Episode 15

1904 Words
Malam itu. Ketika Annisa sudah merasa putus asa, karena usahanya selama 25 tahun untuk menemui anak kandung yang telah ditelantarkannya ternyata sia-sia. Bahkan setelah bertemu pun dia tak juga memiliki kemampuan dan keberanian mengakui di depan Rara sang buah gairah ya bersama Soeryo Atmodjo yang telah diabaikan dan menuruti ego, sehingga rela mengabaikan dan menelantarkannya. baru sadar setelah ia dikecewakan oleh orang membuatnya terlena itu pergi dan mengabaikannya, seperti saat ini yang dia rasakan. 25 lima tahun masa tersiksa akibat ulahnya sendiri, membuatnya kini ingin mengakhiri hidupnya. “Mbak, sekarang aku sudah tak punya tenaga, untuk hidup seperti ini terus menerus.” Kata Annisa kepada Anggi, istri teman sekerja dulu saat masih satu kantor di firma hukum. di rumah keluarga inilah setiap kali Annisa tinggal, saat ke indonesia ingin menemui Rara. “Aku dan suami serta kedua anakku ingin memberikan solusi terakhir. memang ini boleh dikatakan drama tergila sepanjang abad. tapi apa salahnya kalau kita coba.” Disini dan dari sinilah sumber skenario dibuat, mungkin memang nampak jahat dan ilegal. Malam itu pertemuan di rumah keluarga Anggi. mohan adalah anak dari pasangan Anggi dan Burhan. yang menjadi dokter spesialis di rumah sakit swasta terkemuka di kota itu. drama kecelakaan itu sebenarnya tidak benar-benar terjadi, dan itu hanyalah satu cara agar Annisa bisa masuk kembali berkumpul dengan keluarganya. dan untuk meyakinkan keluarga Rara dibuatlah seakan-akan Annisa koma dalam waktu yang cukup lama. babak pertama berhasil. karena selama dinyatakan koma, ternyata Rara dan Soeryo dengan setia merawat Annisa. kemudian babak kedua, ditemukannya surat-surat penting Annisa bertujuan agar Rara mulai tahu bahwa yang ada di rumahnya itu adalah Mama yang selama ini dirindukannya. tapi sayang sampai disini ternyata Annisa sudah hampir tak sanggup untuk melanjutkan babak ini. ………………… "Malam mulai merambat perlahan namun pasti, suara binatang malam hanya terdengar bila pintu atau jendela dibuka. di villa megah dan cukup luas itu sudah dihuni oleh emam anak-anak muda yang selalu riang dan jenaka. Namun tak mampu mengusir rasa sepi. Rara dan satu pemuda pergi menjalankan pelacakan jejak dirinya, sudah sesuai dengan alur cerita, sesuai yang dirancangnya. Tapi tanpa Rara, kenapa hati ini begitu kosong." Annisa duduk mendekap kedua kaki dan kedua lutut dipakai menopang dagunya. Pikirannya terus melayang, yang selalu muncul di pikirannya ketika malam tiba, adalah kekonyolan drama Amnesia, dan peran utamanya adalah dirinya sendiri. Drama sudah berjalan, tak mungkin ia berhenti cuma sampai disini. "Kenapa aku semakin mempersulitnya?, Seandainya aku punya keberanian sedikit saja, maka hal seperti ini tak akan terjadi." Sesalnya. Memang semua alamat yang dituju Rara adalah jejak nyata dan memang dia pernah tinggal dan sekaligus bekerja disana. Namun tidak dengan keluarga. Melainkan hidup sendiri. Harapannya hanya satu bahwa dia yang saat ini amnesia segera pulih dan mengakui Rasa adalah anak yang pernah ditinggalkan hanya itu. Selebihnya tak terlalu berharap banyak. Dua Minggu telah berlalu, Rara dan Nico menemukan sebuah kebenaran bahwa Annisa memang pernah dan bahkan masih tinggal disana. Hati Rara pun mulai tawar dan tak lagi berharap menemukan orang yang dirindukannya sejak kecil. karena menurut info yang di dapat bahwa dia yang bersamanya, tidak memiliki keluarga, sedangkan selama ini yang dia dengar berbeda. bahwa mama yang mengandungnya telah menikah dan memiliki satu anak yang usianya kurang lebih tiga tahun lebih muda darinya. sepanjang perjalanan mencari info tentang keberadaan mamanya Rara, si Nico tak bisa berkata banyak melihat ketegangan dalam pikiran Rara. si Nico memang sudah berusaha mengalihkan pembicaraan, namun tetap saja tak mampu berbuat banyak. Sesampai mereka di Indonesia, dia tak langsung menuju villa, melainkan pulang ke rumah. "Pa, pulang nanti bawain Rara makan malam. Makasih." Telpon langsung ditutup kemudaan melemparkan diri ke ranjang tengkurap dan kepalanya di tutupinya dengan bantal. "Ada apa dengan belahan anganku." Pikir pak Soeryo. "Bapak mau pulang dan jangan hubungi bapak yang bersangkutan dengan pekerjaan." Diambilnya kunci segera meluncur pulang. sesampainya dirumah, pak Soeryo sengaja langsung membuka makanan dan menikmati makanannya di samping Rara dan berakting kayak orang kelaparan. Melihat sang buah hatinya mulai melirik, dia berkata: “Maaf, papa kelaparan nich, jadi papa maem duluan ya sayang.” mendengar sang papa bilang kelaparan Rara langsung lompat bangun dari tempat tidurnya, berlari ke ruang makan dan mengambil air mineral serta piring. “Kebiasaan banget papa, baru makan kalau sudah kelaparan, Rara sudah sering bilang, waktunya jam makan itu ya makan Pa, meskipun sedikit. Jangan nunggu lapar, papa harus jaga kesehatanlah. Kalau begini terus, Rara bakal gak ijinkan kemana-mana sendirian lho. biar dah Rara kawal terus, biar gak sampai terlambat makan.” Kata Rara sambil memindahkan makanan yang dibungkus itu ke piring. ditungguinnya sang papa makan dan diperhatikan terus. “Anak papa harus makan juga lah biar ada temennya. gak enak kan kalau papa makan sendiri.” mendengar itu, Rara Pun membuka bungkusan nasi, memindahkan ke piring kemudian Rara menikmati nasi pembelian sang Papa. “Hmmm.. enak banget masakannya.” Kata Rara, lupa akan masalah berat yang sedang dihadapinya saat ini. Karena memang sejak kecil sang papa selalu mengajarkan bahwa, ketika makan harus meninggalkan semua yang ada dalam pikirannya seberat apapun, agar disaat makan bisa menikmatinya. karena makanan yang masuk kedalam perut bukan sekedar untuk memenuhi perut, melainkan untuk dinikmatinya. begitu kira-kira nasehat sang papa sejak kecil yang diingatnya sampai detik ini. “Papa beli ditempat biasa sih, tapi karena yang beli dan membawanya dengan penuh kasih sayang, sehingga menambah makanan menjadi lebih lezat dan nikmat.” Kata Papa. Rara tersenyum sambil manggut-manggut, dan berkata: ”He’em. Betul.” selesai menikmati makan malam itu, Rara gak ingin duduk-duduk di ruang santai seperti kebiasaannya. usai membereskan bekas makanannya. langsung merebahkan diri di tempat tidur. dan sang papa pun, seperti biasa. Jika dilihatnya belahan hatinya lagi suntuk, ia selalu berada disampingnya. sang papa berbaring di samping Rara. dan memejamkan mata. walau gak tidur, sampai anaknya mengajak bicara. Saat Rara menghadap sang papa, diapun menghadap ke Rara, mereka berdua saling memandang. “Pa.” “Hmmm.” “Ternyata.” Rara berhenti dan tidak jadi melanjutkan. “Apa,...ternyata...apa?” “ternyata, orang yang bersama kita itu tak memiliki keluarga. semua tempat yang Rara kunjungi memang mereka kenal, bahkan di tempat dia bekerja juga tak ada yang tau, kalau dia punya keluarga, di sebuah perusahaan elit di kota, selama 30 tahun itu dan kini menjadi JM disana, tapi tak satupun yang pernah tau, atau melihat bahwa dia memiliki keluarga.” Rara menghela nafas panjang dan melanjutkan. “Sebenarnya, Rara itu gak menuntut terlalu banyak. cuma kepingin tau, sekali saja dan kepengen dipeluknya, walau cuman sekali. tak ada manusia di dunia ini yang sempurna, dan masing-masing manusia memiliki jalannya sendiri. Rara juga bukan anak kecil seperti dulu, walau tingkah dan pemikiran Rara masih sering kekanak-kanakan.” Sang papa hanya mendengar apa yang ingin anaknya curhatkan. karena dia ingin menjadi pendengar yang baik untuk semua keluhan sang buah hatinya. dalam hati dia hanya bisa berkata:”Maafkan Papa nak.” “Tapi Rara juga tak ingin mencabut ucapan saat Rara masih kecil dulu dan sampai kapanpun tetap berlaku. bahwa Rara tak akan menikah, sebelum Rara merasakan pelukan mama, ketika Rara benar-benar mengetahui yang memeluk Rara adalah benar, benar ibu kandung Rara, saat itu Rara baru memikirkan masa depan.” Buat pak Soeryo kata ini, sering terdengar, dan terucap dari bibir tipis sang buah hati. kala itu Rara belum dewasa seperti sekarang ini, sehingga, kata itu hanya merupakan nyanyian sumbang di telinganya. tapi ketika kata itu diucapkan kini, berubah menjadi tamparan yang mengiris dan menyayat hatinya. pasalnya, sang papa juga ikut andil sebagai aral yang melintang buat masa depan sang buah hati. Ingin si Soeryo mengakuinya saat ini, tapi ada ketakutan yang mendasar buatnya untuk mengakui dan meminta maaf. ketakutan besar yang ada kali ini adalah. dibenci dan ditinggalkan buah hati yang sejak awal dia berjuang demi buah hatinya, hingga Soeryo, membuang semua rasa sebagai lelaki normal yang ada dalam dirinya. Demi buah hatinya. dan kini Soeryo tak mampu berbuat banyak. Karena terlalu keras berpikir, sehingga raga yang kian renta itu menggigil kedinginan. Melihat sang papa, menggigil dan keringat membasahi sekujur tubuhnya. Rara panik. “Nic, cepat meluncur ke rumah, papaku sakit.” usai telepon Nico, diapun masih bingung harus berbuat apa. tak lama kemudian bel berbunyi, Rara segera membukakan pintu buat Nico. “Sudah kamu kasih obat.” Tanya Nico, Rara menggelengkan kepala. dan Nico segera memanggil ambulance. dan dibawanya pak Soeryo ke Rumah Sakit. Ketika, semua anggota Enam sekawan mendapat kabar, bahwa papanya Rara berada di Rumah Sakit, mereka semua bermaksud menjenguknya. Rencana Esok pagi mereka pulang dan langsung menemui pak Soeryo. ………………… Sepanjang perjalanan pulang Annisa diam tak berucap sepatah katapun. satu dalam pikirannya yaitu bagaimana dia dapat lari dari skenario yang telah dirancangnya. Sesampainya di rumah sakit itu. “Tante nunggu di mobil saja ya?” Pinta Annisa. dirangkulnya sang tante oleh Olien dan Icha. “Kita masuk bersama, ruangan tempat pak Soeryo tempat dirawat itu luas dan ada ruang tamu, jadi gak bakalan mengganggu pasien yang lain.” Bisik Icha. dan mereka pun langsung menuju ruangan dimana pak Soeryo dirawat. ketika semua masuk menemui pak Soeryo, Annisa menunggu di ruangan tamu duduk dan pikirannya melayang entah kemana. “Rupanya ini kesempatanku untuk menjumpainya apapun resikonya. aku sudah jenuh lari dari kenyataan ini. mengakui kesalahan pasti akan terasa sakit, menutupinya sudah puluhan tahun juga sama menyakitkannya.” pikirnya. ketika dia mengintip dari kaca pintu ruangan. Olien melihatnya. Segera dia membuka pintu dan mengajak mama Annisa masuk dan menuntunnya. mata Soeryo melihat seseorang yang pernah mengisi hatinya. Saat itu, Annisa menangis dan menghampiri pak Soeryo dan berkata: “Papa, maafkan mama, sudah lama mama mencari dirimu. mana anak buah cinta kita? aku rindu ingin memeluknya..paa. jangan diam saja. katakan dimana anak kita.”Adegan memilukan ini membuat semua meneteskan air mata. Melihat adegan ini si Rara masih terpengaruh dengan pikiran dan fakta yang didapatkan. Seakan adegan yang ada di depannya tak ada sangkut pautnya dengan yang ada dalam hati dan pikirannya. "Tak ada respon sedikitpun pada diri Rara?" Pertanyaan itu muncul dibenak Olien. Ketika melihat Annisa menangis di depan sang suami, yaitu papa Rara. Dan hal yang sama terjadi pada semua anggota Enam Sekawan, karena mereka tau persis bahwa Rara sangat merindukan belaian sang Mama, yang melahirkannya. Wajah datar tanpa expresi Rara yang dilihat sang papa menjadi pertanyaan buatnya. Namun dipendamnya. Karena cukup lama adegan itu berlangsung. si Olien mengambil inisiatif untuk membawa mama Annisa di ruang tamu. "Ya sudah. Tenangkan dulu pikiran Mama." Hibur si Icha. Sambil dirangkulnya. Diam-diam si Lia mencolek Olien, memberikan isyarat untuk keluar ruangan. Tak lama kemudian Olien mengikuti Lia, dan mereka berdua duduk di dibangki dibawah pohon rindang di taman rumah sakit itu. "Kita sudah kenal Rara sudah cukup lama dan kita tau, expresi nya gimana tadi." Kata Lia. "Terus maksudnya gimana?" Tanya Olien yang gak mengerti arah pembicaraan si Lia. "Aku kan punya apartemen, yang untuk sementara waktu bisa buat ma Annisa. Sampai ada titik terang dari makalah yang cukup berat buat keluarga ini." Kelas Lia "Jadi sebaiknya kita ajak Mama Annisa ke apartemen sekarang. Begitu maksud kamu?" "Tepat." Kemudian mereka berdua masuk kedalam ruangan. Dilihatnya papa Soeryo dan Rara hanya berdua. Olien masuk menghampiri Rara dan berkata: "Aku dan teman-teman pamit dulu ya… Pa kami pamit dulu ya ..cepet sembuh." Kata Olien kemudian mengajak semua pulang. "Aku sudah pamit kok, yuk kita pulang ke apartemen Lia." Kata Olien dan memberikan isyarat untuk langsung keluar. Sejak adegan drama sedih selesai, sampai saat mereka menuju apartemen Lia. mama Annisa diam. Begitu juga semua anggota Enam Sekawan tak sepatah kata pun terucap, hingga sampai di apartemen Lia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD