"Safira!" teriaknya sambil berlari menghambur ke arahku. Namun langkahnya berhenti saat pandagannya mengarah ke Athar.
Apa Bunda tak mau menerima putraku?
Fira mohon Bunda, jangan menolak putraku, Fira mohon, rapalku dalam hati.
"Hai, Sayang," sapa Bunda ragu, bisa kulihat ekspresi kebingungan Bunda kala menatapku dan Athar yang berada dalam gendonganku.
"Assalamu'alaikum Bunda, Fira kangen," ujarku mencoba mengurai kecanggungan di antara kami. Ya Allah, lembutkanlah hati Bunda. Hamba mohon ya Rob, rapalku dalam tiap hembusan nafasku.
Dengan memajukan wajah mendekati Bunda aku menggapai telapak tangan Bunda. Mencium telapak tangan Bunda yang sudah lama banget tidak kulakukan. Ya Allah, berilah kesehatan dan kebaikan untuk kedua orang tuaku, amiin ya Rob. Rapalku dalam hati.
"Dia siapa? Anak temen kamu ya?" tanya Bunda dan mata beliau memindai di belakangku. Seakan mencari sesuatu.
Ya Allah, kuatkanlah hamba menjalani apapun nanti reaksi orang tua hamba, amiin. Batinku merapalkan doa dengan takzim.
"I-ini Athar, anak Fira," sahutku lirih. Bisa kulihat wajah Bunda perlahan memucat seakan darahnya terhisap oleh vampir hingga sepucat kertas. Matanya juga menatapku dan Athar bergantian. Badan Bunda bergetar hebat dan nyaris tumbang kalau tidak kupegangi. Namun dengan kasar Bunda menampik tanganku hingga badanku ikut terhuyung ke belakang.
Tubuh Bunda meluruh ke lantai saat pegangan tanganku terlepas. Ayah keluar tergopoh saat mendengar suara berisik.
"Bunda!!! Fira... Bunda kamu kenapa?" tanya Ayah penuh selidik. Namun mulutku tak bisa berkata-kata. Dengan kedua tangannya Ayah menggendong tubuh Bunda masuk ke rumah. Tanpa diminta aku mengikuti keduanya tanpa kata.
Ayah merebahkan tubuh Bunda di sofa. Dengan sigap aku mengambil segelas air dari dapur. Rumah ini tidak ada yang berubah kecuali sofa di depan yang diganti dengan warna hitam.
Dengan masih menggendong Athar, segera kuangsurkan gelas berisi air mineral ke Ayah. Gelas berisi air sudah berpindah tangan. Ayah menatapku dan Athar bergantian. Kenapa tatapan keduanya sama? Apa mereka akan menolakku dan Athar?
"Apa karenanya Bundamu jadi begini?" tanya Ayah dengan tatapan menusuk jantungku. Aku tak peduli tatapan mencela orang selama ini, tapi entah kenapa mendapat tatapan menuduh dari Ayah dan Bunda kenapa rasanya sesakit ini. Rasanya paru-paruku kehilangan pasokan oksigen hingga terasa terbakar dan sesak.
"Kenapa? Apa dia aib yang coba kau tutupi dari kami? Ayah tak menyangka, anak kebanggaan Ayah akan melempar kotoran tepat ke wajah Ayah," ujar Ayah tajam. Tajamnya lebih tajam dari pisau. Rasanya tepat menghujam jantungku. Luka tapi tak berdarah, begitulah yang kini kurasakan.
"Maaf, Yah," pintaku dengan bersujud di antara kaki Ayah dan Bunda. Kuciumi kedua tangan keduanya yang tergolek lemah di atas pangkuan mereka.
"Jauhkan anak itu dari kami, dan kami akan kembali menerimamu," ujar Ayah dingin. Tak ada lagi suara penuh kasih sayang seorang Ayah yang selama ini selalu kudengar. Sungguh tak kusangka Ayah sanggup mengatakan itu padaku. Aku memang bersalah karena sudah menutupi kehamilanku kepada keduanya. Tapi kejadian enam tahun yang lalu sungguh bukan salahku. Aku juga korban di sini, begitupun dengan Athar. Dia seputih kertas dan juga suci. Ingin kuteriakkan itu semua. Namun yang kulakukan hanyalah menangis.
"Ayah ingin menjauhkan anak dari ibunya?" tanyaku lirih. Teganya Ayahku sendiri memintaku membuang anakku sendiri. Anakku, juga cucunya bukan? Darah dagingnya sendiri.
"Kirimkan dia ke Ayahnya!" perintah Ayahku tak bisa dibantah.
"Fira tidak mengetahuinya Yah, Fira diperkosa saat kita menginap di Bali sehari sebelum keberangkatanku ke Kairo," sahutku membuatnya terpaku. Wajahnya kian pias.
"Ayah ingat, saat Ayah memintaku menemui Cik Maya?" tanyaku ke Ayahku, beliau nampak menerawang. Mungkin beliau mencoba mengingat kejadian enam tahun yang lalu. Akhirnya Ayah mengangguk tanda sudah mengingatnya.
"Saat aku berjalan di lorong hotel tiba-tiba ada seorang lelaki menyeretku memasuki sebuah kamar, lelaki yang tak ku tau bagaimana wajahnya karena ruangan yang gelap gulita. Lelaki itu memperkosaku tanpa perduli permohonanku untuk melepasku. Kubilang supaya dia menyewa wanita nakal di luaran sana dan melepasku, karena aku bukan cewek murahan. Namun lelaki itu tak perduli, mungkin karena efek alkohol barangkali." Aku mulai menceritakan kronologis kejadian enam tahun silam. Air mataku kian deras mengucur kala bayangan masa lalu kembali terproyeksi dalam ingatan.
"Setelah kejadian itu, aku pingsan tak sadarkan diri. Namun saat bangun tak kudapati siapapun di ruangan itu kecuali sebuah kalung dengan bandul berbentuk bulan sabit. Hanya itu satu-satunya jejak lelaki itu," ujarku sambil terisak. Namun bukan pelukan yang kudapatkan. Hanya kesunyian.
Ke mana perginya kasih sayang keduanya? Tak ada lagikah tersisa untukku?
"Pergilah! Jika kau tak sanggup membuang anak haram itu!" titah Bundaku yang entah sejak kapan sudah sadarkan diri dari pingsannya.
"Bun!" tegur Ayahku.
"Anak kita sudah mati, Yah. Sudah mati enam tahun yang lalu," kata Bunda penuh kepahitan. Setelah berkata begitu Bunda berjalan sempoyongan ke arah kamar meninggalkan aku dan Ayah yang masih setia termangu.
"Ayah tak bisa membantumu Nduk, tapi tolong terima ini," ujar Ayah setelah mengambil sesuatu dari arah ruang kerjanya. Ternyata amplop berwarna coklat.
Nduk, panggilan penuh kasih itu kembali kudengar. Apa Ayah sudah memaafkanku?
"Fira nggak bisa terima, nanti apa kata Bunda kalo beliau tau," ujarku gamang. Sungguh melihat netra mata Ayah yang menatapku penuh kesedihan membuat hatiku teremas. Namun aku juga tak mau kian membuat Bunda membenciku, semisal aku menerima amplop dari Ayah yang kuyakin isinya uang.
"Sayang terimalah. Ayah yakin, Bunda hanya butuh waktu saja. Kami masih kecewa, kau adalah kebanggan kami. Jadi wajar kalau kami begitu terkejut dengan anak yang kamu bawa serta tanpa kami tau keberadaannya selama ini. Beri kami waktu."
Aku mengerti betapa kecewanya mereka. Sungguh, tak ada sedikitpun niatku mengecewakan mereka. Air mata menetes tak sanggup kubendung. Isak tangisku bercampur dengan tangisan tanpa suara Ayah yang baru kini kulihat. Selama ini tak pernah kulihat beliau sesedih ini. Dan itu karenaku. Aku merasa gagal sebagai anak.
Dengan tangan bergetar aku menerima amplop berwarna coklat itu. Tanpa menoleh lagi ke belakang kulangkahkan kakiku meninggalkan rumah, tempat kelahiranku. Entah kapan lagi aku bisa menginjak rumah ini kembali.
Bisakah? Mungkinkah?
Aku melangkah hingga sampai pagar. Kulihat kembali rumah tempatku menghabiskan masa kecil dan remajaku. Begitu banyak kenangan yang kini mulai bermunculan di ingatanku.
"Selamat tinggal Ayah, Bunda. Fira sangat mencintai kalian. Sungguh, tak pernah sedikitpun Fira ingin mengecewakan kalian. Namun beginilah jalan yang sudah Allah gariskan untuk Fira. Kalian harus tetap bahagia dan sehat selalu. Terimakasih sudah melahirkan dan membesarkan Fira penuh kasih sayang. Sungguh Fira sangat bersyukur menjadi putri kalian. Kalian adalah orang tua terbaik bagi Fira. Terimakasih dan Fira mohon maafkan Fira," bisikku lirih berharap angin akan menyampaikan pesanku pada kedua orang tuaku. Sesuatu yang kuyakin hanyalah sia-sia belaka. Namun tetap kulakukan.