Dinda merasakan tatapan lembut ayah Kevin. Pria bernama Alan itu sangat terkesan karena Dinda bisa bahasa isyarat. Ia merasa bahwa Dinda akan sangat cocok dengan putranya.
"Rupanya, kamu bisa bahasa isyarat, Nak Dinda," ujar Alan.
Dinda mengangguk, tersenyum. Ia menghindari tatapan tajam Daniel sekarang. "Saya dibesarkan oleh nenek saya yang tuli." Dinda kini menatap Kevin yang masih terdiam. Ia tak yakin apakah Kevin bisu atau tuli, atau barangkali keduanya.
Alan menepuk bahu Kevin sambil tersenyum. "Dinda pasti cocok sama kamu, Vin. Kamu suka?"
Kevin menarik ujung bibirnya membentuk senyum tipis. Dan di depannya, Dinda membuat kesimpulan bahwa Kevin tidak tuli.
"Nah, lebih baik kita makan malam lebih dulu," kata Mahendra setelahnya.
Dinda membuang napas panjang seraya berjalan menuju ruang makan. Ia benar-benar gugup karena ia belum pernah makan di meja makan seperti ini. Meja ini besar. Mahendra duduk di ujung lalu Esti di sebelahnya dan Dinda diminta duduk di sebelah Esti. Di seberang mereka duduk Alan, Meri, Kevin tepat di seberang Dinda lalu terakhir ada Daniel.
Dinda tak bisa berhenti mencuri tatap pada tamu mereka. Alan terlihat seperti pria yang hangat dan baik. Meri tak berbeda dengan Esti. Mereka pasti wanita yang sangat angkuh dan tak ramah. Meri terlihat sangat mirip dengan Daniel sedangkan Kevin terlihat lebih mirip dengan Alan, ayahnya.
Sesekali, ia bertemu tatap dengan Kevin. Pria itu terkesan dingin dan jelas pendiam. Bukan karena ia bisu, tetapi entah bagaimana mungkin Kevin memang tak suka bicara. Atau mungkin karena mereka baru sekali bertemu. Sedangkan Daniel, Dinda memilih untuk tak peduli dengan pria itu.
"Selamat makan, semoga kalian suka dengan hidangannya," ujar Mahendra mempersilakan semua orang untuk makan. Ia terlihat puas sekali dengan pertemuan Dinda dan Kevin. Ia yakin mereka akan tertarik karena Dinda bisa bahasa isyarat.
Dinda menelan keras, steak daging di piringnya sangat menggugah selera. Namun, ia tak tahu caranya makan. Ia melirik ke para tamu yang mulai makan. Kevin dengan elegan memotong daging lalu memasukkan potongan daging itu ke mulutnya. Semua dilakukan Kevin tanpa suara. Sungguh menawan.
"Kamu juga harus makan," ujar Esti seraya menyenggol lengan Dinda dengan sikunya.
Dinda berdehem pelan. Ia telah memperhatikan bagaimana semua orang makan. Ia yakin bahwa ia juga bisa makin steak seperti yang lain. Namun, ketika ia menusuk daging itu dengan garpu lalu mencoba memotongnya, suara decitan antara pisau dan piring justru terdengar. Ia menelan keras. Secantik apa pun ia didandani, ia sama sekali tak bisa menjelma menjadi putri bangsawan dalam beberapa jam.
Dinda mengangkat dagu dengan gugup karena semua orang baru saja berhenti makan. Ia tentu sangat malu hingga bersemu merah. Dan tiba-tiba, sebuah tangan terjulur ke arahnya. Ia menatap Kevin yang baru saja mencondongkan tubuhnya ke meja untuk bisa menjangkau piringnya.
Dinda semakin terbakar rasa malu sementara semua mata tertuju pada Kevin yang baru saja menggeser piringnya lalu mulai memotong daging di piring Dinda menjadi potongan kecil-kecil. Tak lama, Kevin kembali meletakkan piring itu di hadapan Dinda.
Dinda menatap daging yang kini tinggal ia santap itu. Potongannya pasti pas untuk ia masukkan ke mulut. Dan itu membuat Dinda merasa penasaran kenapa Kevin mau bersusah payah melakukan itu. Mungkin, Kevin tak tahan dengan sikapnya yang kampungan, pikir Dinda.
"Wah, Nak Kevin pandai juga bersikap manis," ujar Mahendra memecah keheningan.
Kevin hanya tersenyum tipis. Ia kembali mengambil garpu dan pisaunya, tetapi ia merasakan tatapan Dinda masih tertuju padanya. Gadis itu sangat mencuri perhatiannya. Ia begitu penasaran.
"Cepat makan." Kevin membuat isyarat pada Dinda. Ia memperhatikan bagaimana Dinda mengangguk kecil lalu mulai memasukkan daging itu ke mulutnya. Terlihat jelas Dinda menikmati makanan ini. Kedua matanya yang membola ketika mengunyah makan membuat Kevin ingin tersenyum lebih lebar. Namun, ia memutuskan untuk menunduk lalu kembali makan.
Dinda benar-benar menyukai makan malam elit ini. Ia mencoba mengabaikan tatapan mencemooh Daniel dan Meri. Mereka mungkin tak suka karena ia sudah memalukan di acara makan malam keluarga. Namun, sikap manis Kevin membuat ia jauh lebih tenang. Tampaknya ia akan menikah dengan pria baik.
Malam itu, disepakati bahwa Dinda dan Kevin akan menikah seminggu lagi. Dinda yakin ia baru saja melihat ekspresi Daniel yang begitu kaget. Namun, ia tak peduli. Ia justru ingin semakin ingin menikah dengan Kevin. Anggap aja ini balas dendam, pikir Dinda.
"Pertunjukan yang bagus, Din," ujar Esti ketika makan malam itu telah usai. Keluarga Kevin baru saja berpamitan dan kini mereka duduk minum teh di ruang tengah. "Kamu bisa menarik perhatian pria bisu itu. Aku yakin dia bakal suka sama kamu."
Di ruangan itu, Dinda baru melihat ada foto besar keluarga Mahendra. "Anda punya putri sendiri. Dia juga cantik dan masih muda, kenapa kalian nggak menikahkan anak itu dengan Kevin?"
Mahendra dan Esti bertukar tatap. "Irish kabur dari rumah setelah tahu dia mau dijodohkan dengan Kevin. Dan sekarang, dia sedang bulan madu. Dia diam-diam menikah dengan pacarnya."
Dinda ternganga. "Jadi, bukan aku yang seharusnya menikah?"
"Ya," jawab Esti. Ia tersenyum licik pada Dinda. "Tapi itu nggak penting lagi sekarang. Yang penting adalah kamu lebih cocok menikah dengan pria bisu itu. Setidaknya, kalian bisa berkomunikasi."
Dinda mendengar Esti tertawa mencemooh. Tentu saja, gadis secantik Irish tak akan mau dinikahkan dengan pria cacat, pikir Dinda. Ia baru mengerti, ia hanya dijadikan pengganti Irish. Mungkin, jika Irish mau menikah dengan Kevin, ia tak akan dibawa ke rumah ini. Ia menatap Mahendra penuh amarah. Ia benci sekali dengan sosok ayah biologisnya itu.
"Masuk kamar, Din. Kamu harus banyak belajar mulai sekarang agar kamu bisa bertingkah seperti putri bangsawan. Jangan sampai Kevin kecewa karena telah memperistri kamu. Dan jangan cemas, utang nenek kamu akan segera lunas. Jadi, jangan marah sama Papa."
***
Selama seminggu, Dinda tak hanya belajar untuk bersikap seperti putri keluarga kaya raya. Dinda juga harus belajar untuk memanggil Mahendra dan Esti dengan benar. Dinda mulai memanggil mereka papa dan mama. Itu sangat memuakkan, tetapi mengingat ia harus melunasi utang neneknya, Dinda mencoba untuk bertahan.
Dan kini, Dinda baru saja didandani. Gaun pengantin putih menempel di tubuh mungilnya. Dinda hampir tak bisa bernapas dan ia sangat mulas saking gugupnya. Ia akan menikah di usia yang belum genap 20 tahun. Ini tak ada dalam rencana hidupnya. Bahkan dalam seminggu, ia tak pernah berhubungan apalagi bertemu lagi dengan Kevin.
"Kamu kelihatan cantik."
Dinda menoleh ke sumber suara. Daniel bersandar di kusen pintu dengan kedua mata terpaku ke arahnya. "Ngapain kamu ke sini?"
"Aku nggak percaya kamu menutupi jati diri kamu yang sebenarnya. Seharusnya kamu bilang kalau kamu adalah anak om Mahendra," ujar Daniel seraya mendekat.
Dinda mendengkus. "Apa maksud kamu?"
"Andai aja aku tahu ... aku yang akan menikahi kamu, Din. Bukan mas Kevin," kata Daniel setengah berbisik. Ia membelai pipi Dinda hingga gadis itu meremang. "Kenapa kamu nggak jujur."
Dinda tersenyum. Ia tak akan mengatakan bahwa ia juga baru tahu siapa ia yang sebenarnya pada Daniel. Dinda ingin Daniel menyesal telah mencampakkannya. "Semua terlambat. Aku harus menikah sekarang."
Daniel terlihat kecewa. "Kamu pasti bakal kembali sama aku. Aku yakin kamu nggak bakal betah jadi istri kakak bisu aku."
"Urus aja Tamara, pacar baru kamu itu. Jangan ikut campur urusan aku!" gertak Dinda.
"Kamu milik aku, Din. Seharusnya kamu jadi milik aku. Kita masih bisa menghentikan pernikahan ini. Aku bisa mengusir kak Kevin dari altar," kata Daniel.
Dinda tertawa sekarang dan ia semakin ingin menikah dengan Kevin. Entah bagaimana, Dinda sangat senang melihat wajah Daniel yang masam.
"Jangan bicara omong kosong. Kamu udah memutuskan aku, jadi jangan bersikap seolah kamu menyesal," kata Dinda.
Pintu tiba-tiba diketuk dan Mahendra melangkah masuk. Ia terlihat terkejut karena ada Daniel di sini. Namun, Daniel langsung keluar tanpa bicara lagi. "Apa kamu punya urusan dengan anak itu?"
"Nggak. Kapan aku harus keluar?" tanya Dinda.
"Sekarang."
Dinda mengangguk. Ia mengambil buket bunga dengan berdebar. Ia meyakinkan dirinya sendiri, ini adalah pilihan terbaik. "Papa janji bakal lunasin utang nenek?"
"Ya. Kamu bisa lihat kuitansinya nanti setelah kamu menikah. Dan rumah nenek kamu juga nggak jadi disita. Kamu bisa menyimpan sertifikat rumah itu," kata Mahendra.
Semudah itu orang kaya menyelesaikan masalah. Dan itu membuat Dinda iri. Ia akan menikah dengan putra konglomerat. Ia juga tak ingin ditindas lagi karena miskin. Hal pertama yang ingin ia lakukan adalah membuat Daniel menyesal dan tampaknya ia sudah berhasil.
Dan kini, Dinda berdiri di depan pendeta. Ia dan Kevin bergantian mengucap janji suci mereka—yang sebenarnya palsu. Tentu saja, Kevin bicara dengan isyarat. Pendeta kemudian mengumumkan pada semua orang bahwa mereka telah sah menjadi suami-istri.
"Kamu tinggal denganku mulai sekarang," kata Kevin setelah prosesi pernikahan itu selesai.
"Ya. Aku tahu. Apa aku boleh memanggil kamu, Mas?" tanya Dinda
"Ya, apa aja. Kamu nggak perlu bicara dengan isyarat. Aku bisa mendengar kamu," kata Kevin.
Ada pesta usai prosesi pernikahan mereka. Dan mereka hampir tak saling bicara. Mereka hanya tersenyum lalu bersalaman dengan para tamu. Hingga akhirnya sore pun tiba. Mobil pengantin menunggu mereka. Semua orang menyoraki mereka ketika mereka masuk ke mobil pengantin. Dinda merasa malu, tetapi ia mencoba tersenyum. Sedangkan Kevin tidak. Ia bahkan tak menarik ujung bibirnya sedikit pun.
Dinda menoleh pada Daniel yang berdiri dengan wajah mengeras ketika ia telah duduk di mobil. "Kamu harus jadi milikku, Din." Wajah itu seolah berkata demikian.
Dinda meremang. Entah karena suaminya yang bersikap dingin atau karena adik iparnya yang ingin memilikinya sekarang.