Mulai Terhanyut Dalam Perasaan

2061 Words
Senja sudah hampir hadir, kampus perlahan mulai sunyi. Semua kembali ke rumahnya masing-masing dengan segera, setelah menyelesaikan ospek hari kedua mereka. Namun, Meira belum menyusul teman-temannya yang sudah pulang ke rumahnya mereka duluan. Meira mau menjenguk sahabatnya yang tadi pingsan. Meira sangat khawatir juga cemas dengan keadaan Kalla. Meira menuju ke klinik kampus. Mencari sahabatnya untuk memastikan apakah Kalla baik-baik saja. “Kalla!” panggil Meira ketika melihat Kalla sedang turun dari tempat tidur yang ada di klinik kampus. “Hei, Mei,” jawab Kalla masih dengan suara lemas. “Lo nggak kenapa-kenapa, kan? Masih ada yang sakit? Apa yang sakit?” tanya Meira dengan seluruh kecemasannya. “Ahhh apaan sih, Mei. Jangan berlebihan, lah. Aku nggak apa-apa kok. Mungkin tadi Cuma lelah, atau lapar,” jawab Kalla menenangkan Meira. “Syukur deh kalau kamu baik-baik saja. Sekarang aku anter kamu pulang, ya.” “Ehh nggak perlu, Mei. Aku bisa naik taksi online sendiri. Lagian kan aku di taksi juga bisa tiduran. Jadi lebih aman.” “Lo ini masih saja susah dibilangin, lagi sakit juga!” “Ohh iya, aku kan mau ke rumah sakit,” ujar Kalla teringat janjinya dengan Aksa tadi malam. “Hahh? Lo kenapa? Tadi bilang baik-baik, saja,” protes Meira. “Bukan aku, Mei. Kan mau jenguk Mamanya Aksa. Aku sudah janji sama Aksa semalam mau ke rumah sakit. Kira-kira bawaain apa ya, Mei buat Aksa?” “Yaelah, Kal. Lo masih sakit, sempet-sempetnya mikirin orang lain. Kalo Lo kenapa-kenapa di jalan bagaimana coba?” “Nggak, kok. Aku sudah baik-baik saja, sudah aman.” Kalla merapikan semua barang yang dibawakan oleh Meira. Meira menunggu Kalla bersiap untuk pulang. Kampus sudah semakin sepi, di klinik kampus hanya ada Meira dan Kalla saja. “Sudah sembuh, lo?” tanya Natasha kepada Kalla, Natasha tiba-tiba masuk ke klinik kampus tanpa sepengetahuan Kalla dan Meira. “Eeee sudah, kak,” jawab Kalla dengan nada yang lembut. “Ini orang kenapa sih, cari gara-gara mulu perasaan,” ujar Meira dalam hati. “Lain kali, nggak perlu tunggu disuruh sarapan dan diingetin sarapan sama orang lain. Kan yang butuh makan itu Lo sendiri. Kalau jadinya begini kan yang repot juga orang lain,” ucap Natasha berniat menasehati Kalla. “Maaf ya, Kak. Kalla kan masih sakit, ini. Jadi bisa lah ya minta simpatinya sedikit. Jangan marah-marah di depan orang sakit,” ucap Meira sudah terlalu kesal dengan Natasha. “Lo berani sama gue?” Natasha mulai kesal dengan Meira. “Engga, kak. Maafin Meira, ya. Maafin saya juga yang sudah merepotkan kakak-kakak senior di sini. Lain kali saya akan lebih jaga kesehatan kok. Terima kasih sudah diingatkan,” jawab Kalla menghindari konflik dengan Natasha. Kalla dan Meira pamit keluar dari klinik kampus. Mereka tidak mau ada konflik dengan Natasha. Meira tidak bisa ke rumah sakit karena ada acara keluarga. Terpaksa Meira harus melepaskan Kalla naik taksi online sendirian menuju rumah sakit untuk menjenguk Mama Aksa. “Kal, beneran lo nggak apa-apa sendirian ke rumah sakit? Sorry banget, ya. Gue nggak bisa ikut lo, gue ada acara keluarga di rumah dan harus dateng,” rengek Meira merasa bersalah dengan Kalla karena tidak bisa menemai Kalla ke rumah sakit. “Iyaaaa, Mei. Nggak apa-apa kok. Aku bisa sendiri dan aku baik-baik saja. Aku sudah nggak kenapa-kenapa kok. Lagian kan seharian tadi aku istirahat di klinik,” jawab Kalla seperti biasa menenangkan Meira. “Yaudah, gue tungguin lo sampai taksi online nya dateng, ya.” Kalla mengangguk dan memberikan senyuman tipis untuk Meira. Belum lama menemani Kalla menunggu taksi online, Meira dan Kalla lagi-lagi bertemu dengan Natasha. Natasha menyetir mobilnya sendirian, tidak ada orang lain juga di dalam mobilnya. Meira kira Natasha akan menawarkan tumpangan untuk Kalla. Namun, ternyata Natasha hanya menengok ke arah Kalla dan Meira dengan tatapan sinis. Meira tidak tahan untuk tidak kesal melihat senior yang galak itu.  Natasha langsung menginjak gas, dan meninggalkan kedua juniornya tanpa ada basa-basi. “Huhhhhh, gedek banget gue sama senior yang satu itu. Bagaimana begitu kek sama juniornya,” ucap Meira melampiaskan kekesalannya dengan Natasha. “Sudah sudah, nggak usah marah-marah Mei. Lagian kan itu hak dia mau bersikap bagaimana saja ke juniornya. Sudah ahhh, biarin saja. Jangan cari masalah sama senior, nanti kuliah kita nggak baik-baik saja,loh!” nasehat Kalla saat mendengar Meira marah-marah dengan Natasha. Meira mendapat telepon dari Mamanya. Mama Meira menyuruh Meira pulang cepat karena sudah ditunggu di rumah. Mau tidak mau Meira harus meninggalkan Kalla di kampus sendirian karena taksi onlinenya belum juga datang. “Sorry untuk yang kedua kalinya ya, Kal,” Meira merasa bersalah karena tidak bisa menemani Kalla menunggu taksi online nya datang. “Iyaaa, nggak apa-apa. Sebentar lagu juga sampai, kok. Kamu hati-hati, ya. Salam buat Mama kamu dan keluarga. Meira masuk ke mobil jemputannya. Kalla melambaikan tangan dan memberikan senyum untuk Meira, agar Meira lebih tenang juga tidak merasa bersalah kepada Kalla karena sudah meninggalkan Kalla sendirian di depan kampus. “Kamu tunggu apa di sini?” tanya Gibran setelah turun dari mobilnya. “Tunggu taksi online, kak,” jawab Kalla singkat sambil sibuk melihat lokasi taksi onlinenya. “Sorry,”Gibran merebut hp Kalla, melihat dimana lokasi taksi online Kalla. Lalu, Gibran menarik tangan Kalla dan menyuruh Kalla masuk ke mobilnya. Kalla menolak karena kalla sudah memesan taksi online. “Nggak usah, kak. Lagian kan aku sudah pesan taksi online.” “Taksinya masih jauh, kena macet. Kamu mau tunggu di sini sampai kapan?” tanya Gibran kepada Kalla yang masih ngeyel tidak mau masuk mobil. “Nggak apa-apa aku tunggu di sini saja. Kak Gibran pulang duluan saja,” jawab Kalla masih keras kepala tidak mau masuk ke mobil Gibran. “Yaudah, aku temenin kamu di sini sampai taksi online nya datang. “Nggak perlu, kak!” “Makanya, sudah ikut aku saja. Aku kasih 2 pilihan. Ikut aku saja, atau aku bakal nungguin kamu di sini sampai taksi online nya datang.” “Kak Gibran pulang saja, ya,” Kalla melepas tangan Gibran dan menutup pintu sebelah kiri. “Aku juga mau ke rumah sakit dulu, nggak mau langsung pulang ke rumah. Jadi, lebih baik aku naik taksi online saja.” “Kamu masih sakit?” Gibran panik setelah mendengar Kalla akan pergi ke rumah sakit. “Ohh enggak, aku mau nengokin Mama Aksa.” Gibran kembali menarik tangan Kalla dan mengambil hp dari tangan Kalla. Gibran sedikit memaksa Kalla untuk masuk mobilnya. “Kamu kan masih sakit, kenapa mikirin orang lain? Kalau kamu kenapa-kenapa di jalan, siapa yang mau nolongin kamu? Memang supir taksinya kenal sama kamu? Tahu kalau kamu sakit? Engga kan?” Gibran mencerca Kalla dengan beberapa pertanyaan setelah Gibran dan Kalla sudah berada di dalam mobil. “Tapi, kak,” Kalla masih mencoba ngeyel dengan Gibran. “Aku anter kamu ke rumah sakit, terus kita pulang,” jawab Gibran sambil bersiap menginjak gas mobilnya. “Terus ini taksi online nya bagaimana?” Kalla kasihan dengan supir taksi online yang sudah diperjalanan menjemput Kalla. “Batalin saja, masih jauh banget, kena macet,” ujar Gibran. Baru menginjak gas mobilnya, di depan Gibran sudah ada mobil lain. Ternyata itu taksi online yang mau menjemput Kalla. Gibran melarang Kalla turun dari mobilnya. Gibran keluar dari mobil dan memberikan ongkos seperti ongkos yang tertera di aplikasi. Gibran tetap memaksa Kalla untuk pulang bersamanya. “Loh, kak. Kok taksinya malah pergi, sih? Terus aku bagaimana?” tanya Kalla bingung. “Kamu kan sudah di dalam mobil, “ jawab Gibran sedikit dingin. “Tapi, kak....” “Sudah tenang saja, aku akan nganterin kamu ke rumah sakit. Setelah itu aku akan anter kamu pulang ke rumah,” Gibran menutup obrolan diantara mereka. Gibran dan Kalla sudah sampai di rumah sakit untuk menjenguk Mama Aksa. Gibran melihat ada mobil yang waktu itu hanpir membuat Kalla dan Gibran celaka. “Ini mobil kan yang waktu itu hampir nyelakain kita,” ujar Gibran sambil menunjuk mobilnya. “Mobil Aksa?” “Jadi ini mobil teman kamu itu?” tanya Gibran sinis. “Iyaaa,” Kalla menjawab dengan polos dan jujur. Gibran meggandeng tangan Kalla untuk segera masuk ke rumah sakit. Gibran berpesan kepada Kalla agar tidak terlalu lama, karena Kalla sedang tidak enak badan. “Aksa!” Kalla memanggil Aksa saat melihat Aksa keluar dari ruangan Mamanya. “Kalla,” Aksa melihat Kalla digandeng oleh Gibran. Kalla menarik Gibran agar berjalan lebih cepat. “Bagaimana Mama kamu? Maaf ya aku baru jenguk Mama kamu sekarang. Oh iya, ini aku sama Kak Gibran bawain buah sama makanan untuk kamu dan Mama,” ucap Kalla sembari memberikan makanannya kepada Gibran. “Iya nggak apa-apa. Mama sudah tunggu kamu di dalem,” ujar Aksa. “Aku ke dalam dulu ya, kak,” pamit Kalla kepada Gibran sambil melepaskan tangan Gibran. “Iya, jangan lama-lama, ya. Kamu nggak boleh pulang malem-melem. Inget kalau lagi sakit,” Gibran menjawab sekaligus memberi pesan kepada Kalla. “Kamu sakit?” tanya Aksa panik. “Eeeeeee,” “Iya, tadi Kalla pingsan di kampus. Makanya Kalla nggak boleh pulang malam, biar Kalla bisa istirahat,” jawab Gibran yang lebih tahu tentang Kalla sekarang. “Kamu kenapa? Terus sekarang bagaimana?” Aksa menarik Kalla, memegang kening Kalla memastikan Kalla tidak demam dan baik-baik saja. “Kalla sudah nggak apa-apa, sudah lebih baik,” Gibran yang menjawab semua pertanyaan Aksa. “Kamu masuk saja. Jangan lama-lama, aku tunggu di luar,” ujar Gibran kepada Kalla. Aksa merasa tidak nyaman dengan keberadaan Gibran di sini juga di kehidupan Kalla. Yang jelas, Aksa sangat cemburu dengan Gibran. Kalla tidak lama masuk ke ruangan Mama Aksa. Karena Aksa tahu Kalla sedang sakit, Aksa meminta Kalla untuk pulang dan beristirahat di rumah. Kalla pun akhirnya keluar dari ruangan Mama Aksa, menghampiri Gibran yang masih setia menunggu di luar. “Sudah?” tanya Gibran saat melihat Kalla dan Aksa keluar dari ruangan. “Bagaimana keadaannya?” Gibran bertanya tentang keadaan Mama Aksa. “Sudah lebih baik,” jawab Aksa tanpa menatap Gibran sedikitpun. “Aku pulang dulu, ya. Jagain mama kamu, besok aku ke sini lagi sama Meira. Meira titip salam untuk Mama kamu, hari ini dia nggak bisa datang karena ada acara keluarga.” “Iya, tadi Meira sudah kasih kabar ke aku. Aku kira kamu datang sendirian ke sini, ternyata sama dia,” Aksa sedikit mengekspresikan kecemburuannya. “Kita pulang sekarang?” Gibran kembali bertanya dengan Kalla. “Iya, kak,” jawab Kalla singkat. “Kamu hati-hati, ya. Jaga kesehatan, jangan lupa makan, kalau ada apa-apa kabarin aku langsung, ya,” Aksa berpesan kepada Kalla karena cemburu juga khawatir dengan Kalla. “Iya. Kamu juga, jaga kesehatan di sini. Jangan lupa makan, ya. Salam buat tante sama om.” Gibran menggandeng tangan Kalla kembali. Kalla lagi-lagi tidak bisa menolak gandengan tangan Gibran. “Oh tunggu sebentar, Kal,” Gibran melepaskan tangan Kalla sejenak. “Kenapa, kak?” “Ada yang mau aku sampein ke teman kamu,” ujar Gibran sembari mendekati Aksa. “Lain kali, kalau nyetir mobil lebih hati-hati. Kemarin, hampir saja Kalla celaka gara-gara lo!” Gibran Aksa terkejut dengan ucapan Gibran. Aksa sudah mulai emosi dengan Gibran. Rasanya Aksa ingin mengusir Gibran dari hidup Kalla. Tapi kenyataannya, Kalla malah semakin dekat dengan Gibran. “Maksud lo apa?” Aksa mendorong badan Gibran karena sudah mulai terpancing emosi. “Lo kan yang bawa mobil malam-malam ngebut dan nggak lihat kanan kiri ada mobil lain atau nggak? Di sebelah kiri lo, yang hampir lo tabrak, ada gue dan Kalla,” Gibran menjawab pertanyaan Aksa lalu balik mendorong Aksa. Kalla sangat kaget dan panik karena Aksa dan Gibran saling mendorong. “Kalian kenapa sih?” Kalla menarik tangan Gibran menjauh dari Aksa. “Ini rumah sakit, jangan ada keributan di sini. Lagian kalian ada masalah apa sih? Kalian kan baru kenal,” ucap Kalla sambil berada di tengah-tengah Gibran dan Aksa. “Nggak apa-apa. Aku Cuma mau ingetin dia, supaya lebih hati-hati kalau nyetir mobil,” jawab Gibran lalu menarik tangan Kalla untuk segera pergi dari rumah sakit. “Kak, kenapa sih? Kenapa kalian tadi saling dorong?” Kalla masih berusaha menanyakan alasan mereka hapir bertengkar. Kalla masih menengok ke arah belakang untuk melihat Aksa. Namun, Kalla terus berjalan karena tangannya digandeng oleh Gibran. Aksa semakin kesal karena semenjak kenal Gibran, Kalla mulai berbeda. Kalla jadi lebih memilih untuk menuruti apa kata Gibran daripada Aksa. Aksa sudah merasa seperti itu. Padahal, Kalla dan Gibran belum memiliki hubungan apa-apa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD