6. Kilatan Ingatan Masa Lalu

1058 Words
Sayup-sayup suara kicau burung membangunkan tidurnya yang nyaman. Ia mengerjap perlahan dengan matanya yang terasa berat. Dan iris mata sekelam malamnya pun kini terlihat sempurna. Ia mencoba meraba meja di samping tempat tidurnya untuk mencari kacamatanya. Dan … dapat, kemudian segera memakai kacamatanya dan mengamati seisi ruangan. Ia menghela nafas berat saat suasana kamar yang sudah ia hafal terlihat jelas. Ini adalah kamarnya. Ia dapat mengingat bahwa mamanya memaksa membawanya pulang meski nenek dan kakek itu memintanya untuk tetap tinggal. Dan di sinilah ia sekarang, terbangun di kamarnya yang telah menemani kesedihannya selama ini. "Sayang, kau sudah bangun?" Yuna muncul dari balik pintu dengan segelas s**u hangat. Meletakkan segelas s**u itu ke atas meja kemudian duduk di tepian ranjang Kania. Diusapnya lembut pipi Kania yang chubby dengan sorot mata tak terbaca. Kania tertunduk dan terdiam beberapa saat kemudian membuka suara. "Maafkan Kania, Ma," ucapnya dengan suara kecil. Yuna segera memberi Kania pelukan, mengusap kepala Kania penuh kasih sayang dan memberinya kecupan hangat. "Tidak, Sayang, seharusnya, mama yang harus minta maaf padamu. Maaf, maafkan mama," lirih Yuna tanpa melepas pelukannya. Air matanya kembali menetes mengingat Kania dengan berani mencari alamat rumah ayah kandungnya. Ia tak tahu lagi, jika terjadi sesuatu pada Kania, maka ia tak akan memaafkan dirinya sendiri seumur hidup. Perlahan air mata Kania menetes membasahi baju Yuna. Dipeluknya Yuna dengan erat seakan tak ingin lepas barang sedetik dari dekapan mamanya. Ingatan dimana Revan mengatakan bahwa ia tak mungkin punya anak masih teringat jelas. Bahkan hatinya kini masih berdenyut ngilu kala ingatan itu kembali berputar. Padahal itu adalah kemungkinan yang memang akan terjadi, tapi kenapa hatinya seolah tak menerimanya? Kania menyesal telah menaruh harapan yang besar dan pada akhirnya harus menelan kekecewaan. "Bisakah Kania berjanji pada mama?" Yuna melepas pelukan dan menangkup wajah Kania dengan kedua tangan. "Mama mohon, jangan membuat mama khawatir seperti apa yang Kania lakukan kemarin," lanjutnya dengan lelehan air mata membasahi wajahnya. Air mata Kania kian mengalir deras melihat mamanya menangis untuknya. Melihat mamanya menangis seolah merasakan luka mendalam, membuatnya merasa bersalah. Kania mengangguk kecil, ia berjanji tidak akan membuat mamanya menangis lagi. Yuna kembali memeluk Kania, menyalurkan seperti apa perasaannya saat ini yang tak bisa lagi ia ungkapkan dengan kata. "Dan bisakah Kania berjanji, jangan cari papamu lagi. Tidakkah kasih sayang mama yang hanya untuk Kania sudah cukup?" Lagi, Kania hanya bisa mengangguk dalam dekapan mamanya. Usahanya sia-sia dan tak membuahkan hasil seperti yang ia ingin, yang ada hanya hasil membuat mamanya khawatir. Yuna kembali melepas pelukan, mengusap air mata Kania dengan ibu jarinya dan berusaha mengukir senyumnya. "Mama belum bisa menceritakan semua, maafkan mama. Tapi bisakah ... bisakah Kania tetap menjadi Kania? Kania yang hanya memiliki mama. Jika sudah saatnya tiba, mama janji akan mengatakan semuanya pada Kania," ujar Yuna dengan rasa bersalah yang tercetak jelas di wajahnya. "Uum." Kania kembali mengangguk sebagai jawaban. Tangannya terangkat dan mengusap air mata mamanya. Air mata yang lagi-lagi lolos hanya karenanya. "Maaf, Ma, Kania janji tidak akan membuat mama menangis lagi," batin Kania dan berusaha memberi mamanya senyuman yang menenangkan. Biarlah, jika memang pada kenyataannya hingga pada akhirnya ia memang tak bisa bertemu ayahnya, ia akan berusaha menerima. *** Revan baru saja keluar dari rumah sakit dengan beberapa perban yang menghiasi kepala dan tangannya, begitu juga di balik kemejanya, terdapat perban yang melilit perut hingga bagian d**a. Bahkan di beberapa bagian wajahnya masih terlihat membiru karena pukulan. Ayahnya benar-benar tak main-main kemarin, mungkin jika ibunya tak menghentikannya, ia benar-benar akan mati. Saat itu ibunya segera memanggil ambulance dan membawanya ke rumah sakit, alhasil, ia tak bisa menemui Kania, mengatakan bahwa ia adalah ayahnya. Tangis dan sorot mata Kania yang terluka terekam jelas dalam ingatannya. Dadanya berdenyut ngilu saat ingatan itu kembali berputar. Ia tak mengerti, bagaimana bisa Yuna berbuat sejahat ini padanya, memisahkan, bahkan membuat Revan seperti orang bodoh karena tak mengetahui bahwa ia adalah seorang ayah. Tangannya merogoh saku celana dan mengambil ponsel ya untuk menghubungi seseorang. "Halo. Tolong cari dan periksa rekaman cctv hotel sebelas tahun yang lalu," perintahnya entah pada siapa lewat sambungan telepon. Mematikan sambungan telepon, kemudian pandangannya mengarah pada luar jendela mobilnya yang kini melaju sedang. Hari mulai gelap dan lampu-lampu mulai menunjukkan diri menciptakan karya manusia yang indah. Ingatannya terlempar ke masa hampir sebelas tahun yang lalu. Ia memejamkan mata sejenak dengan hati yang mengucap sumpah bahwa ia akan membalas pria itu. Akan ia buat pria itu menanggung semua rasa sakit putrinya, Yuna, juga dirinya sendiri. *** Yuna tak bisa tidur, ia masih terjaga meski waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Tiba-tiba ia teringat malam itu, malam yang menjadi mimpi buruk untuknya. Ia tak mengira, Revan dengan sengaja menjebaknya hanya untuk menidurinya. Apa salahnya? Bahkan mereka baru mengenal. "Lama tak melihatmu, Yuna Anindia," sapa produser yang beberapa minggu lalu memaksanya di acara pernikahan Raisa, sahabatnya. "Kelihatannya kau semakin seksi saja," lanjutnya dengan memandang Yuna lapar dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Maaf, tolong jaga bicara anda," peringat Yuna agar pria itu berhenti mencoba menggoda atau menawarkan tawaran seperti waktu itu. Tawaran menjadikannya aktris terkenal dengan syarat mau menjadi b***k ranjangnya. "Cih, jangan sok suci. Lagipula aku sudah tidak tertarik lagi denganmu. Untuk apa aku tertarik pada bekas Revanzio Bara?" ucap pria itu diiringi seringai picik. "A-- apa maksudmu?" Yuna terkejut, bagaimana bisa orang itu tahu? Malam itu ia memang terbangun di kamar hotel dengan kartu nama Revanzio Bara yang entah sengaja atau tidak tertinggal di atas meja juga dengan sepucuk memo kecil. "Aku ada urusan mendadak, hubungi aku untuk membicarakan apa yang telah terjadi." Adalah isi dari memo yang Revan tinggalkan. "Tentu saja bekas Bara, Revanzio Bara," ujar pria itu dengan tekanan jelas saat menyebut nama Revan. "Saat di pernikahan Rian dan Raisa, aku melihatnya menyuruh pelayan memberikan minuman padamu. Aku yakin ia sudah mencampurkan obat perangsang dilihat dari sikapmu setelah itu. Tentu kau masih mengingatnya, bukan?" Hati Yuna kembali teriris saat kilatan ingatan itu kembali muncul. Ia berusaha memejamkan mata hingga punggungnya perlahan membungkuk saat ia meringkuk, tapi tetap saja kata-kata itu seolah masih terngiang-ngiang meski sudah hampir sebelas tahun yang lalu. Sejak saat itu nama Revan selalu membekas, seolah menancap dan terus mengoyak hatinya sampai saat ini. Menorehkan luka untuknya, juga untuk Kania. Dan ketika luka itu belum kering sepenuhnya, ia kini justru dipertemukan kembali dengannya. Ia tidak tahu karena apa, tapi ia merasa gelisah karena merasa Revan tak akan melepaskannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD