PART. 7

758 Words
Meera merentak berdiri, matanya menatap tajam wajah Banyu. "Dasar pria kurang ajar, genit, m***m!" Meera mengambil guling, ia angkat, dan siap ia pukulkan, saat ia mendengar namanya dipanggil. Suara pria berbaju putih. 'Meera ....' Meera melemparkan guling di tangannya ke atas kasur. Ia beranjak menjauhi Banyu. Ia berdiri di dekat jendela. Ditatap sayuran yang tumbuh di samping kamar itu. Dipejamkan mata, ditarik dalam napasnya. 'Kontrol emosimu, Meera. Hanya untuk tiga bulan saja ....' "Papi cinta Mami ...." Sepasang lengan Banyu melingkari bagian atas, dan bawa d**a Meera. Meera merasakan kecupan Banyu di atas kepalanya. "Jauh-jauh sana, gerah tahu!" Meera melepaskan pelukan Banyu. "Kalau gerah buka bajunya, Mi. Mau Papi bantu lepas bajunya?" Meera memutar tubuhnya, ia harus mendongak untuk menatap wajah Banyu. "Aku itu sedang amnesia. Bagiku kamu itu orang asing, aku tidak kenal kamu, jadi tolong berhenti menyetuhku!" Meera nyaris berteriak pada Banyu. 'Meera ....' Meera menundukan wajahnya, setiap kali ia ingin meluapkan rasa kesalnya pada Banyu, suara pria berbaju putih itu selalu saja mengganggu. Meera menyingkir dari hadapan Banyu, ia duduk di tepi kasur, ditutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Belum sehari ia di rumah ini, ia sudah merasa sangat lelah, karena harus menahan luapan emosinya. Meski anak manja yang selalu mendapatkan apa yang ia inginkan, tapi dirinya bukanlah gadis cengeng yang gampang meneteskan air mata. Tapi, hari ini Meera ingin sekali menangis. "Mi ...." Banyu duduk di samping Meera, dipeluk bahu Meera, tapi Meera menepiskan tangan Banyu. "Jangan pegang-pegang!" Meera menatap Banyu dengan tatapan tajam. "Papi tahu, ini saat yang sulit bagi Mami. Merasa kehilangan jati diri, merasa tidak tahu apapun, tidak mengenal siapapun, seperti bayi yang baru lahir. Papi yakin ingatan Mami akan kembali, kalau kita melakukan hal-hal yang sering kita lakukan bersama. Amnesia Mami hanya sementara." "Aku tidak amnesia, tapi jiwaku ...." Meera memejamkan matanya. Hampir saja ia kelepasan bicara. Dipijit kepalanya yang terasa pusing. "Mami istirahat ya, Papi temani. Ayo berbaring." Banyu mengangkat Meera, dibaringkan di tengah kasur tanpa ranjang di kamar itu. Lalu, Banyu turun dari kasur, ia menyalakan kipas angin. Setelahnya, ia melepas kaos oblong dan celana pendeknya, menyisakan celana dalamnya saja. Meera terjengkit bangun, matanya melotot ke arah Banyu. "Kenapa buka baju? Mau apa?" "Gerah, Mami. Kalau di dalam kamar, kita berdua ya begini. Jadi Tarzanwan, dan Tarzanwati. Mami juga biasanya cuma pakai celana dalam saja." "Apa? Jangan bohong ya!" "Apa untungnya Papi Bohong, Mami. Baju Mami mau Papi bantu lepas, teu?" Meera beringsut menjauh, dipeluk dadanya, dengan kedua tangan. "Jangan dekat-dekat." "Papi pikir ya, Mi. Kalau kita bercinta, mungkin Mami bisa sedikit mengingat tentang kita." "Jangan modus!" Meera melemparkan bantal ke arah Banyu. 'Meera, satu kali kamu membuat orang-orang di rumah ini senang, dan gembira. Masa hukumanmu, aku kurangi delapan jam.' Meera mencari asal suara, pria berbaju putih itu berdiri di dekat jendela. "Itu tidak adil!" Seru Meera tanpa sadar. Saat ia melanggar, hukumannya bertambah, semua dihitung dari awal lagi, tapi saat ia membuat penghuni rumah ini senang, ia hanya dapat potongan delapan jam. "Apanya yang tidak adil, Mami. Mami teh bicara sama siapa?" Banyu mengikuti arah pandangan Meera. Meera tersadar atas apa yang baru saja ia ucapkan. "Bukan siapa-siapa!" Meera meletakan guling di samping tubuhnya. "Aku mau tidur, jangan ganggu aku!" Meera menudingkan jari telunjuknya pada Banyu. Lalu ia berbaring memunggungi Banyu. Banyu hanya tersenyum melihat tingkah istrinya. Ia merasa gemas dengan sikap Meera yang kekanak-kanakan. Banyu membaringkan tubuhnya. Dipejamkan mata. Beberapa hari menunggui Mira di rumah sakit, membuat ia kurang tidur juga. Mira masuk rumah sakit, karena jadi korban tabrak lari sebuah sepeda motor. Saat Mira jatuh, kepalanya terbentur cukup kuat. Sehingga ia mengalami amnesia. Untungnya si penabrak bisa dikejar warga. Ternyata anak orang terkaya di kampung sebelah. Orang tuanya minta damai, dan menyanggupi menanggung semua biaya perawatan Mira. Banyu menolehkan kepala, Meera tampak berbaring dengan gelisah. "Kenapa, Mi? Gerah ya? Sudah Papi bilang, lepas baju Mami." "Dasar m***m!" Umpat Meera spontan ke luar dari sela bibirnya. 'Meera ....' "Iya, iya, iya!" Meera berteriak setelah mendengar suara pria berpakaian putih menyebut namanya. "Mi, aya naon. Mami teh bicara sama siapa?" "Tidak ada!" Meera bangun dari berbaringnya. "Itu kekuatan kipasnya sudah full belum sih?" "Sudah full, Mami." "Kenapa tidak ada AC sih!" "Mami Sayang. Papi ingin sekali membeli AC untuk di kamar ini, tapi tiga bulan lagi anak-anak sudah masuk SMA. Kalau tabungan dibelikan AC, Papi takut nanti tidak cukup untuk biaya anak-anak masuk sekolah. Jadi sabar ya, Sayang. Nanti kalau ada uang lebih dari tabungan kita, baru kita beli AC." "Kalau beli AC nya tiga bulan lagi, sama saja bohong. Aku sudah tidak ada lagi di sini!" Banyu menatap Meera dengan bingung. "Maksud Mami teh apa?" Meera baru tersadar kalau ia sudah keceplosan. BERSAMBUNG 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD