Hal Ganjil Dimulai

1210 Words
Di dalam rumah keluarga Sudibyo, sang kepala keluarga tengah membujuk istrinya yang masih saja merajuk selama beberapa hari ini.  Mengenai praktek yang suaminya lakukan untuk yang kedua kalinya, membuat sang istri merasa dikhianati. Ia tak habis pikir bagaimana bisa sang suami tega melakukan hal demikian di tengah statusnya yang masih memiliki istri.  "Jadi, Ibu maunya apa? Apa masih mau marah saja sama Bapak seperti ini?" tanya Pak Sudibyo pada sang istri di dalam kamar tidur mereka.  Sudah beberapa malam sejak aksi pengusiran yang Bu Ratih lakukan pada suaminya, setelah melakukan ritual bersama jin wanita itu, hingga kini Bu Ratih belum memberikan ijin pada sang suami untuk tidur bersamanya. Masih merasa jijik sebab lelaki yang sudah dua puluh tahun menemaninya dari hidup miskin hingga saat ini, sudah bersentuhan dengan perempuan lain. Bu Ratih masih tak rela, tubuh yang ia cintai itu mengkhianatinya dengan berhubungan badan bersama wanita lain.  "Ibu ingin Bapak tidak berhubungan lagi dengan jin itu!" seru Bu Ratih kesal.  "Seandainya bisa, pasti akan Bapak lakukan. Tapi, kita sudah sepakat dan hal ini juga sudah kita ketahui kalau tak akan pernah bisa dihentikan sampai nyawa kita dicabut oleh Tuhan." Pak Sudibyo mulai terbawa emosi. Menghadapi kemarahan seorang wanita memang harus dengan cara yang lembut, tetapi menghadapi situasi saat ini di mana sang istri sudah tahu resiko dan konsekuensi mengenai ritual yang dijalankan, Pak Sudibyo justru tidak mengerti mengapa sang istri seolah tutup mata, pura-pura tidak tahu. "Kalau Ibu masih mengatakan kenapa, kenapa lagi, lebih baik Bapak pergi saja dari kamar ini. Sebab pertanyaan kenapa itu, mau sampai kapan pun tidak akan ada jawabannya. Karena kita sama-sama tahu kalau hal itu tidak mungkin dikembalikan. Apalagi dengan uang yang sudah kita dapatkan dari ritual itu, tak bijak rasanya menggagalkan pesugihan ini." "Uang itu bukan milik kita, tetapi punya Bapak seorang sebab hanya Bapak saja yang menjalankannya. Tak ada sangkut pautnya sama Ibu." Masih dengan wajah menahan emosi, Bu Ratih enggak menatap sang suami.  "Hah, sudahlah. Sepertinya kita tidak akan menemukan titik temu kalau seperti ini. Ibu akan tetap pura-pura tutup mata dan tak peduli dengan keputusan yang sudah Bapak ambil. Jadi, seandainya Ibu masih memilih untuk marah pada Bapak, ya sudah Bapak tidak akan memaksa Ibu untuk berhenti merajuk seperti ini. Nah, selama Ibu masih bersikap kekanak-kanakan, Bapak lebih baik tidur di kamar tamu saja." Lelaki paruh baya itu pun melangkah meninggalkan sang istri yang terlihat terdiam enggan menengok. Membiarkan sang suami pergi dengan kedongkolan di dalam d*danya sebab menghadapi situasi yang menurutnya tak penting.  "Mau sampai kapan pun Ibu tak pernah rela, Pak. Mengapa Bapak tidak mengerti juga." Air mata mengalir di wajahnya yang beberapa hari ini tampak pilu. Membayangkan tubuh suaminya yang menggeliat-geliat merespon kenikmatan atas tubuh wanita lain, sungguh tak sanggup Bu Ratih meneruskan.  *** Sedangkan di luar kamar, di tempat berbeda, Vita yang baru saja pulang kerja hendak menuju kamarnya. Mengganti semua pakaian dengan sebelumnya membersihkan diri.  Gadis itu sedikit merasa lega setelah bisa bercerita pada orang lain mengenai keresahan hatinya selama ini. Sungguh tak ia sangka jika Bu Zahra tidak memandangnya sinis atau memandang negatif ia dan keluarganya.  "Semua orang memiliki permasalahan masing-masing dalam hidupnya. Kita tidak bisa menghakimi kesalahan orang, sebab belum tentu apa yang kita lakukan pun benar di mata orang lain." Kalimat begitu bijak dari seorang wanita yang juga bijak, terdengar tentram di telinga Vita. Bu Zahra begitu baik menurutnya. Apa yang Vita dengar dari mulutnya, membuat ia merasakan ketentraman dalam jiwanya.  "Setidaknya ada tempat bagiku untuk bercerita," gumam gadis itu.  Ia beranjak menuju kamar mandi yang tersedia di dalam kamar. Hendak membersihkan tubuhnya yang lengket sebab keringat membasahi tubuh seharian ia bekerja.  Kucuran air dari dalam pancuran, terasa segar ketika menyentuh kulit. Tubuh itu begitu rileks saat tetesan air menyentuh titik-titik syaraf di seluruh badan.  "Ah, sungguh menyegarkan!"  Tak lama ia membasahi tubuhnya untuk kemudian menyabuni dengan sabun cair yang begitu wangi.  Busa putih sudah menutupi tubuh telanjang Vita, termasuk rambut panjangnya yang ia beri sampo, sebab tertutup jilbab seharian ini.  Keanehan tiba-tiba terjadi ketika Vita hendak menyiram busa-busa tersebut dengan air. Rambutnya mendadak rontok dan berjatuhan ke lantai kamar mandi begitu banyak. Hal itu tentu saja membuat Vita terkejut. Bahkan ketika ia mengusap rambutnya yang masih tertutup bisa sampo, kembali helaian rambut terenggut dan memenuhi jari tangan Vita.  "Ya Tuhan, apa yang terjadi?" pekik gadis itu.  Belum hilang keanehan yang Vita alami, kini genangan darah sudah mulai memenuhi lantai.  "Ya Tuhan!" lirih Vita dengan ketakutan yang mendadak memenuhi jiwanya.  Gumpalan rambut juga genangan darah menyatu di bawah kaki Vita, dan ketika ia menatap cermin di sebelah kiri, wajahnya berubah memerah sebab air pancuran yang tiba-tiba mengeluarkan air darah, bukan air jernih seperti sebelumnya.  "Argh!" Vita menjerit. Ia tak tahu lagi harus bagaimana. Yang gadis itu lakukan adalah mengambil bathrob yang tergantung dan lekas mengenakannya. Tanpa mau melihat ke arah cermin apalagi genangan darah di bawah, Vita langsung melesat keluar kamar mandi.  Begitu ia hendak membuka pintu kamar, suara ketukam terdengar dari arah luar. Secepatnya gadis itu membuka pintu. Ternyata sosok sangat adik sudah berdiri di sana dengan raut wajah kebingungan.  "Mbak, ada apa?" tanya Fajar masih menatap heran sang kakak.  "Fajar, i—itu ada darah di dalam kamar mandi!" seru Vita yang menjawab sedikit tergagap.  "Darah?" sahut Fajar balik bertanya.  "Iya, darah. Juga rambut. Iya rambut!" Vita terlihat ketakutan. Tapi, remaja di depannya masih belum mengerti apa yang kakaknya maksud.  "Apa sih, Mbak? Aku enggak ngerti." "Ada darah di dalam kamar mandi dan rambut Kakak tiba-tiba rontok banyak sekali." Meski masih belum paham apa yang sang kakak maksud, Fajar memilih untuk masuk dan memeriksa kamar Vita.  "Mbak lagi mandi?" tanya Fajar berjalan masuk dan diikuti oleh sang kakak yang mengekor di belakang.  "Iya. Mbak lagi mandi. Masa kamu masih enggak ngerti juga. Tadi 'kan Mbak bilang di kamar mandi. Udah gitu, apa kamu enggak lihat pakaian yang Mbak pakai ini?" Fajar menatap sinis. "Ya, aku 'kan cuma mastiin. Barangkali aja Mbak udah selesai. Makanya aku tanya." Remaja itu terus masuk ke dalam kamar mandi. Namun, begitu ia tiba di sana. Tak ada hak apapun yang sebelumnya Kakaknya ucapkan.  Tak ada genangan darah ataupun gumpalan rambut yang katanya rontok, terlepas dari kepala Vita.  "Mbak, enggak ada apa-apa!" kata Fajar memberi tahu sang kakak yang memilih tidak ikut ke dalam.  "Masa sih, Jar. Itu air yang keluar dari pancuran gimana?" tanya Vita yang yakin sekali air berwarna merah keluar dari pancuran.  "Shower-nya mati. Mana ada darah juga." Mati? Bukankah tadi ia langsung melesat keluar tanpa mematikan air pancuran. Bagaimana bisa mati?  Memberanikan diri, gadis itu akhirnya mengikuti sang adik ke dalam. Menatap cermin yang ia lewati lebih dulu, sebelum mendekat ke arah Fajar.  Wajahnya terlihat bersih. Tak ada tetesan darah yang mengalir di sekitar wajahnya. Padahal tadi, jelas sekali ia melihat wajahnya tiba-tiba memerah sebab air pancuran yang berubah warna.  Lalu, ia mendekat ke arah sang adik, melihat apa yang sedang remaja itu lakukan dengan menyalakan pancuran yang ternyata mengeluarkan air jernih dari sana.  Aneh. Itu yang Vita rasakan. Lantas, ia melirik ke arah pembuangan air. Tadi, jelas sekali ia melihat gumpalan rambutnya menyangkut di sana. Tapi, itu semua seolah sebuah kebohongan yang Vita ciptakan tanpa sebuah kejelasan.  "Apakah Mbak sedang mengkhayal?" Kalimat tuduhan yang adiknya layangkan, tentu saja membuat Vita kesal.  Aneh, sungguh aneh Vita rasakan. Bagaimana bisa itu semua terjadi.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD