Seharian ini, selesai mengikuti satu mata kuliah, Aisha tampak sibuk menyelesaikan urusan magang bersama El Rumi. Untungnya, apa yang pria itu janjikan benar-benar ditepati.
Alhasil, Aisha yang tadinya pusing, kini patut bernapas lega. Aisha akui, meminta bantuan orang dalam memang terasa perbedaannya dari pada jalur mandiri. Bukan hanya itu, mulai besok pagi, ia bahkan sudah boleh mulai bekerja. Maka, nikmat Tuhan mana lagi yang harus kau dustakan.
"El Rumi, makasi banyak bantuannya. Kalau nggak ada kamu, mungkin sekarang aku masih pusing banget harus magang di perusahaan mana. Tau sendiri kakakmu kasih deadline yang super nyebelin."
El Rumi mengangguk dengan senyum. Dari wajahnya saja terlihat kalau dirinya begitu puas. Suatu kebahagiaan baginya karena sudah berhasil membantu gadis cantik seperti Aisha dalam menyelesaikan masalahnya.
"Sama-sama. Selagi aku bisa bantu, aku bakal bantuin kok. Lagian, gampang kalau cuma masukin kamu jadi karyawan magang di kantorku."
Senyum langsung tersungging lebar di bibir Aisha. Kalau dipikir-pikir, senang sekali rasanya bisa mengenal sosok El Rumi. Sudah ganteng, baik, perhatian. Belum lagi sikapnya juga lucu. Pintar menghibur dan yang pasti pria itu hadir dan dengan tulus hati membantu Aisha di saat kesulitan.
Jauh beda dengan Aslan. Ya Allah, kalau mengingat sosok Aslan, Aisha selalu berpikir kenapa dua bersaudara itu seperti langit dan bumi. El Rumi terlihat begitu hangat. Kenapa Aslan malah seperti kulkas dua pintu yang sikapnya dingin dan menyebalkan?
Jangan salah, Aisha sempat beberapa kali terpikir, kenapa sih dirinya tidak menikah dengan El Rumi saja. Aisha yakin, ia pasti tidak akan terus-terusan makan hati seperti yang dirasakannya sekarang.
"Pokoknya sekali lagi makasi banget. Aku janji, nanti bakal traktir kamu makan sepuasnya sebagai bentuk balas budi."
El Rumi tertawa. Detik setelahnya pria itu mengangguk berulang kali. Tampaknya amat setuju dengan penawaran yang Aisha sodorkan kepadanya. Aji mumpung, kan?
"Oke. Aku pasti bakal tagih. Kalau ditraktir makan gratis, mana mungkin aku tolak. Apalagi sama perempuan cantik macam kamu."
Keduanya sama-sama tertawa sejenak. Hingga tak lama, terlihat El Rumi melirik Tag Heur hitam yang melingkar di tangannya. Memastikan sekali lagi pukul berapa saat ini.
"Udah jam lima sore. Kamu mau aku antar pulang? Pasti jam segini lagi macet-macetnya di jalan. Kalau nggak buru-buru, kamu bisa malam baru sampai rumah."
Aisha menggeleng pelan. Dengan sopan menolak ajakan yang El Rumi tawarkan. Padahal, kalau nggak mau cape dan keluar biaya, bisa aja dirinya ikut menaiki mobil mewah milik pria keturunan Turki tersebut.
"Makasih banyak tawarannya. Lain kali aja. Lagian, karena bakal macet parah, mending aku pulang naik ojek online aja."
El Rumi malah terkesiap.
"Serius kamu mau pulang naik ojek online?" tanya El Rumi memastikan. Seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Ya emang kenapa kalau naik ojek online?"
"Bahaya. Nanti kalau jatuh gimana?"
Aisha tertawa lebar. Ini si El Rumi berlebihan nggak, sih? Macam dirinya anak TK saja, yang kalau naik motor harus didampingi orang dewasa.
"Nggak, dong. Lagian, aku udah biasa pakai ojek atau kendaraan umum lainnya. Jadi, nggak perlu khawatir."
El Rumi terus memandangi wajah Aisha. Sekali lagi memastikan kalau iparnya tersebut akan baik-baik saja saat nanti pulang ke rumah dengan menggunakan motor. Terlebih, Aisha ini perempuan. Takut saja nanti malah kenapa-kenapa di jalan.
"Udah, tenang aja. Aku bakal baik-baik aja, kok," kata Aisha sekali lagi meyakinkan.
"Oke. Kamu boleh pulang. Tapi, kalau ada apa-apa di jalan, pokoknya langsung hubungi aku aja."
Aisha mengangguk. Setelah memesan ojek online dari aplikasi yang tersedia di handphone nya, ia kemudian berpamitan pada El Rumi untuk bergegas pulang.
Tidak salah memilih pulang dengan mengendarai motor sore ini. Buktinya, ia bisa sampai rumah hanya dalam kurun waktu dua puluh menit saja.
Begitu memasuki rumah, terlihat tidak ada siapa-siapa selain para pekerja dan asisten rumah tangga. Karena baru setengah enam sore dan waktu magrib masih jauh, alih-alih menuju kamar, Aisha memutuskan untuk pergi ke dapur.
Di lihatnya saat itu ada dua asisten rumah tangga yang sepertinya sedang sibuk menyiapkan makan malam.
"Mba Aisha," tegur salah satunya. "Ada perlu apa? Mba Aisha butuh sesuatu?"
Tina, asisten rumah tangga yang berumur sekitar empat puluh tahun tampak bertanya. Berjalan menghampiri, kemudian kembali menawarkan diri.
"Mba Aisha mau makan?"
Aisha menggeleng. Senyum tipis terukir di bibirnya.
"Nggak, Bu Tina. Saya nggak butuh apa-apa, kok. Ini Bu Tina sama Mba Lala lagi siapin makan malam?"
Tina mengangguk.
"Iya. Ini lagi masak udang saos padang kesukaannya Pak Aslan sama oseng buncis pakai jagung. Mba Aisha mau makan sesuatu? Bilang aja, nanti kita masakin."
Aisha menggeleng. Dirinya memang lapar dan ingin makan. Tapi, sungkan sekali rasanya kalau sampai dimasakkan segala. Ya, walaupun tugas ART memang bantu memasakkan makanan yang dipinta oleh majikan, ia merasa tidak pantas saja kalau harus memerintah hal sepele seperti ini.
"Nggak usah. Biar saya masak sendiri aja. Lagian, gampang ini. Nanti, saya bantuin juga masak buat Kak Aslan."
"Tapi, Mba Aisha ---"
"Udah," potong Aisha segera. "Nggak apa-apa kan saya bantu masak? Masa nggak boleh?"
Tina mana bisa membantah. Dibiarkannya saja Aisha yang saat itu melangkah menuju kulkas. Membuka, kemudian memerhatikan sejenak isi di dalamnya.
Aisha tampak berdiam diri beberapa lama sembari memandangi bagian freezer tempat ikan, ayam, dan beberapa bahan makanan lainnya tersimpan. Mengambil salah satunya, kemudian membuka box sayur untuk mengeluarkan beberapa yang ingin ia masak.
"Saya juga lagi pengen makan sup sayur. Ini, biar saya masak sendiri aja."
"Saya bantuin, Mba," tawar Tina sekali lagi. Dirinya malah merasa tidak enak kalau membiarkan istri dari majikannya tersebut memasak makanannya sendiri.
"Nggak usah, saya sendiri aja nggak apa-apa. Bu Tina rapiin meja aja."
Dua kali menawarkan diri, dirinya selalu ditolak. Alhasil, Tina tidak kuasa untuk kembali membantah. Lantas membiarkan saja Aisha memasak menu makanan yang diinginkan. Setelah selesai, gadis itu bahkan ikut bantu memasak dan menyiapkan menu makanan untuk disantap oleh Aslan.
"Udah selesai, Mba. Sisanya, biar kami aja yang beresin," kata Tina setelah menghidangkan piring dan gelas di atas meja makan. "Mba Aisha mending ke atas. Siap-siap mandi terus makan malam. Lagian, udah mau magrib juga."
Aisha mengangguk setuju. Menyambar sling bag yang tadinya ia taruh di atas meja, kemudian melangkah cepat menuju kamar untuk membersihkan diri dan bersiap sholat magrib.
Selesai menjalankan semua kegiatan rutin, tepat pukul tujuh malam, Aisha kembali ke ruang makan. Di sana, dirinya belum juga mendapati sosok Aslan. Entah pria itu memang lembur atau terkena macet sampai-sampai pulang telat hari ini.
"Ini kalau aku makan duluan, dosa nggak sih? Mana laper banget. Nggak ditungguin, nanti dibilang nggak sopan. Gini amat nasibku."
Aisha mendesah sembari terus bergumam. Memegangi perutnya yang memang terasa keroncongan karena seingatnya terakhir kali makan saat siang tadi bersama El Rumi.
Ada sekitar tiga puluh menit Aisha menunggu. Sampai akhirnya, pria yang sedari tadi ditunggu pada akhirnya pulang dan memasuki rumah.
Seperti biasa, Aslan tampak cuek. Pria itu padahal melihat sosok sang istri yang tengah duduk menunggu di ruang makan. Tapi, keinginan untuk menegur sekali pun tampak tidak terlihat. Malah berlalu saja seolah-olah tidak melihat siapa pun di ruang makan.
"Kak Aslan," panggil Aisha segera saat menyadari Aslan yang lewat saja tanpa menggubris dirinya.
Sedang Aslan menghentikan langkah. Menoleh, lalu melempar tatapan dingin seperti yang sudah-sudah.
"Kenapa?"
"Kak Aslan nggak makan malam dulu? Udah aku siapkan udang saos padang sama oseng buncis."
"Kamu makan aja sendiri. Aku udah kenyang," sahut Aslan dengan santai. Pria itu bahkan bersiap melanjutkan langkah.
"Jadi, Kak Aslan udah makan malam? Padahal, aku nungguin kakak dari tadi," ungkap Aisha terdengar mengeluh. Tentu saja ucapannya ini langsung di sahut oleh Aslan dengan santai seperti biasa.
"Kamu? Nungguin aku makan malam?
"Iya," angguk Aisha. "Aku emang sengaja tungguin kakak dari tadi."
"Siapa yang suruh?"
"Nggak ada, sih. Inisiatif aja. Maksudnya, biar bisa makan bareng gitu."
Aslan mengangguk. Kemudian memutar haluan. Melangkah mendekat. Menghampiri Aisha yang tengah duduk. Pikir sang istri, pria bertubuh tinggi semampai tersebut akan ikut makan malam bersama. Rupanya malah ingin lanjut menanggapi ucapan Aisha sebelumnya.
"Perlu kamu tau, nggak perlu buang waktu untuk tungguin aku pulang hanya untuk makan malam bareng. Dan lagi, nggak usah repot-repot masak segala macam. Aku udah bayar mahal dua ART buat masak dan siapin semuanya. Jadi, nggak usah sok baik."
Aslan kemudian berbalik badan. Namun sebelum benar-benar pergi, pria itu masih sempat berkata-kata lagi.
"Harus kamu ingat juga Aisha, kamu nggak perlu urusin aku. Nggak perlu juga ikut campur urusan pribadiku. Terlebih, aku juga nggak minat untuk tau urusan pribadimu. Jadi, kita urus urusan masing-masing aja."
Aslan lantas berlalu. Meninggalkan Aisha yang hanya bisa melongo melihat sikapnya yang benar-benar di luar nalar.
"Aslan sialan! Awas aja, besok aku bakal kasih pelet biar kamu tergila-gila sama aku. Dasar nyebelin!"
***
Karena sudah malas bersikap baik, pagi ini Aisha putuskan untuk sarapan sendiri. Setelah mandi dan sholat subuh, ia lantas bersiap untuk menyiapkan dan kemudian menyantap sarapan tanpa perlu repot-repot menunggu Aslan.
Enak saja pikirnya. Cukup sekali saja ia merasa kelaparan. Kali ini, Aisha tidak akan buang-buang waktunya yang berharga untuk menunggu orang yang tidak memerdulikannya.
"Taat dan menuruti suami itu memang kewajiban seorang istri. Tapi, kalau suaminya modelan T-rex macam Aslan, kayaknya aku mesti pikir-pikir lagi."
Aisha terus bersungut-sungut sembari menyantap roti isi di piringnya. Rasa kesal sisa semalam belum habis dari dalam dirinya. Ia bahkan bersumpah dalam hati, mulai detik ini, ia tidak akan repot-repot bersikap sopan. Apalagi sok baik di depan Aslan.
"Pokoknya, mulai sekarang aku bakal balas dan bersikap apa adanya. Terserah dia mau suka atau nggak. Salah sendiri tiap hari kerjaannya cuma buat kesal."
Namun, gerutuan itu lantas lenyap kala Aslan tampak terlihat memasuki ruang makan. Karena malas satu ruangan apalagi sampai terlibat perbincangan, Aisha memutuskan untuk melahap habis roti isi yang sedari tadi ia makan dalam satu suapan, kemudian bangkit sembari menyambar tas miliknya, lalu bersiap pergi.
"Kamu mau ke mana?" tegur Aslan tiba-tiba. Padahal, Aisha berharap suaminya itu mengabaikan dirinya seperti biasanya.
"Mau berangkat."
"Ke mana?" tanya Aslan kemudian. Kenapa juga tiba-tiba saja pria itu terlihat cerewet. "Bukannya udah nggak ada jadwal kuliah?"
Namanya juga dosen yang juga bekerja sekaligus mengajar di universitas tempat Aisha berkuliah, Aslan tentu tahu sekali jadwal kuliah istrinya tersebut.
"Ya emang bukan ke kampus," sahut Aisha dengan berani.
"Terus ke mana?"
"Magang, lah."
"Magang?"
Aisha mengangguk.
"Iya. Ini hari pertama aku kerja."
"Di mana?"
Aisha tersenyum mengejek.
"Di mana-mana hatiku senang, Kak."
Gadis itu kemudian pergi dengan tawa puas. Senang sekali rasanya bisa menyahut Aslan tanpa perlu repot memikirkan perasaan pria itu.
"Satu sama! Kita impas sekarang," gumam Aisha dalam hati saat keluar dari rumah.
Ya, Aisha tau dirinya harus hormat dan juga bersikap sopan. Mau bagaimana pun, saat ini Aslan berstatus sebagai suaminya. Hanya saja, ia gemas sekali. Ingin rasanya membalas walau cuma sekali saja sikap ketus dan menyebalkan yang sering pria itu tunjukkan kepadanya.
Sementara Aslan yang hendak menikmati sarapan, hanya bisa menarik napas berulang kali menanggapi sahutan sang istri. Malas mengambil pusing, dirinya memilih abai kemudian setelahnya bersiap-siap untuk berangakat kerja.
Beruntung, pagi ini tidak macet seperti biasa. Aslan ingat hari ini ada jadwal pertemuan dengan salah satu klien untuk membicarakan tender pembuatan apartemen di salah satu lokasi yang tak jauh dari pantai.
Memasuki kantor, ia langsung berjalan menuju ruangan yang ada di lantai 10. Namun, saat hebdak memasuki lift, langkah Aslan terhenti. Netranya menangkap sosok perempuan yang santat ia kenal.
"Aisha. Ngapain kamu di sini?"
Di seberang Aslan, berdiri sosok Aisha yang terlihat tengah menunggu seseorang. Setelah mendengar namanya dipanggil, Aisha dengan santai menjawab saja apa yang ditanyakan pria di depannya.
"Mau magang lah, Kak. Masa iya jualan."
"Magang? Di sini? Siapa yang izinkan kamu magang di sini? Lagi pula aku nggak ngerasa approve lamaran kamu dan nggak butuh juga mahasiswa magang untuk handle kerjaan aku."
"Aku yang bawa Aisha ke sini, Kak."
Dari arah lobby, tiba-tiba muncul sosok El Rumi. Pria itu datang dan langsung menghampiri.
"Kamu gila? Terima Aisha magang di sini? Kalau pegawai lain tau ---"
"Dia istrimu?" potong El Rumi buru-buru. "Ya kenapa emangnya kalau pegawai lain tau, Aisha istrimu, Kak? Memangnya Aisha ini aib apa gimana?"
Aslan mendesah. Mau balas berbicara, tapi ia khawatir orang-orang di sekitar mendengar.
"Apa kata orang-orang kalau suami istri kerja di tempat yang sama, Rumi?" sahut Aslan berbisik.
"Dia cuma magang, Kak. Bukan jadi karyawan tetap. Lagian, nggak usah takut. Dia itu asistenku dan kerja di bawah departemenku. Jadi, kak Aslan nggak perlu takut."
El Rumi kemudian memberi kode kepada Aisha untuk mengikuti langkahnya pergi. Sedang Aisha tampak mengekor. Namun, sebelum benar-benar pergi, dirinya dengan sengaja melambai ke arah Aslan. Menatap lucu, sembari menggerakkan bibir seolah-olah mengucap 'bye-bye' dengan wajah mengejek. Hal ini tentu membuat Aslan hanya bisa menggeram sebal karena tidak mampu berbuat apa-apa.