10

1013 Words
Pagi ini Dini terbangun dari tidur pulasnya. Tangannya meraba di kasur yang ada di sebelahnya. Tadi malam, tempat tidur itu terasa pas dan hangat karena ada Herman, suaminya yang terus memeluk tubuh Dini walapun sudah tertidur dengan pulas. Jari jemari Dini berjalan menyusuri kasur yang ada di sebelahnya, namun tidak ada satu pun benda yang tersentuh baik tubuh tambun Herman maupun guling yang biasa ada diantara keduanya sebagai pembatas. Kedua mata Dini membuka pelan, penasaran dengan apa yang dirasakannya. Benar, Herman, suaminya tidak ada lagi di sebelahnya. Padahal ini masih dini hari, baru juga jam empat pagi. Apa iya sudah berangkat kerja? pikir Dini yang sedikit khawatir. Biasanya Herman akan selalu berpamitan, tapi tidak malam ini. Padahal status mereka berdua sudah menjadi pasangan suami istri yang SAH. Dini menurunkan kedua kakinya ke lantai dan berjalan menuju pintu kamar sambil merapikan piyamanya yang sedikit berantakan karena selalu dibuka oleh Herman, suaminya. Ceklek .... Pintu kamar itu telah di buka oleh Dini. Pemandangan rumah megah dan mewah itu seolah membuat Dini takjub. Semua pelayan sudah terbangun dan mulai bekerja sesuai tupoksinya masing-masing. Rosa datang menghampiri Dini, tugasnya memang sekarang menjadi asisten pribadi Dini. "Selamat pagi, Nona. Ada yang Nona butuhkan biar saya ambilkan atau saya siapkan untuk pagi ini sebelum pergi ke kampus?" tanya Rosa dengan lembut. Dini menggelengkan kepalanya dengan pelan. Lalu, bertanya kepada Rosa yang sejak tadi menatap Dini dengan takjub. "Aku ingin bertemu dengan Mas Herman. Kemana beliau pergi? Kenapa tidak pmit denganku?" tanya Dini dengan pelan. "Tuan Herman sudah pergi dan kembali ke rumah tadi malam. Dan pesannya, pagi ini Nona muda harus ke kampus dan diantarkan oleh Denis," ucap Rosa pelan. Dini mengangguk paham. Posisisnya hanya istri siri. Tentu tidak banyak yang harus di prioritaskan demi Dini. Hari ini akan banyak aktivitas yang di lewati. Setelah sarapan pagi. Dini sudah berada di dalam mobil bersama Rosa dan Denis menuju kampusnya. Ketiganya masih canggung dan diam. Belum ada obrolan terbuka atau cndaan seperti layaknya pada sahabat atu teman padahal umur hampir sama. "Nona muda, itu kampusnya. Saya antar sampai ke dalam atau bagaimana?" tanya Denis tiba-tiba. "Aku harus menemui siapa? Kenapa Mas Herman tidak menghubungi aku? Biar jelas. Ada yang punya nomor Mas Herman, suamiku?" tanya Dini lembut. Rosa dan Denis keduanya menggelengkan kepalanya dengan cepat secar bersamaan. "Tidak ada Nona," jawab Rosa singkat. Dalam hati Rosa hanya merasaka ada kejanggalan kenapa Dini samapai tidak tahu no ponsel Taung Herman, suaminya. Mobil yang di gunakan Dini pun sudah berad dalam parkiran kampus. Satu mobil mendekati mobil Dini dan parkir tepat di sebelahnya. Ya, itu mobil yang digunakan Herman, suaminya dan Benny, asisten pribadinya. Dini menatap dari kaca jendela mobil. benny keluar dari mobilnya dan mengetuk kaca jendela mobil di arah Dini. Kaca jendela itu pun di buka. "Ya .... Ada apa?" tanya Dini lembut menatap Benny. "Tuang Herman ingin menemui anda, Nona Dini. Silahkan masuk ke dalam mobil," ucap Benny pelan sambil menunjuk ke arah pintu belakang mobilnya. Tanpa banyak pertanyaan. Dini menutup kaca mobilnya dan turun dari mobilnya lalu berjalan masuk ke dalam mobil yang ada di sebelahnya. "Hallo sayang. Cantik sekali kamu hari ini?" sapa Herman lalu memeluk istrin sirinya itu dengan erat. pelukannya begitu hangat dan mesra seperti sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Dini sendiri mulai nyaman dengan pelukan, ciuman dan sntuhan yang di berikan oleh Herman, suaminya setiap saat kepada dirinya. Tidak ada perasaan malu ataupun risih karena perbedaan usia yang terlalu jauh. Semua terasa sangat indah dan membahagiakan. "Mas Herman .... kemana saja? Pergi tidak pamit," cicit Dini dengan suara manja yang menggemaskan. Herman tertawa dan meraup bibir mungi kemerahan milik Dini dengan gemas. Niatnya hanya membungkam bibir mungil istrinya, namu aroma pemulas bibir yang di gunakan oleh Dini terasa menggairahkan untuk di lumat dan di hisap hingga Dini yang belum siap dan tidak punya ancang-ancang pun tidak bisa mengimbangi gairah nasu ciuman Herman yang semakin menggila. Napas Dini terasa sesak dan rongga parunya sudah kehabisan oksigen dan mulai tersengal-sengal. "Mas ..." desah Dini sambil sedikit mendorong tubuh Herman, suaminya pelan untuk menyudahi kegiatan paginya ini. "Kenapa sayang? Apa kamu tidak rindu pada Mas?" tanya Mas herman palan. Dini merapikan pakaiannya yang sudah mulai terangkat berantakan karena ulah suaminya itu. Tangannya terlalu ramah jika sedang beraktivitas bersama istrinya Ada saja yang di pegang, di sentuh, di pilin, di putar dan di pencet. "Lihat, bajuku terlihat kusut," ucap dini dengan kesal. Herman hanya tertawa melihat tingkah lucu istri mudanya itu sambil memainkan rambut panjangnya yang terurai dengan indah. "Hanya kusut, tapi tetap cantik kok," ucap Herman pelan. "Cantik dari mana? Mas Herman itu suka bohong," ucap Dini yang menyandarkan duduknya di jok mobil itu. Tangan Herman menarik dagu sang istri muda dan mendekatkan dengan wajah tampannya yang semakin termakan usia. "Dengar ya. Kalau kamu tidak cantik. Mas, tidak akan mau menikahimu," ucap Herman lembut. Bibir Dini di kerucutkan dengan kesal. "Lalu, bagaimana dengan kuliahku?" tanya Dini tiba-tiba. "Nanti kita masuk bersama. Mas sedang menunggu teman yang bisa mengurus pendftaranmu dan bisa langsung masuk kuliah pagi ini. Jurusan apa yang kamu inginkan?" tanya Herman dengan pelan. Dini terdiam. Dia bahkan tidak tahu ada jurusan apa saja, dan seperti apa nantinya. Dini menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Aku tidak tahu Mas. Jurusan apa yang harus aku pilih," ucapnya sendu. "Mas saja yang pilihkan ya? Tapi, janji agar kamu tetap semangat belajar. Mas, mau ke luar negeri dalam waktu yang cukup lama. Nanti, jika ada sesuatu hal, kamu bisa bilang Benny atau Denis, mereka berdua orang-orang kepercayaanku," ucap herman pelan. Rasanya ucapan Herman seprti kata perpisahan. Ada hal yang tersirat disana, seperti tidak akan kembali lagi. "Apa Mas Herman mau meninggalkan aku?" tanya Dini pelan. Herman menggelengkan kepalanya pelan, lalu menatap ke arah luar kaca jendela. Tadi malam terjadi perdebatan luar biasa bersama Siska, istrinya. Siska mengendus ada perubahan pada diri Herman. "Mas Herman? Ada apa?" tanya Dini lembut lalu memeluk perut Herman. "Mas tidak akan pernah meninggalkanmu Dini. Sampai kapan pun Mas akan tetap mempertahankanmu," ucap Herman dengan suara lirih. Dini menatap sendu kepada Herman. Ada sesautu hal yang tersembunyi di balik pikirannya. Ada hal yang tidak Dini ketahui setelah ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD