Gadis kecil itu berjalan seorang diri melewati trotoar. Pandangannya lurus ke depan dengan tangannya yang menggenggam strap tas ranselnya. Tak ada raut keceriaan atau sebaliknya yang tercetak di wajah cantiknya dengan hiasan kacamata yang melindungi iris sekelam malam.
"Kania!"
Langkahnya terhenti sejenak saat mendengar seseorang memanggil namanya. Ia menoleh ke belakang dan mendapati seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan berlari kecil ke arahnya. Alisnya mengernyit heran. "Mama?" gumamnya.
"Hah … hah … maaf, Sayang, mama terlambat menjemputmu." Wanita berambut sebahu itu terengah saat telah berdiri di hadapan Kania.
"Bukankah seharusnya Mama masih bekerja?" tanya Kania tanpa menunjukkan ekspresi berarti. Membenarkan letak kacamatanya, ia melihat mamanya membawa sesuatu di tangannya.
"Hari ini adalah hari ulang tahunmu, jadi mama minta izin untuk pulang lebih cepat," jawab mama Kania dengan mengusap lembut kepala putri tercintanya.
Seketika ekspresi wajah Kania menjadi murung. Percuma saja ia ulang tahun, sementara mamanya tidak bisa memberikan kado seperti yang ia inginkan.
"Baiklah, ayo pulang." Diraihnya tangan Kania dan menggandengnya untuk jalan bersama ke rumah mereka.
Yuna Anindia, nama wanita itu. Adalah orang tua tunggal dari Kania Nayara, bocah berusia 10 tahun yang saat ini telah duduk di bangku kelas 6 SD. Wanita berusia 32 tahun yang membesarkan Kania seorang diri sejak sepuluh tahun yang lalu. Karena sebuah alasan, Yuna tak pernah mengatakan apapun pada Kania mengenai siapa sosok ayah kandungnya.
Tak butuh waktu lama, akhirnya mereka sampai di sebuah rumah kontrakan sederhana.
"Sayang, cuci tangan dan ganti baju, mama akan menyiapkan makanan kesukaanmu," tutur Yuna saat Kania memasuki kamarnya.
Kania gadis yang cerdas dan mandiri. Bahkan saat ibunya pergi bekerja, ia yang akan mengurus rumah dengan mengepel, mencuci hingga mencuci piring, semua dilakukannya seorang diri.
Sesuai perintah sang mama, Kania segera mengganti pakaian kemudian menyusul mamanya di dapur. Mencuci tangannya, lalu duduk dengan tenang sembari menunggu sang mama menyelesaikan apa yang harus ia kerjakan. Di atas meja sudah tersaji katsuobushi kesukaannya. Entahlah, Yuna sendiri tidak tahu, bagaimana bisa anaknya menyukai makanan asal Jepang itu. Hanya dengan katsuobushi sebagai campuran nasi, Kania bisa menghabiskan beberapa piring nasi.
"Selamat ulang tahun … selamat ulang tahun … selamat ulang tahun, Kania … semoga panjang umur …." Yuna meletakkan kue dengan dua lilin menyala berbentuk angka satu dan sepuluh.
Tanpa menunggu waktu lama, Kania segera meniup lilin setelah sebelumnya mengucapkan doa dalam hati.
"Selamat, Sayang. Doa terbaikmu, adalah doa mama untukmu." Dikecupnya penuh kasih pucuk kepala Kania dengan matanya yang berkaca-kaca. Ia tak menyangka, buah hatinya telah sebesar ini. Bahkan dulu ia tak pernah membayangkan akan memiliki Kania dan menemani kehidupannya yang menyedihkan. Namun ia bersyukur, karena berkat Kania, ia bisa menghadapi beban hidupnya. Dan hanya untuk Kania, hidupnya akan ia pertaruhkan.
Yuna mengambil sebuah kado yang sudah ia siapkan sebelumnya. Sebuah buku yang sudah Kania idam-idamkan.
"Kau bilang sangat ingin buku ini, jadi mama membelikan ini untukmu." Diberikannya buku berbalut sampul bergambar kelinci itu pada Kania dengan hati menghangat. Ia harap, Kania menyukai kado yang sudah ia pesan sejak sebulan yang lalu.
"Ma, Kania ingin papa."
Deg!
Hati Yuna seakan mencelos mendengar Kania mengatakan hal yang sama seperti tahun lalu bahkan tahun-tahun sebelumnya. Ini terasa seperti Dejavu saat anakmu meminta hadiah yang sama setiap tahunnya dan kau tak bisa memberikan apa yang ia pinta.
Mata Kania yang terbingkai kacamata berkaca-kaca, bibirnya terlihat bergetar dengan raut tak dapat diungkapkan dengan kata.
"Ma, aku ingin papa," ucap Kania sekali lagi.
Yuna hanya bisa diam, dadanya berdenyut ngilu melihat ekspresi putri satu-satunya itu juga merasakan sakit di hatinya mengingat ayah Kania yang selalu ia minta.
"Ah, Sayang, mama lupa menghubungi Tante Abel untuk datang." Yuna menghindar dengan mengalihkan topik pembicaraan. Ia segera bangkit dari duduknya. Namun sebelum ia pergi, suara Kania lagi-lagi membuatnya tersayat.
"Kenapa, Ma? Kania sudah besar. Sudah cukup mampu mengerti kenapa Kania tak memiliki papa. Tidak bisakah Mama mengatakan dimana papa Kania? Jika ia telah meninggal, izinkan Kania melihat makam papa. Atau … setidaknya, izinkan Kania mengetahui mamanya, Ma …." ujar Kania dengan menunduk menatap kue ulang tahunnya yang belum ia sentuh.
"Maaf, Sayang … mama tak bisa," batin Yuna. Tanpa mengatakan apapun, ia segera keluar dapur untuk menghubungi seseorang.
Tik … tik … tik ….
Air mata Kania perlahan menetes. Selalu seperti ini setiap tahunnya dan ia tidak tahu karena apa. Apa salahnya? Ia hanya ingin tahu siapa papa kandungnya, tapi mamanya bahkan tak menyebutkan setidaknya hanya satu kata nama papanya.
Sementara Yuna tengah menahan isakan. Air matanya juga mengalir deras. Kenapa selalu saja berakhir seperti ini? Meski besok Kania akan melupakannya, tapi tetap saja, ini sangat menyakitkan. Bahkan ia tak bisa menyebutkan nama pria itu, bagaimana ia harus mengatakan siapa ayah kandung Kania?
Ia menyandarkan punggung rapuhnya pada dinding. Entah sampai kapan ia bisa menutupi ini, tapi ia harap, Kania bisa mengerti suatu saat nanti.
"Yuna?"
Yuna segera mengusap air matanya saat seseorang yang ingin ia hubungi justru kini berada di rumahnya. Menghampirinya dengan raut penuh kekhawatiran.
"Apa yang terjadi?" tanya wanita berambut pirang itu yang tak lain adalah Abel, sahabat Yuna. Bersahabat layaknya saudara, rumah Yuna sudah seperti rumahnya juga.
"Seperti biasa," jawab Yuna dengan menyeka air mata yang tak dapat ia hentikan.
"Aunty, dimana Kania?"
Seorang bocah laki-laki seumuran Kania muncul dengan sebuah kotak kado berukuran besar di tangannya.
"Kania ada di dapur, Sayang," jawab Yuna dengan mengukir senyumnya.
"Cepat susul Kania dan berikan kadomu, Sayang," perintah Abel, ibunya, yang harus berbicara dengan Yuna.
"Um." Bocah bernama Jovan itu mengikuti perintah sang ibu dan bergegas berlari ke dapur.
"Yuna …." Abel mengusap bahu Yuna berusaha menenangkannya. Kudian membawa Yuna untuk duduk. "Hah … Kania menanyakan papanya lagi?" tanya Abel untuk memastikan dan Yuna hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Aku tak bisa …." lirih Yuna pada akhirnya.
"Aku tidak tahu, tapi bisakah kau mengabulkan permohonannya? Dia sudah 10 tahun, dan sudah saatnya ia tahu siapa ayahnya," tutur Abel memberi saran. Bagaimanapun juga, Yuna adalah sahabat sekaligus saudara untuknya, ia juga ingin yang terbaik untuk Yuna juga Kania.
"Bagaimana bisa aku mengatakan siapa ayahnya? Lalu ia akan bertanya kenapa ia tidak disini. Dan ia akan menanyakan kenapa ia lahir jika kami tidak hidup bersama. Lalu aku harus menjawab apa? Kau ingin aku menjawab bahwa Kania lahir karena sebuah kesalahan?!" ucapan Yuna mengeras di akhir kalimat. Ia hanya tidak ingin hal itu terjadi. Meski Kania memang lahir dari sebuah kesalahan, tapi baginya, Kania adalah anugrah terindah yang Tuhan kirim untuknya.
"Maaf … tapi … ia juga berhak tahu. Lalu, sampai kapan kau akan merahasiakannya?" Abel merasa serba salah. Ia tahu perasaan Yuna, meski entah kenapa, ia tidak sepenuhnya yakin bahwa semua adalah salah ayah Kania.
"Aku … tidak tahu, tapi … tidak sekarang. Aku belum bisa mencari alasan yang tepat. Aku tidak ingin Kania kecewa," jawab Yuna yang kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangan.
"Yuna tak bisa selamanya seperti ini," batin Abel. "Aku tidak tahu kenapa, tapi aku tidak yakin ayah Kania sejahat itu," ujar Abel mengutarakan apa yang ia pikirkan.
"Kau masih ingin membelanya? Apakah penderitaanku selama hampir sebelas tahun ini tak cukup?"
"Tapi … jika memang ia yang melakukannya, kenapa ia meninggalkan kartu namanya? Maksudku, seperti ada yang salah," pungkas Abel agar Yuna kembali berpikir dengan logis.
"Sudahlah, kumohon … jangan membuatku mengingatnya kembali," pinta Yuna yang kemudian bangkit dari duduknya.
Abel hanya bisa menatap sendu punggung Yuna yang terlihat rapuh. Sepertinya, ia harus melakukan sesuatu.
Sementara di dapur, Novan tengah menyantap kue ulang tahun Kania dengan lahap hingga mengotori area mulutnya.
"Kania, aku habiskan kue-mu, loh," ujar Jovan dengan mulut penuh kue rasa strawberry.
Kania hanya diam. Ia tidak peduli, karena ia memang tidak suka makanan manis. Ia lebih memilih memakan nasi bersama katsuobushi. Sesekali ia menyeka air mata dengan tetap memakan makanan kesukaannya. Lagipula percuma ia menangis, mamanya pasti tidak akan mengatakan apapun seperti tahun-tahun sebelumnya.
"Kania."
Kania menoleh saat Abel memanggil dan menghampiri.
"Wah … kau makan dengan lahap. Pasti karena makanan kesukaanmu," ujar Abel berbinar melihat Kania makan dengan lahapnya. "Selamat ulang tahun, Sayang." Dikecupnya kedua pipi Kania yang chubby, kemudian kening lalu berakhir di pucuk kepalanya.
"Terimakasih, Bi," jawab Kania sekenanya.
"Hm … sepertinya lezat, boleh bibi minta?" Abel hendak mencomot katsuobushi milik Kania namun Kania segera bergerak cepat. Tidak akan ia biarkan siapapun mengambil makanan kesukaannya. Lagi pula ia tahu, katsuobushi cukup mahal dan tidak semua toko menjualnya. Mamanya telah membelikannya untuknya dan ia akan menghabiskannya, kecuali untuk mamanya. Sayangnya, mamanya tidak menyukai makanan yang terbuat dari ikan itu.
"Hahaha." Abel tertawa melihat respon Kania. Ia hanya ingin menggodanya. Seperti apapun Kania, sedewasa apapun ia di usianya sekarang, tetap saja, Kania masih memiliki sisi kekanak-kanakan.
"Ma, minum!" sahut Jovan tiba-tiba.
"Ya Tuhan, Jovan, apa yang kau lakukan?!" pekik Abel saat menyadari Jovan telah menghabiskan kue Kania.
"Kenapa? Kania boleh, kok. Dan Kania kan memang tak suka makanan manis," ujar Jovan dengan wajah polosnya.
"Hah …." Abel hanya menggeleng pasrah merasakan sikap putra satu-satunya.
"Tidak apa-apa, Bi, asal bukan katsuobushi milikku," ucap Kania tanpa ekspresi berarti.
"Biarkan saja, tidak apa-apa." Yuna kembali dengan mata masih terlihat sembab dan Kania dapat melihatnya. Menarik kursi, Yuna duduk di samping Abel. Karena Novan telah duduk di samping Kania begitu juga dengan Abel.
Seketika sebuah rasa bersalah merasuki Kania. Ia tahu bahwa mamanya baru saja menangis seperti tahun-tahun yang lalu. Diperhatikannya mamanya yang tetap menunjukkan senyum lebar meski matanya terlihat masih merah dan sembab. "Maaf, Ma," gumamnya dalam hati. Kania tahu, setiap kali ia menanyakan hal serupa, mamanya akan menangis. Tapi … ia tak bisa memendamnya lebih lama lagi. Ia hanya ingin mengetahui sosok papanya, namanya, rupanya, juga apa yang ia lakukan sekarang. Namun, jika mamanya justru tersakiti karena hal itu, mungkin tahun ini bukan tahun yang tepat untuk mengetahui semuanya.
Diperhatikannya mamanya, bi Abel juga Jovan, suasana ini selalu berulang setiap tahunnya. "Mau bagaimana lagi … mungkin memang belum waktunya," batinnya dengan berusaha menerima dengan pasrah.
"Kania, besok kau libur, kan? Bagaimana jika kita jalan-jalan?" tawar Abel dan segera mendapat sahutan dari sang putra.
"Aku ikut, aku ikut!" seru Jovan penuh semangat.
"Tapi … besok aku lembur," ujar Yuna memberitahu.
"Ya sudah, biar Kania pergi denganku. Lagipula, Rai juga akan ikut."
"Rai di rumah?" tanya Yuna.
"Iya, dia baru kembali kemarin," jawab Abel dengan memasukkan cemilan ke dalam mulutnya.
"Kalau begitu jangan, dia pasti masih lelah. Biar minggu nanti kami pergi, bagaimana Kania?" tanya Yuna pada Kania seolah tak terjadi apapun sebelumnya.
"Terserah Mama saja," jawab Kania dengan tetap menikmati makanannya dengan tenang. Ia tidak terlalu menuntut untuk hal lain kecuali mengenai ayahnya.
"Tidak apa-apa, Yun, lagipula, Rai juga ada urusan di sekitar sana, jadi sekalian membawa anak-anak untuk jalan-jalan," ujar Abel yang kini mengelap mulut putranya yang belepotan.
Yuna tidak tahu harus berterimakasih seperti apa lagi. Abel telah banyak membantunya sejak saat itu hingga sekarang. Bahkan saat Kania masih kecil, Abel lah yang menjaganya saat ia bekerja. "Maaf, merepotkanmu," gumamnya.
"Hah … sudahlah, jangan pikirkan apapun. Anggap saja, ini hadiah ulang tahun dariku untuk Kania." Abel mengedipkan sebelah mata dan melempar senyum lebar. "Kita kan akan jadi besan," lanjutnya yang kemudian diikuti gelak tawanya yang membahana.
"Tidak bisa, anak kita saudara satu susuan, jika kau ingat," balas Yuna dengan memutar mata malas. Abel selalu bisa membuatnya tertawa dengan gurauan recehnya.
"Ya Tuhan, kau benar ...." Abel menepuk jidatnya dan mendesah penuh kekecewaan.
"Maaf, buat saja adik untuk Jovan dan aku akan mempertimbangkannya," gurau Yuna dan langsung mendapat polototan dari Abel. Pasalnya, ia berencana hanya memiliki satu anak karena trauma melahirkan. Namun tak ada yang tahu masa depan, karena manusia hanya bisa berencana namun Tuhan yang menentukan.