Satu minggu kemudian.
Yi Seok, Pangeran ke delapan. Pagi itu datang berkunjung ke kediaman Yi Tan dengan menunggangi kuda kesayangannya.
"Hyeongnim ..." ucap Yi Seok dengan suara yang cukup lantang ketika memasuki halaman kediaman Yi Tan.
Seorang pria yang bekerja di kediaman Yi Tan lantas segera berlari menghampiri Yi Seok dan memberi salam.
"Pangeran datang kemari?"
Yi Seok tersenyum ramah ketika pria yang sering dipanggil dengan nama Seon Dol itu mengambil alih kudanya.
"Apa Hyeongnim ada di rumah?"
"Ye, Pangeran Yi Tan belum meninggalkan rumah pagi ini."
"Syukurlah, berarti aku datang tepat waktu."
Pintu kamar Yi Tan terbuka, dan sang Pangeran bergegas keluar ketika mendengar suara yang cukup familiar baginya.
"Hyeongnim ... aku datang." Senyum Yi Seok melebar. Dia membuka kedua tangannya untuk menyambut kedatangan Yi Tan. Namun alih-alih sebuah pelukan, Yi Seok justru mendapatkan teguran langsung dari Yi Tan.
"Kenapa Pangeran berada di sini sepagi ini?"
Yi Seok menurunkan kembali tangannya dan tampak kecewa karena mendapatkan sambutan yang sama setiap kali ia datang berkunjung.
"Hyeongnim selalu menanyakan hal yang sama setiap kali aku datang. Jadi aku juga akan mengucapkan hal yang sama sebagai sebuah jawaban ... aku kebetulan lewat dan ingin mampir sebentar."
Yi Tan tersenyum mendengar ucapan Yi Seok, begitupun dengan Yi Seok yang kembali tersenyum lebar. Di antara banyaknya orang yang memandang rendah Yi Tan, Yi Seok adalah orang ke tiga yang dimaksud oleh Putra Mahkota Yi Geum sebagai seseorang yang akan memberikan dukungan pada Yi Tan.
Meski keberadaan Yi Tan sering menjadi gunjingan di antara saudara-saudara mereka, namun Yi Seok tetap menghormati Yi Tan sebagai seorang kakak. Dan dibandingkan dengan kerabat manapun, Yi Seok adalah orang yang paling dekat dengan Yi Tan.
Keduanya kemudian melanjutkan pertemuan mereka dengan duduk berhadapan di gazebo yang terletak di halaman samping.
Yi Seok sejenak memandang langit dan menghela napas. "Udaranya sangat bagus hari ini."
"Bagaimana kabar Pangeran?" Yi Tan memberikan teguran dan menarik perhatian Yi Seok.
"Seperti yang Hyeongnim lihat. Aku tidak akan datang kemari jika sedang sakit."
Yi Tan menanggapi candaan Yi Seok dengan seulas senyum tipis. "Kalau begitu bagaimana dengan kabar adik ipar?"
"Dia ingin melihat Hyeongnim." Perkataan Yi Seok kali ini terdengar lebih sinis.
Sebelah alis Yi Tan terangkat. "Ada apa?"
Senyum Yi Seok tiba-tiba melebar. Dia mencondongkan tubuhnya ke arah Yi Tan dan mengangkat tangannya untuk menutupi mulutnya dari samping.
Yi Seok berbisik, "aku akan menjadi seorang ayah sebentar lagi."
Yi Tan menatap tak percaya. "Sungguh?"
Yi Seok kembali menegakkan tubuhnya dan memberikan anggukan yang meyakinkan. Namun setelahnya dia berbicara seperti sedang mengeluh.
"Eih ... aku benar-benar merasa iri pada Hyeongnim. Sepertinya bukan hanya istriku yang menyukai Hyeongnim, bahkan calon bayiku juga melakukan hal yang sama."
"Itu sebuah kesalahpahaman, kau tidak harus melanjutkannya."
Yi Seok menggeleng. "Bagiku itu sebuah kebenaran. Istriku ... adik ipar selalu merengek ingin bertemu dengan Hyeongnim. Sejak dia mengandung, dia tidak bisa menahan diri."
Yi Tan tersenyum lebih lebar. "Aku harus meminta maaf atas hal itu."
"Aku bercanda, Hyeongnim tidak perlu menganggapnya serius. Tapi istriku benar-benar melakukannya. Aku pikir mungkin akan sangat mengganggu Hyeongnim jika aku membawanya datang kemari."
"Mungkin ada baiknya jika aku yang datang ke sana. Tapi mungkin itu akan menimbulkan kesalahpahaman yang baru."
Keduanya kemudian mengganti topik pembicaraan setelah sempat terdiam selama beberapa detik.
Yi Seok berbicara, terdengar berhati-hati. "Rumor sudah menyebar luas. Jadi bagaimana keputusan Hyeongnim?"
"Rumor mana yang kau maksud?"
"Tentang pernikahan. Adakah rumor selain itu?" Yi Seok tersenyum simpul.
Meski telah mengetahui bahwa Yi Tan telah ditunjuk sebagai pengganti Putra Mahkota Yi Geum, tampaknya Yi Seok tak ingin ikut campur dengan hal itu.
Yi Tan menyahut, "tentu saja ... aku tidak bisa menolak pernikahan. Aku harus tetap melakukannya."
"Benar sekali. Hanya Hyeongnim yang belum menikah. Bagaimanapun juga Hyeongnim tidak bisa melajang seumur hidup."
Senyum keduanya kembali mengembang. Yi Tan kemudian berkata, "sebenarnya ... aku tidak terlalu memikirkan tentang pernikahan."
"Kenapa begitu?"
Yi Tan memalingkan pandangannya ke samping dan menjawab, "aku tidak yakin dengan hal itu ... mungkin karena aku belum bertemu dengan seseorang yang istimewa."
Yi Seok tersenyum simpul dan kembali berbicara. "Hyeongnim memiliki waktu luang hari ini?"
"Ada apa?" Yi Tan kembali memandang Yi Seok.
"Aku ingin pergi ke suatu tempat dengan Hyeongnim."
"Ke mana?"
"Tempat yang cukup jauh."
Yi Tan memandang penuh selidik. "Haruskah aku pergi bersama Pangeran?"
Yi Seok mengangguk. "Sudah lama kita tidak pergi bersama. Saat Hyeongnim menikah nanti, kita belum tentu memiliki waktu untuk bersama seperti ini ... jadi bagaimana? Hyeongnim akan pergi bersamaku?"
"Aku tidak memiliki alasan untuk menolak permintaanmu."
Senyum di wajah Yi Seok melebar. Dan hari itu kedua Pangeran itu menungganggi kuda masing-masing meninggalkan Hanyang.
Dan setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Keduanya sampai di sebuah hutan di kaki Baekdusan. Yi Tan yang tidak pernah meninggalkan Hanyang tentu saja tidak tahu tempat di mana mereka berada saat ini.
Kuda keduanya berjalan berdampingan dengan langkah yang lambat. Sejenak beristirahat setelah berlari cukup jauh. Dan kedua Pangeran itu lantas kembali berbincang-bincang.
"Seberapa jauh lagi kita akan pergi?" tegur Yi Tan.
"Setelah keluar dari hutan ini, kita harus melewati satu lembah lagi untuk bisa sampai di tempat tujuan."
Yi Tan memandang Yi Seok. "Sebenarnya ke mana Pangeran ingin pergi kali ini?"
Yi Seok sekilas memandang sembari tersenyum simpul. "Hyeongnim akan mengetahuinya saat kita sampai nanti."
Yi Tan memandang sekeliling. Tak ada yang bisa ia temui selain pepohonan yang berjajar dengan rapi. Sementara itu kedatangan kedua Pangeran itu telah mengusik Roh Gunung.
Young Jae keluar dari balik pohon Penyangga Surga. Garis wajah sang Roh Gunung terlihat serius. Pandangannya kemudian terjatuh pada gazebo yang kosong.
"Rubah Tua, keluarlah," tegur Young Jae.
Eun Kwang segera muncul dari sisi lain pohon Penyangga Surga. "Tuan memanggilku?"
Young Jae segera memandang sang siluman Rubah. "Di mana Gumiho?"
"Tuan Muda baru saja ada di situ." Eun Kwang menunjuk gazebo dan sedikit kaget ketika melihat garis wajah Young Jae yang tampak serius. "Ada apa? Kenapa Tuan terlihat serius sekali?"
"Siapa yang memasuki wilayahku?" gumam Young Jae, mengarahkan pandangannya pada perkampungan di bawah singgasananya.
"Siapa yang Tuan maksud?"
Young Jae kembali memandang Eun Kwang. "Bawa Gumiho pulang, secepatnya."
Dahi Eun Kwang mengernyit. "Apakah telah terjadi sesuatu yang serius?"
"Jangan bertanya dan lakukan saja."
"Baik, Tuan ..." sahut Eun Kwang dengan malas dan lantas menghilang dari hadapan Young Jae.
Pandangan Young Jae kembali terjatuh pada perkampungan. Si Roh Gunung kembali berbicara dengan suara yang pelan namun menunjukkan sebuah kekhawatiran.
"Tidak mungkin."
Young Jae memandang bagian atas pohon Penyangga Surga dan berbicara seolah-olah tengah bertanya pada pohon itu. "Apakah waktunya sudah datang? Tidak benar, kan?"
Satu kelopak bunga pohon Penyangga Surga terlepas. Terbang ke bawah dan menuju telapak tangan yang telah menantinya. Young Jae langsung menggengam kelopak bunga itu selama beberapa detik sebelum kembali membuka tangannya dan menyaksikan kelopak bunga yang suci kini telah terkotori oleh warna merah darah.
"Bukan, belum saatnya," gumam Young Jae.
Kelopak bunga di tangan Roh Gunung kemudian terkikis oleh udara. Melebur menjadi butiran halus menyerupai debu dan menyatu dengan udara. Namun sayangnya warna merah dari kelopak bunga itu telah meninggalkan bekas pada telapak tangan sang Roh Gunung.
THE PRECIOUS KING AND THE NINE TAILED//