8. Syarat Revan

1091 Words
"Aku siap menikah kapan saja. Hanya saja, aku ingin setelah aku dan Ara menikah, kita berdua tidak tinggal di rumah ini. Aku ingin mandiri dan menjalani rumah tangga hanya berdua dengan calon istriku. Untuk Bunda, setelah aku menikah, beliau akan tinggal di desa tempatnya berasal dari salah satu daerah di Jawa Tengah. Jika Kakek dan Tuan Haris juga Nyonya Haris setuju maka aku pun akan menyegerakan pernikahan ini." Revan mengucapkannya dengan nada dingin saat ini. Ara sangat bahagia saat Revan mengatakan hal itu. Ia akan menjadi prioritas dari calon suaminya. Pipi gadis tinggi semampai itu memerah ketika mengingat Revan menyebut dirinya sebagai calon istri. Luar biasa sekali! "Saya juga sependapat dengan Nak Revan. Kebetulan saya ada satu unit perumahan di daerah dekat dengan kantor Revan. Kalian nanti bisa tinggal di sana. Toh, Ara juga bekerja tak jauh dari kantor Revan," jawab Haris sambil tersenyum penuh haru karena syarat yang ditawarkan oleh calon menantunya. Haris berpikir jika Revan akan benar-benar belajar mencintai Ara. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan pebisnis muda jika Revan sudah memiliki seorang kekasih yang sangat dicintainya. Mungkin saat ini Revan sudah memutuskan kekasihnya dan akan belajar mencintai Ara. Adhyatsa meradang dengan keputusan Haris Manggala. Terlalu gegabah karena belum mengenal Revan sepenuhnya. Revan bisa saja lepas kendali dan diam-diam kembali menjalim hubungan dengan anak pembantu itu. Tentu jika hal itu terjadi, Adhyatsa sendiri yang akan membuat keduanya menderita. "Baiklah jika semua sudah setuju, saya juga ikut setuju," kata Adhyatsa dengan senyum terpaksa. Murni mengucapkan banyak syukur dalam hatinya karena Revan tidak membuat masalah malam ini. Ia yakin jika perlahan anak tunggalnya itu akan mampu menerima Ara. Gadis itu juga sangat cantik dan tampak terpelajar. Bukan bermaksud menjatuhkan nama Mayang, tetapi memang kedua gadis itu berbeda satu dengan lainnya. "Kalo semua sudah disepakati, mari kita semua makan malam bersama," kata Murni dengan sopan pada ketiga tamunya. "Kok repot-repot Mbak Murni. Kami mau langsung pulang saja." Inama menolak halus ajakan Murni untuk makan malam bersama. "Jangan begitu, Nyonya, saya sudah siapkan khusus untuk menyambut kedatangan Tuan dan Nyonya juga Nona Ara," kata Murni dan membuat dahi Inama berkerut ke atas. "Jangan panggil Nyonya, Mbak. Kita seumuran dan suami saya 'kan teman baik mendiang Mas Panji. Panggil saja nama saya atau senyamannya Mbak Murni. Lagi pula sebentar lagi kita akan menjadi besan." Inama mendekat ke arah Murni dan memeluk sosok wanita sederhana yang malam ini memakai gamis berwarna cokelat senada dengan kerudung yang menutupi rambutnya. Murni hanya mengangguk saja, tetapi ada rasa sungkan dalam hatinya ketika terlalu dekat dengan Inama Manggala. Sosok wanita kaya dan berkelas, sangat jauh jika dibandingkan dengan dirinya. Ara pun mendekat ke arah calon ibu mertuanya. Ia tampak ingin mengakrabkan diri pada sosok wanita hebat yang sudah melahirkan laki-laki yang sudah membuatnya jatuh cinta malam ini. "Tante, boleh tidak kalo kapan-kapan Ara datang ke desa tempat asal Tante, sepertinya akan sangat indah. Jakarta sangat membosankan dengan segala kemacetan dan polusi," kata Ara sambil tersenyum ramah ke arah Murni. "Wah ... tentu saja boleh, Non Ara. Hanya saja rumah peninggalan kedua orang tua saya sangat jelek. Pasti Non Ara tidak akan betah jika tinggal lama di sana. Di sana juga hanya ada suara katak kalo malam," jawab Murni dengan jujur saat menceritakan keadaan rumahnya di desa. "Jangan panggil aku Non, panggil saja Ara. Justru itu yang aku cari. Suasana baru yang bikin pikiran fresh. Week end ini libur sampai hari Senin, gimana kalo kita semua ke sana?" Ara sangat atusias kali ini. Ara sengaja ingin mengenal calon ibu mertuanya dengan baik. Biar bagaimana pun, nantinya mereka akan sering bertemu satu dengan lainnya. Ara tidak mau ada kecanggungan karena tidak saling mengenal. Meski pun kedekatan itu tidak bisa datang secara instan, tetapi Ara ingin berusaha untuk dekat dengan calon ibu mertuanya. "Baiklah. Kita akan pergi ke Desa Kaliangkrik di kaki Gunung Sumbing. Di sana sangat dingin, jadi harus bawa baju-baju tebal. Saya sudah lama juga tidak ke sana," jawab Murni sambil melirik ke arah Revan dan berharap putra semata wayangnya mau ikut. Mereka makan malam dengan khidmad. Masakan Murni membuat Haris dan sang istri tidak ingin berhenti makan. Sayang, mereka harus ingat dengan penyakit darah tinggi yang sudah dua tahun ini mereka derita. Terlalu banyak makan rendang daging sapi akan berpotensi membuat penyakit itu kambuh. "Karena sudah malam dan sudah sangat kenyang, saya dan keluarga pamit. Terima kasih atas jamuan Pak Adhyatsa. Luar biasa lezat." Haris manggala berpamitan pada kakek Revan yang kini sudah berdiri di depan pintu ruang tamu. "Sama-sama. Mohon dimaafkan jika ada kata-kata yang kurang berkenan juga suguhan yang ada. Maafkan juga sikap Revan yang dingin karena sedang stres dengan pekerjaannya," jawab Adhyatsa karena tidak enak hati saat Revan memilih tidak ikut kembali mengobrol. "Tidak masalah bagi kami. Memang seharusnya anak muda seperti Revan bekerja keras." Haris memaklumi sikap Revan dan setelahnya segera masuk ke dalam mobilnya. Sebelumnya mereka sudah berpamitan tadi saat kembali mengobrol setelah selesai makan. Sayang, Revan langsung ke kamar dengan alasan karena ada pekerjaan yang harus segera diselesaikannya saat ini. Semua itu sengaja ia lakukan karena merasa muak dengan semua basa-basi itu. Ia tidak ingin lebih lama melihat kakek sialan itu. "Van ... kamu sudah tidur?" Murni sengaja mengetuk kamar sang putra karena ia melihat kamar itu lampunya masih menyala. "Masuk, Ma ...." Revan membuka pintunya dan mempersilakan sang Bunda masuk. "Bunda menganggu?" tanya Murni dan mendapatkan jawaban gelengan dari Revan. Murni sangat paham dengan kesedihan yang dirasakan oleh putranya. Revan terpaksa menjadi korban kelicikan Adhyatsa demi keuntungan pribadi ayah mertuanya itu. Tentu saja, hal ini tidak akan mudah bagi Revan. "Van ... ikutlah pulang ke kampung Bunda. Tidak lama, Bunda hanya hanya ingin kamu akrab dengan Ara. Dia gadis yang baik dan pasti akan berusaha membuat kamu bahagia." Murni mengatakannya dengan sangat hati-hati. "Bunda tahu, kamu pasti masih sangat terluka. Tapi, Bunda mohon, turuti saja apa kemauan kakekmu itu. Kamu tahu, ayahmu dulu sangat berjuang untuk memajukan Adhyatsa grup, jadi jangan sia-siakan kesempatan ini," lanjut Murni sambil menatap dalam mata putra semata wayangnya. "Bunda ... pengorbananku luar biasa menyakitkan. Aku dipaksa memutuskan hubungan dengan Mayang. Bunda tahu, kami sudah merencakan pernikahan itu. Sebuah pernikahan sederhana dan tertutup. Semua hancur begitu saja tanpa sisa." Revan merasa sesak ketika harus mengatakan hal itu. "Bunda sangat paham. Dalam hidup pasti akan ada banyak hal yang harus dikorbankan. Salah satunya hati. Siapa pun akan merasa sakit. Tapi, cobalah ikhlas menjalaninya. Ada rencana indah yang sudah disiapkan Tuhan buat kamu juga Ara dan Mayang. Kita doakan saja Mayang selalu baik-baik saja dan bisa menerima semua ini dengan lapang." Murni sengaja memberikan wejangan pada putra sulungnya saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD