Sebuah Pinangan

1362 Words
Pengajian selesai setelah salat Isya berjamaah usai dilaksanakan. Vita dan Yani baru akan bersiap pulang ketika keduanya melihat Laras, gadis yang memiliki ketertarikan pada Ardan —putra dari Ustadzah Zahra, tengah berbincang dengan lelaki tersebut di depan teras mushola.  "Maaf Laras, aku sudah janji mau pulang bersama .... Vita!" seru Ardan tiba-tiba, begitu melihat Vita dan Yani berjalan mendekat karena akan memakai sendal yang ada di pelataran mushola.  "Hah!" Vita dan Yani kompak terkejut.  "Oh gitu. Ya sudah. Aku pulang duluan deh." Tampak wajah kecewa terpancar di wajah ayu itu. Begitu melihat Vita, seketika tatapan yang sejak bicara dengan Ardan terlihat ramah, berubah sinis dan tampak emosi.  "Ya. Hati-hati kalau begitu." Ardan masih bersikap santai meskipun ia tahu gadis itu kecewa karenanya.  Laras dan kedua temannya pun pergi meninggalkan mushola dengan kekesalan yang nyata adanya. Kedua mata Vita dan Yani masih terus mengamati langkah para perempuan itu hingga mereka didekati oleh sosok Revan dan para kawannya.  "Sepertinya ada yang lagi usaha!" celetuk Ardan tiba-tiba, membuat kedua gadis di dekatnya terkejut.  Ardan ternyata masih melihat ke arah rombongan Laras ketika akhirnya didekati oleh geng-nya Revan.  Vita dan Yani pun akhirnya melanjutkan langkah mereka yang akan mengambil sendal. Keduanya memang hendak pulang ketika melihat Laras berbicara dengan Revan tadi.  "Vita, tunggu!" seru Ardan.  Langkah kaki kedua gadis itu pun terhenti. Vita yang baru akan melangkah meninggalkan mushola, terkejut ketika lelaki itu memanggil namanya.  "Iya, Mas!" sahut Vita sembari melempar pandangan ke arah Yani yang menatapnya sama bingung.  "Ucapanku tadi pada Laras benar loh. Aku memang berniat mengajakmu pulang bareng." "Hah! Apa?" Vita tentu terkejut. Ia tak menduga jika ucapan tadi benar adanya. Gadis itu berpikir kalau Ardan hanya ingin menghindari Laras saja dengan berkata seperti tadi.  "Rumah kita 'kan bersebelahan. Jadi, tidak ada salahnya bukan aku pulang bareng kamu." "Eh, tidak perlu, Mas. Aku bisa pulang bareng Yani, kok." Vita mencoba menolak. Bukan ia tak mau, tetapi saat ini ia malu terhadap lelaki di depannya kini. Hati dan pikirannya sudah tidak karuan saat Ardan tiba-tiba mengajaknya pulang bersama. Berdebar? Itu pasti. "Yani 'kan nanti berpisah dengan kamu di perempatan jalan di depan." "Eh, iya memang." "Ya sudah, biar aku pulang dengan kalian." "Tapi, Mas —!" "Sudah. Tunggu aku dulu sebentar." Vita tak lagi protes. Menunggu Ardan yang berbalik arah menuju ke dalam mushola, entah apa yang akan dilakukan. Vita kemudian memandang ke arah Yani yang kini terlihat tersenyum menggoda.  "Apa?" tanya Vita dengan perasaan malu yang tiba-tiba menjalar.  "Enggak apa-apa. Kayanya ada yang mau PDKT nih!" seru Yani kembali menggoda.  "Hush! Jangan ngaco kamu, Yan. Didengar sama orangnya enggak nanti." Bukannya diam, Yani malah terlihat tertawa hingga menampilkan barisan giginya yang putih.  "Ada apa? Kok kayanya seneng betul, Yan!" suara Ardan yang tiba-tiba hadir di tengah Vita dan Yani yang sedang saling mengejek, membuat kedua gadis itu terkejut.  "Ah, enggak ada kok, Mas!" jawab Yani gelagapan.  "Ya sudah, yuk kita pulang!" ajak Ardan pada kedua gadis di depannya.  Mushola masih tampak oleh beberapa bapak-bapak yang belum pulang. Mereka masih terlihat serius mengobrol di sudut teras. Tak ada yang aneh dari obrolan mereka, hanya ada satu atau dua orang dari mereka yang menatap ke arah Vita. Entah apa yang tengah orang itu pikirkan terhadap gadis itu, tetapi Vita sangat menyadari jika kehadiran dirinya di mushola itu cukup menjadi perhatian bagi sebagian orang.  "Vit, ayo!" seru Yani yang melihat sahabatnya malah diam dan termenung.  "Ah, eh, iya." Ardan yang melihat sikap gadis di depannya yang tiba-tiba murung, menyadari ada sesuatu yang tengah terjadi. Tapi, lelaki itu memilih diam dan tidak langsung bertanya.  Sepanjang perjalanan ketiganya, Ardan lebih mendominasi obrolan. Lelaki itu sepertinya ingin mencairkan suasana yang tampak kaku, sebab dua gadis di dekatnya itu yang sepertinya merasa kurang nyaman dengan kehadirannya.  Ardan banyak bertanya tentang pekerjaan mereka, juga suasana di kampung yang beberapa tahun lalu ia tinggalkan sebab kuliah di luar negeri.  "Apakah kalian berdua belum ingin menikah?" Pertanyaan Ardan yang membuat kedua gadis itu langsung terdiam.  "Maaf, bukan maksudku mencampuri urusan kalian. Hanya saja, melihat usia kalian yang sudah cukup untuk —!" "Kami bedua baru dua puluh tahun, Mas. Jadi, belum kepikiran tuh buat nikah sekarang-sekarang," jawab Yani yang memotong kalimat Ardan.  "Dua puluh tahun 'kan bukan usianya remaja lagi." Ardan masih bersikukuh dengan pendapatnya.  "Mas, kami berdua ini perempuan. Bukan kami yang mencari laki-laki untuk kami jadikan suami. Kalau tidak ada laki-laki yang datang ke rumah dan meminta untuk dinikahi, kami bisa apa. Iya enggak, Yan?" ujar Vita sembari meminta dukungan sahabat di sebelahnya.  "Betul kata Vita, Mas. Kita ini jomlo, selain enggak punya pacar kita mau nikah sama siapa kalau bukan menunggu pangeran berkuda putih datang meminang?" kelakar Yani yang kini bisa bersikap santai.  "Jadi, kalau ada laki-laki yang datang ke rumah kamu dan meminta untuk menikah dengannya, kamu mau?" tanya Ardan dengan pandangan mata menatap ke arah Vita.  "Kenapa enggak!" "Serius?" Lagi, Ardan memastikan.  "Y—ya, seriuslah." Vita tergagap ketika dilihatnya wajah lelaki tampan itu tersenyum padanya.  "Asal sesuai kriteria pastinya. Iya enggak, Ta?" sahut Yani yang membuyarkan senyum manis dari lelaki tampan tersebut.  "Memang apa kriteria calon suami kamu, Yan?" Ardan beralih memandang sahabat Vita.  "Aku sih enggak muluk-muluk, Mas. Yang pastinya sayang sama aku dan keluarga. Kalau laki-laki itu enggak sayang sama aku, bisa KDRT sama aku nanti." "Itu aja? Yang sayang sama kamu dan keluarga?" "Satu lagi. Mapan! Minimal laki-laki itu memiliki penghasilan yang bisa menghidupi keluarga kecil kita nanti." Vita menyambar.  "Benar kata Vita. Duh, kita kok sehati banget yah, Ta. Kriteria kami berdua sama ternyata." Yani tergelak dengan ucapannya sendiri. Ardan pun tersenyum menanggapi jawaban dari kedua gadis itu.  Tak ada lagi percakapan ketiganya hingga Yani pamit berpisah di persimpangan jalan.  "Untung rumah aku enggak jauh dari sini. Kalau enggak, aku minta antar kalian dulu pulang," cetus Yani sembari tersenyum.  "Kalau mau diantar, kita antar dulu, Yan?" sahut Ardan.  "Eh, enggak usah, Mas Ardan. Aku becanda. Lagian rumah aku 'kan memang dekat. Itu di bawah lampu jalanan. Udah keliatan dari sini." Yani menolak, seperti sengaja membuat Vita berdua saja dengan Ardan.  "Benarkah? Kamu tidak mau diantar?" tanya Ardan lagi.  "Iya, Mas. Ya sudah, aku duluan yah!" Yani melangkah meninggalkan Vita dan Ardan yang masih berdiri menatapnya.  "Yuk, Ta!" ajak Ardan pada gadis di sebelahnya.  "Eh, iya." Waktu memang belum malam, bulan purnama pun tampak begitu terang di atas langit sana.  "Mas Ardan, apa tidak apa-apa berjalan berdua seperti ini? Bukankah katanya kalau lelaki dan perempuan jalan berdua itu tidak baik yah karena ada setan di dekatnya." Vita mencoba memulai obrolan.  "Kamu tahu itu?" "Tentu saja aku tahu." "Kalau kamu sudah tahu, kenapa kamu masih juga jalan berdua dengan Revan?" "Ah, apa?" Vita kaget, bagaimana bisa Ardan tahu jika dirinya pernah jalan berdua dengan Revan? Kapan lelaki itu pernah melihatnya bersama kawannya itu? "Eh, ya ... kalau aku yang jalan berdua dengan laki-laki, orang-orang tidak akan menganggap aneh, Mas. Tapi, kalau orang itu melihat Mas Ardan? Lelaki yang terkenal saleh, udah gitu anaknya seorang ustadz dan ustadzah, pandangan mereka akan berbeda." "Tapi, perkara itu 'kan tidak hanya berlaku untukku saja, Vit. Seruan itu untuk semua manusia. Termasuk kamu." "Iya, aku tahu. Aku hanya sedang membicarakan tanggapan Mas Ardan sendiri. Apakah Mas tidak khawatir dengan pandangan orang yang mengetahui sosok Mas Ardan selama ini, tiba-tiba saja melihat jalan berdua dengan perempuan, di malam hari pula." "Ya, aku tahu pandangan orang pastinya akan berubah. Tapi, ini semua karena sebenarnya aku memang ada perlu denganmu." "Ah, apa itu?" Vita menatap bingung kini.  "Vita, bagaimana tanggapan kamu kalau ada pangeran berkuda putih yang ingin meminangmu saat ini? Apakah kamu akan menerimanya jika semua kriterianya sudah cocok seperti yang kamu sebutkan tadi?" "Hah, apa? Kenapa Mas Ardan bertanya seperti itu?" Sontak Vita berhenti melangkah. Perasaannya mulai tak enak.  "Vita, bagaimana kalau lelaki yang akan meminangmu adalah aku? Apakah kamu akan menerimanya?" Ardan menatap serius wajah gadis di depannya.  Wajah yang cantik dengan jilbab yang menutupi kepala dan rambutnya, tampak begitu menggemaskan di matanya.  Seketika Ardan berpaling ke arah lain. Samar Vita mendengar lelaki itu beristighfar.  Gemuruh di dalam d*da Vita semakin menderu. Napasnya tetiba sesak di suasana udara malam yang dingin dan terbuka.  Kalimat pertanyaan yang Ardan lontarkan, apakah itu sebuah keseriusan atau hanya candaan? batin gadis itu bicara.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD