa, bahkan Mamahnya sering mengejek jika ingatan sang Mamah jauh lebih baik dari pada Alaric yang masih muda, jika saja ada yang menjual obat agar tidak menjadi orang pelupa diusia muda mungkin Alaric akan membelinya karena jujur saja sifat pelupanya kadang menyusahkan dirinya sendiri.
Namun, saat dia menjatuhkan tubuhnya dengan pasrah diatas sofa Alaric baru berpikir mungkin handphonenya berada diatas meja dan tertumpuk oleh berkas – berkas yang sejak tadi menghuni mejanya, dan benar saja saat Alaric memindahkan tumpukan berkas – berkasnya dia bisa melihat handphonenya yang masih terlihat menyala dan menampilkan sebuah panggilan dengan nama pemanggil ‘My Queen’ ditambah emoticon love diakhir katanya. Alaric tersenyum kemudian dia segera mengangkat teleponnya tanpa harus berpikir lebih panjang lagi.
“Selamat malam dengan Alaric Aldo Friedrick tampan disini apakah ada yang merindu ?”
Alaric sengaja menyapa orang disebrang sana dengan sebuah candaan, karena dia yakin dalam hitungan detik orang yang saat ini sedang menelponnya akan segera memarahinya layaknya seperti bocah kecil yang terlambat pulang karena keasikan bermain.
“Al apakah kamu tidak punya jam tangan, diperusahaan Ayahmu yang besar itu tidak mempunyai jam dinding, apakah kamu tidak punya rumah sampai kamu mau bermalam dikator ?”
Sudah dapat Alaric tebak, pasti serentetan kalimat itulah yang akan Alaric dengar saat dia mengangkat telepon, tetapi meskipun begitu Alaric tetap merasa bahagia, bibirnya melukiskan sebuah senyuman saat dia mendengar suara penuh kekhawatiran disebrang sana. Setidaknya Alaric tidak merasa sendirian saat wanita yang dicintainya pergi meninggalkannya dengan sebuah luka didalam hatinya.
Alaric masih mempunyai dua sosok perempuan yang selalu menyayanginya tanpa batas, mencintainya tanpa syarat dan selalu mengkhawatirkannya saat dia tidak kunjung pulang. Seperti anak kecil memang, sampai – sampai belum pulang saja harus dicari – cari, tapi Alaric menyukainya, Alaric suka saat ada seseorang yang mencarinya saat dia tidak ada, mengkhawatirkannya saat tidak berjumpa, karena saat itulah Alaric merasa dianggap.
“Yes mom, 15 menit lagi Al sampai dirumah”
Alaric baru menyadari jika jam sudah menunjukan pukul sebelas, pantas saja mamanya sudah mengomel panjang lebar jika waktu selarut ini dia masih saja betah bekerja, mungkin Alaric terlalu fokus pada pekerjaannya sehingga dia melupakan jarum jam yang menempel di dinding ruangan sudah menunjuk pada angka berapa.
“Cepatlah, kenapa kamu rajin sekali bekerja Al, direktur utamanya saja sudah berada disamping Mommy lantas kenapa kamu yang hanya bawahannya saja masih ada disana ?”
Alaric terkekeh mendengar ucapan Mamahnya yang terdengar seperti asal bicara namun dibumbui oleh nada sinisnya, Mamahnya memang seperti itu selalu berbicara tanpa menyaring dulu kalimatnya. Jika diibaratkan sesakit apapun sebuah kejujuran Mamahnya akan lebih berkata jujur, atau jika dimisalkan Mamahnya membenci seseorang maka Mamahnya akan mengatakan jika dia membencinya, dia tidak akan bersedia berpura – pura baik dan beramah tamah pada orang yang dibencinya, begitupun sebaliknya.
Terkadang, sikap yang dimiliki Mamahnya akan membuat seseorang sakit hati jika belum mengenal lebih dalam bagaimana sebenarnya kepribadian Mamahnya, tapi bagi siapapun yang sudah mengenal Mamah Alaric dengan baik pasti dia akan mengatakan jika Mamah Alaric sosok penyayang dan juga baik hati.
“Katakan kepada direktur utamanya jika dia harus membayar gajih General Managernya sebanyak dua kali lipat”
“Jangakan menggajimu dua kali lipat Al, kamu minta perusahaannya sekalian pasti akan aku berikan, jangan membiasakan waktu hidupmu dihabiskan untuk urusan pekerjaan Al, pulanglah semuanya punya porsinya masing - masing Al”
“Yes Dad, I’am will go to home”
Setelah itu panggilan telepon berakhir, Alaric yakin pasti Ayahnya mematikan telepon terlebih dahulu sebelum mengembalikan handpone kepada Ibunya, karena jika handphone itu dikembalikan lagi dalam keadaan masih terhubung pasti Mamahnya akan kembali berbicara dan mewanti – wantinya mengenai banyak hal. Saat sambungan telepon terputus Alaric langsung membereskan mejanya kemudian bersiap untuk pulang.
Saat Alaric baru saja memasuki mobilnya, tanpa sengaja matanya melihat keberadaan gantungan kunci yang justru dengan sengaja Alaric gantung didekat kaca depan mobil, hal itu Alaric lakukan agar dia bisa selalu ingat jika pemberi gantungan kunci dengan bentuk miniature seorang laki – laki yang sedang wisuda itu sudah pergi meninggalkan Alaric, dan orang yang memberikan gantungan kunci itu sudah benar – benar pergi jauh dan tidak bisa Alaric gapai lagi.
Gantungan kunci itu, Alaric dapatkan tepat dihari wisudanya dari dua orang sahabat wanita yang Alaric cintai, Alaric mengenal mereka karena kebetulan mereka sama – sama sahabat perempuan yang Alaric cintai, tapi juga karena mereka satu jurusan dengannya yaitu management bisnis. Rena dan Rania itulah yang Alaric tahu namanya, saat itu mereka tiba – tiba saja menghampiri Alaric sambil menyerahkan sebuah kotak kecil berwarna merah muda.
“Titipan dari orang yang paling kamu sayang Al, berterimakasihlah kepada tuhan karena setidaknya tuhan masih membiarkannya mengingatmu
Alaric tersenyum saat dia melihat kotak kecil berwarna merah muda yang sekarang sudah berpindah ketangannya, Alaric membuka kotak itu dengan rasa penuh penasaran dan senyuman yang tercetak indah dibibirnya. Senyuman Alaric semakin melebar saat dia melihat gantungan miniature orang yang sedang wisuda dan secarik kertas didalamnya.
“Aku minta maaf Al karena tidak bisa hadir diacara wisudamu, tapi aku yakin kamu pasti akan terlihat keren dan juga menawan, selamat untukmu, setelah ini jadilah seorang pembisnis handal yang dikenal karena kejujurannya dan kerajinannya, aku percaya kamu adalah orang yang hebat Al
Dari sahabatmu”
Hati Alaric sempat dirundung kesedihan saat dia melihat kata terakhir yang dituliskan wanita pujaan hatinya, sahabat itulah anggapan dia kepada Alaric yang terkadang membuat hatinya terasa sakit karena seberapa keraspun Alaric berjuang memperlihatkan kesungguhan cintanya, tidak berhasil mengubah kata sahabat dari wanita itu untuknya menjadi lebih dari sebatas sahabat.
Alaric menyentuh gantungan itu, ada seulas senyum pahit yang terbit dibibirnya saat dia mengingat kembali isi kertas berwarna merah muda yang terdapat didalam kotak berwarna merah muda juga dengan sebuah gantungan kunci.
Sampai sekarang Alaric masih menyimpan kotak dan suratnya, itu sengaja Alaric lakukan untuk memperingati dirinya sediri jika kotak kado kecil itu dia dapatkan dari seseorang yang sangat dia cintai, kotak itu berasal dari seorang sahabat, dan sekarang orang itu sudah benar – benar pergi dijemput oleh suaminya.
Alaric kembali tersadar dari lamunan saat tangannya tanpa sengaja menekan bunyi klakson, Alaric baru tersadar jika masuk mobil bukan untuk mengenang luka lamanya, tapi dia masuk mobil untuk pulang sebelum Ibu ratunya kembali menelpon dan memarahinya lagi.
***
Alaric berjalan dengan mengendap – ngendap karena saat dia tiba dirumah jam sudah menujukan pukul 00 : 00, tidak tahu kenapa malam ini jalanan seakan sedang tidak ingin diajak kompromi olenya. Biasanya ditengah malam jalanan akan sedikit lenggang tapi malam ini jalanan seakan sedang ikut menghukumnya sehingga membuat perjalanan yang seharusnya Alaric lalui selama setengah jam menjadi dua kali lipat.
Saat tiba dirumah, lampu – lampu sudah dimatikan keadaan rumah juga sudah gelap dan sepi, tanda jika para penghuni rumah sudah tertidur, Alaric berjalan dengan pelan hendak menaiki anak tangga menuju kamarnya, namun baru saja kakinya akan melangkah pada anak tangga pertama tiba – tiba saja lampu menyala, didekat saklar lampu Alaric bisa melihat mamanya sedang berdiri sambil menatapnya dengan tajam.
“Bagaimana kamu bisa secepatnya memberikan Mommy menantu Al jika setiap hari pekerjaanmu pacaran dengan kertas – kertas tidak jelas itu”
“Ini hari sabtu Al luangkanlah satu atau dua hari untuk tubuhmu beristirahat, melepas penat dari segala beban pekerjaan, jangan kamu habiskan waktumu untuk bekerja saja”
Nyonya Friedrick berjalan mendekati Alaric yang pada saat itu sedang berdiri dianak tangga terakhir sambil tersenyum, tangannya terentang hendak memeluk Mamahnya yang pada saat itu sedang berjalan mendekat kearahnya.
“Al tidak butuh pendamping hidup Mom, jika cinta dari Mommy saja sudah lebih dari kata cukup lalu apa lagi yang harus aku cari”
Alaric melingkarkan tangannya dipinggang sang Momay, kepalanya dia biarkan bersandari dibahu Mamahnya, saat sedang bersama dengan sang Mamah Alaric memang berubah menjadi manja, dia seakan lupa usia dan dunianya, Alaric yang berada dikantor terlihat memiliki pembawaan yang tenang, berwibawa dan betanggung jawab seketika sikap itu akan berubah menjadi sikap Alaric yang manja kepada Ibunya. Jika saja ada seseorang yang melihat betapa manjanya Alaric kepada Mamahnya, semua orang pasti tidak akan pernah menyangka jika Alaric memiliki dua sisi berbeda yang tidak pernah di sangka sebelumnya.
“Cepatlah istirahat ini sudah larut”
“Aku akan mandi dulu sebentar Mom, good night Mom, love you”
Alaric mengecup sebelah pipi Mamahnya kemudian dia berlalu menaiki tangga menuju kamarnya, saat sampai dikamar Alaric tidak langsung membersihkan tubuhnya, dia melangkah kakinya menuju balkon kamar untuk menikmati keindahan hamparan bintang yang bertaburan diatas langit malam.
Dalam waktu yang sunyi dan sepi yang dia lewati sendiri Alaric kadang tidak mampu untuk menahan hatinya sendiri, karena saat seperti ini hati dan pikirannya hanya akan tertuju kepada seseorang yang sudah jauh bahkan sudah berbeda negara dengannya.
“Bagaimana kamu bisa melupakannya Al jika setiap malam yang kamu lakukan adalah memikirkannya”
Alaric tidak menoleh karena tanpa menolehpun dia tahu siapa pemilik suara yang tiba – tiba hadir menemaninya, Alaric tahu jika yang menghampirinya adalah Naomi, Alaric bisa tahu jika Naomi yang menghampirinya ditengah malam seperti ini hanya melalui derap langkah kakinya, karena hampir setiap malam setelah dia dan suaminya memutuskan untuk tinggal dirumah orang tua Naomi satu bulan lalu, Naomi selalu masuk dan menemani Alaric melewati kesunyian malam selama beberapa jam.
Alaric sangat bersyukur diberikan kakak sebaik Naomi, karena disaat hatinya sedang mengarah pada satu sosok yang tidak seharusnya mengganggu pikiran Alaric, kakaknya selalu datang dan mengajak Alaric berbicara banyak hal. Kakaknya seakan tahu apa yang sedang dipikirkan adiknya ditengah malam sambil menikmati suasana malam, jadi dia berusaha mencari topik bahasan hingga membuat pikiran Alaric sedikit teralihkan.
“Entahlah Kak, aku hanya butuh waktu sekejap untuk bisa mencintainya tapi aku tidak tahu berapa lama waktu yang aku butuhkan untuk melupakannya”
“Cobalah buka hatimu untuk perempuan lain Al, Jangan terlalu menutup diri karena jika kamu memilih terus bertahan mencintai kamu hanya akan menyakiti diri kamu sendiri”
“Oh iya, sejak kemarin anak – anak terus menanyakanmu, katanya mereka ingin berjalan – jalan bersama mu”
Alaric baru tersadar jika dia sudah lama tidak menghabiskan waktu dengan keponakan kembarnya yang selalu membuatnya tertawa tiada henti karena tingkah – tingkah lucu mereka, padahal mereka tinggal dirumah yang sama tapi tidak tahu sudah berapa hari Alaric tidak bertemu dengan mereka.
Keano Friedrick Devandra dan Kiana Friedrick Devandra adalah dua keponakan Alaric yang selalu mengikuti kemanapun Alaric saat mereka sudah bertemu, mereka selalu terlihat sangat senang ketika melihat Alaric berada dirumah, bahkan tidak jarang Alaric tidak berangkat bekerja karena ulah dua keponakan yang menahannya untuk pergi.
Keponakan kembar Alaric adalah anak dari kakak pertamanya Bella Amor Friedrick, dia menikah dengan seorang pria berasal dari Indonesia Beno Arya Devandra, Beno merupakan orang kepercayaan Ayah Alaric untuk memegang kendali perusahaan cabang mereka yang berada di Indonesia. Mereka sudah menikah selama 7 tahun dan dikarunia sepasang anak kembar yang sekarang usianya sudah 5 tahun.
Namun, takdir mengambil mereka, mereka tiada karena kecelakaan pesawat tepat saat usia sikembar tiga tahun, saat itu mereka hendak pergi ke Jerman menyusul si kembar yang sudah lebih dulu berangkat bersama Nenek dan Kakeknya, namun ternyata pesawat yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan hingga akhirnya merenggut nyawa mereka.
Setelah kepergian kedua orang tuanya, Alaric langsung menghubungi kelurarga Beno yang berada diIndonesia untuk meminta izin agar membiarkan si kembar menetap di Jerman untuk sementara waktu.
“Kean dan Kian udah lama juga rasanya aku enggak main sama mereka, Jasmine dimana Kak, sudah lama juga aku tidak bertemu dia” tanya Alaric, saat dua mengungat belum bertemu keponakan dari kakak keduanya.
“Itu karena kamu terlalu sibuk Al, jangan siksa dirimu dengan setummpuk pekerjaan, tubuhmu juga berhak mendapatkan istirahat, jika kamu melakukan semua itu hanya untuk melupakan cinta petama kamu itu, maka lakukan semuanya dengan cara yang benar bukan dengan cara menyiksa dirimu sendiri, jangankan bertemu Jasmine yang ada di rumah Grandmanya, Kean dan Kian yang satu rumah denganmu saja tidak bisa kamu temui”
“Aku hanya berusaha menutup segala celah yang bisa membuatku mengingatnya kembali kak”
“Bagiku dia terlalu istimewa untuk aku lupakan, dan terlalu menyakitkan untuk aku kenang, rasanya jika suatu saat nanti aku bisa menemukan seseorang yang bisa aku jadikan istri, dia masih akan tetap memiliki tempat istimewa dihatiku”
Alaric berujar dengan tatapan matanya yang terlihat menerawang seakan bayangan tentang perempuan yang dicintainya sedang berputar memenuhi pelupuk matanya.