Kesepakatan

1078 Words
Masih duduk di tepi ranjang dengan penuh penyesalan, Kaizar tampak geram. Baginya, apa yang dilakukannya tadi adalah sebuah kebodohan. Bagaimana mungkin, dia bisa meniduri sekretaris-nya sendiri. Bagaimana jika Nara sampai membeberkan semuanya ke media? Bukan tidak mungkin, nama baik dan perusahaannya bisa hancur dalam hitungan detik. "Ah, tadi harusnya aku bicara dulu sama Nara. Kenapa aku malah mengusirnya?" Kaizar bermonolog sembari menatap daun pintu yang sudah tertutup rapat. Merasa lelah, Kaizar memilih untuk kembali tidur. Namun, kedua matanya membeliak. Terhenti di satu titik saat melihat bercak merah yang tertinggal di sprei ranjangnya. “Sial! Jadi, dia masih perawan ….” *** Keesokan harinya, Kaizar berangkat ke kantor seperti biasa, walaupun sebenarnya dia agak gamang dan bingung untuk menghadapi Nara. Akan tetapi, egonya terus meyakini jika yang dilakukannya sudah benar. Lagi pula tadi malam dia sedang dalam pengaruh obat. Saat menuju ruangannya, Kaizar melihat ke meja kerja Nara yang memang tepat berada di depan ruangannya. Pria itu pun mulai mendekat. Menatap Nara yang terlihat kikuk berhadapan dengannya tak seperti biasa. "Ikut aku!" titah Kaizar dengan nada datar dan raut wajah yang begitu dingin, benar-benar tanpa ekspresi. "I-ya," jawab Nara singkat dengan nada sedikit gugup. Bagaimana tidak? Setelah semuanya dia pasti merasa sangat canggung. Akan tetapi, dia berusaha untuk bersikap normal. Lagi pula tak ada yang tahu selain dia dan atasannya itu. "Oke, Nara, aku tau ini sulit. Tapi, tadi malam benar-benar sebuah kesalahan," ucap Kaizar seraya menatap Nara dengan saksama. Nara mendongak, membalas tatapan itu sekilas. "Maksud Anda, Tuan?" tanya Nara masih dengan nada gugup. "Lupakan kejadian tadi malam dan ini kompensasi untukmu, jangan pernah mengungkitnya lagi! Anggap semuanya tidak pernah terjadi, paham. Jangan sampai siapa pun tau, apalagi sampai kamu berniat memanfaatkan situasi ini!" Kaizar memperjelas keinginannya. "Jadi, Anda menyuapku?" tanya Nara. "Bukan, ini negosiasi. Aku yakin kamu tidak ingin ada yang tau masalah ini, kamu pun harus menikahi seseorang di masa depan. Aku hanya mencoba menyelamatkanmu karena aku bisa memutar balikan fakta dengan mudah," tegas Kaizar yang terdengar seperti kecaman. Embusan napas ringan terlontar sebagai respon dari gadis bermata bulat itu, dia tahu jika menerima tawaran Kaizar, bagaikan w************n. Akan tetapi, semua yang dikatakan pria itu masuk akal. Lagi pula, atasannya itu terkenal dingin dan galak. Membuat Nara ketakutan untuk menolak. "Baiklah, a-ku a-kan berusaha melupakan," ucap Nara, walau nada suara itu terdengar penuh keraguan. "Harus! Bukan akan! Kamu tahu bukan suatu keharusan, itu berarti tidak ada toleransi!" tekan Kaizar. "O-ke, baiklah!" jawab Nara dengan terbata. Kaizar pun menyerahkan cek yang nominalnya sampai membuat Nara terperangah. "Ingat! Jangan pernah punya pikiran untuk memanfaatkanku atau kamu akan tau akibatnya!" pungkasnya setelah Nara menerima cek tersebut. Tanpa basa-basi, Kaizar langsung mengusir Nara tanpa peduli dengan perasaannya lagi. Namun, sesuatu lagi-lagi mengganjal hatinya. "Kenapa aku baru sadar, ruam itu tidak muncul, padahal semalam … ah, sudahlah, mungkin karena pengaruh obat." *** Enam minggu kemudian. Selama itu, Nara sama sekali tak pernah bisa melupakan apa yang terjadi malam itu. Rasanya begitu sulit, meski sebenarnya dia ingin. Bagaimana tidak, setiap bekerja hampir setiap hari dia bertemu Kaizar yang notabenenya adalah atasan di kantor. Hari ini, sama seperti biasanya, Nara dan Kaizar kembali berpapasan di lobby kantor. Dengan menepikan perasaan kesalnya yang sering muncul saat melihat Kaizar, Nara pun tetap memberi salam dan menyapa atasannya itu dengan ramah. Walaupun sempat berpikir untuk resign agar tak lagi bertemu Kaizar. Namun, itu urung dia lakukan. Saat melihat tubuh Kaizar yang tinggi dan dadanya yang bidang, terkadang membuat pikirannya berjalan-jalan mengingat bagaimana mempesonanya pria itu saat berbuat nakal padanya. Bahkan, aroma parfumnya saja membuat Nara tak kuasa untuk tak mengingat itu. Semakin berusaha, dia semakin kesulitan. Itu sangat buruk dan manis dalam waktu yang bersamaan. "Ah, aku bisa gila jika seperti ini terus," batin Nara. Tubuhnya tiba-tiba menjadi panas saat dia harus satu lift bersama dengan Kaizar. Hanya berdua. Nara berusaha keras mengendalikan diri, dia berusaha tak mencium aroma dan menatap tubuh pria itu. Hingga akhirnya, denting tanda pintu lift akan terbuka mengusik sekaligus melegakan perasaannya. Akhirnya, dia selamat dari kegilaan dalam benaknya. Hingga tiba saatnya makan siang, Nara pergi ke kantin kantor tempat biasa seluruh karyawan mendapat makan siang. Nara meminta ayam dan ikan kesukaannya pada penjaga kantin. Namun, setelah dia mendapatkan isi piringnya, tiba-tiba gadis itu merasa ada yang aneh. Lagi-lagi, makanan itu mengeluarkan bau yang tidak enak. "Kok, bau!" ucapnya secara spontan saat mencium aroma ayam dan tersebut. Rekan-rekan di belakangnya pun ikut menghidu aroma ayam dan ikan yang sebenarnya justru wangi dan enak. "Wangi kok!" sahut Winda–rekan kerja Nara. "Ah, mungkin aku saja yang kurang sehat, dari kemarin aku emang agak kurang enak body," sahut Nara. "Kenapa kamu memaksakan diri, harusnya kamu istirahat dulu?" tanya Winda cemas. "Enggak enak sama bos, lagian Sabtu dan Minggu kan aku udah istirahat, masa senin harus bolos," jawab Nara seraya tersenyum simpul. Nara pun coba mengabaikan keanehan itu, dia beranjak dan duduk di kursi yang kosong. Perlahan dia mencoba makan sesuap demi sesuap, tetapi itu tak berhasil. Hal tersebut justru membuatnya mual sekaligus pusing. Bergegas, Nara lari menuju toilet yang agak sepi dan jauh dari kantin. Di persimpangan lorong kantor, dia bertabrakan dengan Kaizar yang kebetulan sedang ingin makan siang di kantin. Dia melihat Nara tergesa-gesa masuk toilet, tanpa meminta maaf padanya, bahkan Kaizar pun mendengar Nara muntah-muntah di dalam sana. Namun, pria itu tak peduli. Dia tetap melanjutkan langkahnya menuju kantin. Beberapa menit kemudian, saat Kaizar hendak memakan makanan yang baru saja disajikan seorang pelayan, tiba-tiba beberapa karyawan tampak berlarian mengerumuni sesuatu. Penasaran karena apa yang terjadi begitu mengganggu waktu makan siangnya, Kaizar pun beranjak. Pria itu menghampiri kerumunan yang beberapa di antaranya terdengar begitu cemas memanggil nama seseorang. Dari perkataan mereka, Kaizar dapat langsung menebak apa yang sebenarnya terjadi. "Ra, bangun, Ra!" Winda berusaha membangunkan Nara seraya menepuk lembut pipinya. Namun, itu tak berhasil. Gadis itu masih tak sadarkan diri. “Ra … apa itu Nara?” Kaizar mempercepat langkah kakinya. Menyeruak ke dalam kerumunan. Kedua matanya menatap penuh keterkejutan. Benar itu adalah Nara yang saat ini tak sadarkan diri. “Apa yang terjadi dengannya?” Kaizar bertanya pada Winda. "Dia tadi mual dan muntah-muntah, Pak.” "Mual … muntah-muntah …." Kaizar tertegun untuk sesaat, lalu dia teringat tentang acara yang dilihatnya pagi tadi. Tentang acara edukasi awal kehamilan. Terlintas sekilas di pikirannya, tentang kejadian malam itu dan semua ciri-ciri yang didengar, dialami Nara saat ini. "Jangan-jangan Nara hamil. Sial! Bagaimana ini?" batin Kaizar yang langsung menghubungi ambulance setelah memberi perintah pada dua orang karyawan untuk membawa Nara ke ruangannya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD