The Hottest CEO 1 : Sebuah Bencana

1371 Words
    Luna menguap lebar sebelum memasuki aula hotel yang saat ini difungsikan sebagai tempat di mana pesta mewah tengah diselenggarakan. Luna adalah gadis berusia dua puluh empat tahun yang saat ini tengah sibuk bekerja freelancer, sebelum dirinya mendapatkan pekerjaan tetap yang sesuai dengan ijazah yang ia miliki. Saat ini, Luna sendiri tengah bekerja sebagai pelayan tambahan karena pihak hotel ternyata membutuhkan pelayan tambahan untuk membantu. Luna yang mendengar kabar itu dari temannya, tentu saja tidak melepaskan kesempatan emas untuk mendapatkan tambahan uang bulanan.     Jadilah, pada akhirnya Luna berada di sini, di tengah-tengah para tamu kelas elit yang jelas sangat jauh dari level Luna. Ini adalah hari kedua Luna bekerja sebagai pelayan di pesta mewah beruntun yang diselenggarakan, tetapi Luna masih saja tidak terbiasa dengan kemewahannya. Luna merasa jika di sini bukanlah tempatnya. Namun, Luna di sini bukan untuk mengamati atau membandingkan kehidupannya dengan para konglomerat yang mungkin jika mau, semasa sisa hidupnya saja mereka tidak perlu bersusah payah bekerja mengingat seberapa banyak uang yang mereka miliki. Luna di sini untuk bekerja, dan ia akan bekerja sebaik mungkin, agar tidak mengecewakan pihak yang mempekerjakannya.     Luna melihat sahabatnya yang kesulitan membawa gelas wiski kosong di nampannya. Luna pun beranjak dan membantunya. “Sini, aku bantu, Yeni,” ucap Luna sembari tersenyum.     Namun Yeni menolak bantuan Luna, dan berkata, “Lebih baik bantu yang lainnya untuk menyajikan wiski. Psstt, hati-hati sepertinya ada sedikit perselisihan di sana. Ingat, jangan ikut dalam pembicaraan atau apa yang mereka lakukan. Tutup telinga, dan mulutmu.”     Luna menghela napas dan mengangguk. Yeni inilah yang Luna maksud sebagai rekan yang membuatnya mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan tambahan di hotel ini. Karena itulah, Luna menurut. Luna tidak ingin membuat masalah untuk teman yang sebenarnya tak lain adalah kakak tingkatnya di kampus. Luna pun beranjak menuju meja prasmanan dan mengambil beberapa gelas wiski untuk ia sajikan pada para tamu. Luna terlihat begitu lincah tetapi penuh kehati-hatian. Terlihat sekali jika gadis yang tampak cerdas tersebut berusaha untuk menghindari masalah yang kemungkinan terjadi.     Meskipun ini bukan kali pertamanya bekerja sebagai seorang pelayan di sini, tetapi tetap saja Luna harus tetap hati-hati. Luna tersenyum tipis lalu beranjak setelah beberapa tamu undangan mengambil gelas dari nampan yang ia bawa. Luna berusaha untuk mempertahankan senyumnya, walaupun saat ini Luna sendiri merasa begitu lelah. Sangat lelah malahan. Hal ini terjadi, karena sebelum bekerja di sini, Luna sudah lebih dulu harus bekerja di sebuah restoran yang tentu saja membuatnya harus bekerja sangat-sangat ekstra.     “Luna, tolong ke sini sebentar!”     Luna menoleh ke sumber suara dan segera beranjak untuk mendekat. “Ya, ada apa?”     “Bisakah kamu mengantarkan wiski ini ke kamar 444? Maaf, aku harus memintamu karena pelayan tetap lainnya terlalu sibuk dan aku sendiri tidak bisa mengantarkannya,” ucap rekan Luna tersebut.     Luna menatap botol wiski yang tampak mahal itu dengan kedua netranya yang indah. Luna pun mengangguk. “Aku hanya perlu mengantarkannya saja, bukan?” tanya Luna.     “Iya, kamu hanya perlu mengantarkannya dan kembali ke sini.”     Luna pun mengangguk. “Kalau begitu aku pergi,” ucap Luna. Setelah meletakkan nampan yang tadi ia bawa, Luna pun menerima botol wiski tersebut dari temannya.     Dengan langkah cepat tetapi tetap hati-hati, Luna pun masuk ke dalam lift. Luna baru saja akan menekan tombol di mana kamar hotel yang ia tuju berada, tetapi saat pintu akan tertutup Luna mendengar jika ada yang meminta untuk menahan pintu tertutup. Luna pun segera menahan menahannya, tetapi ternyata bukan hanya pintu saja yang tertahan, napas Luna juga tertahan saat melihat sosok yang memintanya untuk menahan pintu lift. Luna pun mempersilakan sosok menawan tersebut untuk masuk ke dalam lift.     “Ke mana Tuan akan pergi?” tanya Luna bermaksud untuk menekan tombol lift, tetapi pria yang memiliki netra sebiru langit tersebut melirik pada tombol lift dan tersenyum tipis.     “Aku pergi bersamamu, Nona. Aku juga akan pergi ke lantai yang sama,” jawabnya dengan suara berat beraksen agak unik bagi bagi telinga Luna. Aksen khas yang selalu muncul di saat orang asing yang berusaha menggunakan bahasa Indonesia. Namun Luna perlu mengacungi jempol pria tinggi rupawan pemilik netra biru langit ini. Ia cukup pandai berbahasa Indonesia walaupun Luna yakin seratus persen jika pria di hadapannya memang benar-benar orang asing.     Luna mengangguk dan membiarkan pintu tertutup. Luna pun agak menyandarkan bahunya pada sisi lift. Salah satu alasan mengapa Luna mau menerima pekerjaan tambahan untuk mengantar botol wiski ini adalah, Luna ingin sedikit istirahat, seperti ini. Bersandar termasuk ke dalam cara beristirahat dalam kamus Luna. Saat ini, rasa dingin dari dinding besi yang Luna sandari meresap dan menyentuh kulit bahunya. Rasanya nyaman. Rasa nyaman yang mendorong Luna untuk merasa mengantuk.     Namun, karena merasakan tatapan yang tertuju padanya, Luna mulai merasa tidak nyaman. Luna benar-benar bisa merasakan jika pandangan pria bernetra biru itu tertuju padanya. Pria itu terang-terangan mengamatinya! Sungguh tidak sopan! Namun entah kenapa hal itu malah membawa gelenyar aneh dalam diri Luna. Sungguh gila! Apa kelelahan bisa membuat seseorang berpikiran gila seperti ini? Sepertinya, beberapa hari ke depan Luna hanya perlu mengambil satu pekerjaan saja, selagi dirinya mempersiapkan diri untuk mengikuti wawancara di sebuah perusahaan yang ia impikan.     “Apa kau bertugas untuk mengantarkan botol itu?” tanya pria itu tiba-tiba.     Luna pun menoleh dan mengangguk dengan senyum tipis. “Iya, Tuan.”     “Kamar nomor berapa?” tanyanya lagi membuat Luna tidak bisa menahan kernyitan di keningnya.     Luna tentu saja berpikiran jika pria ini sangat aneh karena menanyakan hal semacam itu padanya, dan pemikiran Luna ditangkap dengan tepat oleh pria bernetra biru langit tersebut. Pria itu pun berkata, “Aku bukan pria aneh, Nona.”     Kening Luna semakin mengernyit dan ia pun menempelkan punggungnya pada sisi lift karena merasa merasa agak terancam. Menurutnya, orang yang mengatakan dirinya bukanlah orang jahat, kemungkinan terbesarnya dialah orang jahat yang sesungguhnya. Pria itu pun mendengkus. “Jika itu untuk kamar 444, maka kau hanya perlu memberikannya padaku,” ucap pria itu lagi lalu sedetik kemudian lift berdenting tanda jika mereka sudah sampai di lantai yang dituju.     “Memangnya kenapa saya harus memberikannya pada Tuan? Memangnya Tuan yang menempati kamar tersebut dan memesan wiski ini? Jika benar, mana buktinya?” tanya Luna beruntun berusaha untuk mengenyahkan pesona yang mulai membuat kakinya melemas.     Pria itu melangkah mendekati Luna selayaknya seorang predator ganas. Tentu saja Luna merasa panik, tetapi saat melirik jika kamera pengawas yang berada di sudut ruang lift hidup, maka Luna pun berusaha untuk tetap tenang. “Apa yang akan Anda lakukan?” tanya Luna saat pria asing it uterus mendekatinya.     “Memberi bukti,” jawab pria itu singkat saat dirinya sudah begitu dekat dengan Luna.     Ternyata pria itu menunjukkan sebuah cardlock bernomor 444 pada Luna. Hal tersebut membuat Luna memerah karena merasa malu teah bepikiran yang tidak-tidak. Luna pun memberikan botol wiski tersebut dengan kedua tangan putihnya. “Maafkan saya Tuan, ini milik Anda,” ucap Luna.     Pria bernetra biru itu memegang botol wiski tersebut tetapi tidak menariknya segera. Ia malah menunduk dan membisikkan sesuatu yang membuat sekujur tubuh Luna bergetar oleh sesuatu yang sangat asing baginya. “Jangan memanggilku dengan panggilan Tuan, Nona manis. Panggil aku Dominik,” bisiknya tepat di telinga Luna.     Pria itu menarik diri dan menegapkan punggungnya. Pria yang memperkenalkan dirinya sendiri sebagai Dominik, segera mengambil alih botol wiski dan menyeringai saat melihat raut kebingungan di wajah ayu Luna. “Kau sangat manis dan menggoda saat berekspresi seperti itu …,” pria itu melirik nama di name tag yang tersemat pada seragam pelayan yang digunakan Luna sebelum melanjutkan, “Luna.”     Dominik melangkah untuk ke luar dari bilik besi tersebut. Namun, sebelum benar-benar ke luar, pria itu menoleh dan berkata, “Kita akan bertemu lagi Luna. Ingatlah namaku baik-baik. Jika saat kita bertemu kau melupakan namaku, saat itu aku tidak akan berpikir dua kali untuk menyeretmu ke atas ranjang dan membuatmu menjerit karena mendapatkan klimaks yang hebat.”     Setelah memberikan seringai yang membuat Luna bergetar hebat, Dominik pun membiarkan pintu lift tertutup dan membuat Luna meluruh. Luna merasa kepalanya berputar oleh hantaman emosi yang berkecamuk. Luna merasa begitu takut, tetapi di sisi lain ada sesuatu yang aneh terjadi padanya. Sekarang apa yang harus Luna lakukan? Hal yang Luna yakini adalah satu. Ia sama sekali tidak boleh bertemu lagi dengan pria itu di masa depan, atau Luna yakin, jika sebuah bencana akan datang dalam hidupnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD