10. Kemarahan Adhyatsa di Kantor

1164 Words
"Selamat pagi, Pak Revan." Seluruh karyawan menyapa Revan yang saat ini hendak menuju ke kantin perusahaan. "Pagi ... selamat bekerja." Revan membalas ucapan mereka dengan nada dingin. Pemecatan besar-besaran kemarin membuat banyak karyawan dan karyawati berpikir dua kali ketika hendak berbuat curang. Revan sengaja mengambil sikap tegas agar tidak ada lagi hal seperti itu terjadi. Kerugian yang ditanggung oleh perusahaan ini luar biasa besar. Memang tidak wajar ketika memecat karyawan pada hari Minggu. Akan tetapi, itulah Revan dan keputusannya yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun. Hari ini mereka yang telah dipecat akan tetap datang dan mengambil barang-barangnya. Tentu saja dengan banyak kompensasi yang harus dipertanggungjawabkan. "Pak Revan, Bapak mau kemana?" tanya Hardi yang pagi ini berpapasan di depan lobby kantor ini. "Aku mau cari kopi dan sarapan. Kamu ke atas dulu. Jika ada tamu minta mereka menunggu sebentar karena aku keluar. Kantin belum banyak yang buka jadi saya harus mencari sarapan di depan sana." Revan menjawabnya dengan nada tegas. "Mau saya carikan sarapan?" Hardi berusaha membantu atasannya itu karena Revan tampak sangat lelah. "Tidak usah, saya memang sengaja untuk keluar sebentar agar tidak penat," jawab Revan setelahnya meninggalkan Hardi di lobby kantornya. Revan berjalan menyusuri trotoar dan menuju ke seberang kantornya. Banyak sekali tempat makan yang sudah buka pagi ini. Mendadak d**a Revan berdebar dengan kencang. Ia seperti melihat sosok Mayang sedang berjalan menjauhi salah satu warung. "May ... tunggu!" Revan sekuat tenaga mengejar wanita yang menggunakan gaun biru itu. Revan segera menarik lengan wanita itu saat sudah berada di belakang wanita itu. Alangkah terkejutnya Revan saat melihat siapa wanita yang di depannya itu. Tubuh Revan menegang seketika. Wanita itu tersenyum ramah ke arah Revan. "Mas Revan?" tanya Ara yang kebetulan sedang mampir sarapan di salah satu kedai yang ada di pujasera ini. "Ka-kamu? Bagaimana bisa ada di sini?" tanya Revan dengan gugup. "Hahaha ... Mas Revan lucu. Aku kerja di gedung sebelah," jawab Ara sambil menunjuk ke arah tempat kerjanya. Revan melihat ke arah tempat yang ditunjuk oleh Ara. Ia merasa heran dengan sosok gadis yang ada di depannya. Gedung itu bukan milik Manggala Group. Mengapa Ara justru bekerja pada orang lain? "Mas Revan mau sarapan bareng Ara? Ayo ... mumpung masih pagi," kata Ara berusaha mengakrabkan diri dengan calon suaminya. "Oh ... enggak. Kebetulan saya tidak biasa sarapan pagi. Maaf, saya pamit dulu." Revan meninggalkan Ara dengan wajah dingin. Revan merutuki kebodohannya kali ini. Ara dan Mayang adalah dua gadis yang berbeda. Mayang berkulit putih dan anggun. Ara, entahlah, Revan bingung menggambarkan sosok gadis yang akan menjadi istrinya itu. Revan segera mencari warung lain. Sial! Tidak ada warung hingga ujung jalan. Terpaksa, Revan harus kembali ke kantor dengan perut kosong kali ini. Revan tampak sangat lelah pagi ini dan akhirnya menuju ke kantin perusahaan. "Wah ... bos sampai datang sendiri ke kantin ini. Seharusnya telepon saja dan saya bisa mengantar kopi dan sarapan lainnya," kata Pak Gino yang membuka kedai nasi goreng sejak lama. "Ga apa-apa, Pak Gino. Saya sengaja turun ke bawah karena suntuk dengan ruangan saya." Revan tidak sepenuhnya berdusta kali ini. Revan memesan satu porsi nasi goreng dan kopi hitam tanpa gula. Revan akhir-akhir ini menyukai kopi hitam tanpa gula. Pahitnya sama dengan kisah cintanya bersama dengan Mayang. Kopi yang diminumnya mewakili isi hatinya saat ini. "Berapa semuanya Pak Gino?" tanya Revan sambil mengeluarkan dompet dari dalam saku celananya. "Semuanya empat puluh ribu rupiah, Pak," jawab Pak Gino dengan sopan. Revan mengeluarkan uang pecahan lima puluh ribu rupiah lalu menyerahkannya pada Pak Gino. Laki-laki paruh baya itu kebingungan karena belum ada uang kembalian. Revan paham dengan apa yang terjadi. Ia kemudian memberikan uang kembaliannya pada laki-laki yang sudah belasan tahun mencari rezeki di kantin perusahaan ini. "Ambil saja uang kembaliannya, Pak." Revan segera meninggalkan kantin dan menuju ke ruangan kerjanya. Setiap karyawan dan karyawati yang berpapasan dengan Revan mengangguk sebagai bentuk penghormatan kepada bos-nya. Revan berjalan dengan tergesa menuju ke ruangannya. Ia tidak membawa ponsel sama sekali. Benda pipih itu sengaja ia matikan sejak kemarin. "Pak Revan, ada tuan Adhyatsa di dalam ruangan Anda," kata Hardi dengan sopan. Revan hanya mengangguk dan segera memasuki ruangan kerjanya. Kakek Revan tampak sedang duduk di kursi kerja Revan dengan angkuh. Laki-laki yang hampir memasuki usia enam puluh lima tahun itu memandang penuh kebencian ke arah Revan. Apa yang dilakukan oleh sang cucu kemarinlah yang membuatnya datang ke kantor ini. "Ada apa datang ke kantor sepagi ini?" tanya Revan sambil menutup pintu ruang kerjanya saat ini. "Hmm ... hebat sekali, bos di perusahaan ini bisa memecat belasan orang dalam hitungan jam. Luar biasa!" Adhyatsa tampak luwes saat menyindir Revan. Seperti anak kecil saja kakek Revan. Selalu saja berbasa-basi ketika hendak mengungkapkan sebuah masalah. Apa urusannya dengan pemecatan karyawan dan karyawati di kantor ini? Bukankah itu hal yang biasa dan lumrah? "Kakek takut ada yang bongkar semua rahasia Kakek?" tanya Revan tanpa rasa takut sedikit pun saat ini. "Takut? Jangan terlalu sombong kamu. Kamu bisa maju karena adanya perjodohan dengan putri Haris Manggala. Jika tidak ...." Adhyatsa menghentikan ucapannya. Adhyatsa hampir saja kelepasan berbicara tentang sebuah rahasia perjodohan ini. Kakek Revan itu sudah merencanakan banyak hal. Tentu saja rencana buruk dan jahat. Revan bisa paham karena sudah mengenal karakter sang kakek sejak dulu. "Jika tidak? Wow ... rupanya ada rencana yang terselubung. Baiklah Kakek, mari kita bermain. Satu per satu orang-orangmu sudah aku pecat dan masuk ke dalam bui. Hanya sedang menunggu waktu saja." Revan menatap tajam ke arah sang kakek yang tampak marah saat ini. Adhyatsa sangat murka dengan apa yang diucapkan oleh Revan saat ini. Anak muda di depannya sangat sombong dan angkuh saat ini. Merasa sedang berada di atas awan dan menang sesaat. Tentu saja, Adhyatsa tidak akan membiarkan hal itu terjadi. "Apa yang kamu lakukan itu salah!" bentak Adhyatsa pada Revan yang tampak tidak takut pada sosok yang ada di depannya itu. "Salah? Wow ... jadi membiarkan tikus kecil berkeliaran dan menggerogoti perusahaan itu dibenarkan? Pantas saja kebodohanmu membuat perusahaan ini hampir saja bangkrut." Revan menjawab dingin ucapan sang Kakek. Adhyatsa mengembuskan napasnya kasar. Malas meladeni perdebatan dengan sang cucu. Faktanya Revan sudah mengetahui semua kebusukannya pada perusahaan yang dibesarkan oleh mendiang Panji. Adhyatsa memilih keluar dari ruangan Revan. Revan segera mengambil air putih yang letaknya ada di ujung ruang kerjanya. Ia meneguk satu gelas air putih dingin hingga tanda. Revan memijit dahinya, kepalanya sakit pagi ini karena kurang tidur. Revan berjalan mendekat ke arah laci ponselnya dan menyalakan benda pipih itu. Banyak pesan dan panggilan dari Naga. Ancaman dalam pesan itu membuat Revan tertawa geli. Rupanya Naga tidak terima ketika orang-orangnya ditendang keluar dari perusahaannya. Pantas saja, Naga selalu tahu apa yang terjadi dengan perusahaannya ini. "Selamat pagi, Pak. Tim audit akan datang sebentar lagi," kata Hardi dengan gugup. "Ya, siapkan ruangan untuk mereka. Rupanya mereka datang lebih awal. Semoga saja hasilnya sangat memuaskan. Tidak ada lagi tikus kecil dalam perusahaan ini." Revan bersiap menuju ke ruangan yang akan digunakan untuk rapat dengan tim audit. "Hardi, kamu kenapa?" tanya Revan karena melihat Hardi tampak tidak baik-baik saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD