Bab 10. Obat Perangsang

1533 Words
Dinda menggeleng pelan. Ia sangat malu jika Kevin tahu ia telah dicium oleh Daniel pagi tadi. Dan darimana Kevin tahu? "Kamu bohong tadi malam waktu aku tanya kenapa kamu bahas Daniel tiba-tiba. Sekarang, apa kamu nggak bohong?" tanya Kevin. Dinda menggeleng lagi. Ia berbohong! Namun, ia tak ingin menyatakan itu pada Kevin. Jantungnya seolah mau meledak sekarang dan ia tak berani menatap mata Kevin. Kevin baru saja menarik lengannya. Dinda akhirnya bertemu tatap dengan Kevin lagi. "Kamu bohong lagi, kan?" Dinda melebarkan kedua matanya. "Aku ... aku beneran udah putus sama Daniel. Dia tiba-tiba ... pagi tadi aku dipanggil ke rumah papa dan dia bawa aku ke samping rumah. Itu ... itu bukan kemauan aku." "Jadi benar kamu dan Daniel berciuman?" tanya Kevin. Amarah mengisi hati Kevin. Ia yakin Daniel benar-benar memiliki niat untuk merebut Dinda darinya. Dan itu tidak baik. "Ya." Dinda gemetar ketika menjawab. Kevin terlihat sangat marah hingga ia merasa takut. Ia mendengar Kevin membuang napas panjang. Pria itu lalu menatap ke depan dengan kedua tangan memegang setir. Dinda membuka bibirnya, ia ingin menjelaskan lebih banyak, tetapi ia tahu ia juga bersalah karena tak bisa melawan Daniel. Ia menatap Kevin memakai sabuk pengaman dan menyalakan mesin mobil. Namun, mobil itu tak lantas bergerak. "Apa kamu masih mencintai Daniel?" Kevin baru saja menoleh lagi pada Dinda dan membuat isyarat. "Nggak." Dinda menjawab cepat meskipun ia masih belum sepenuhnya melupakan Daniel. Ia tentu ingin melupakan pria itu karena Daniel telah menyakiti hatinya. Namun, rasanya masih ada sisa-sisa kenangan yang mengusik hatinya. "Dia selingkuh dan dia udah menghina aku karena aku miskin. Dia macarin aku cuma buat seneng-seneng." Kevin menatap Dinda dalam-dalam. "Kamu nggak bohong?" Dinda menggeleng. Ia akan melupakan Daniel. "Aku istri Mas. Aku nggak akan jatuh hati sama pria lain." Kevin mengangkat alis. Yah, Dinda adalah istrinya. "Kamu adalah milik aku. Jadi, hati-hati dengan Daniel. Jangan sampai kamu didekati oleh bocah itu." Dinda mengangguk. Ia menatap Kevin yang kini kembali memegang setir. Tak lama mobil itu mulai berjalan. Itu adalah perjalanan yang sangat mencekam bagi Dinda. Sebab, mereka sama sekali tak berbicara. Yah, ia tahu Kevin tak bisa berbicara, tetapi ia tahu Kevin masih marah padanya. Itu yang membuat Dinda merasa tak nyaman. Mobil Kevin berhenti di halaman rumah. Kevin menoleh ke arah gerbang pembatas antara rumahnya dengan rumah ayahnya. Ia melihat gerbang itu telah terbuka dan sang ayah tampak berjalan-jalan dengan pakaian olahraga di sekitar halaman. Kevin yakin ayahnya sudah penasaran dengan kehidupan barunya sebagai seorang suami. "Kita sapa papa sebentar," ujar Kevin sebelum ia keluar dari mobil. Dinda mengangguk. Ia juga melihat sosok Alan tengah mendekati mobil Kevin. Jadi, ia segera turun. Kevin berdiri di sebelahnya dan mereka berdua tersenyum pada Alan. "Kamu pulang bareng istri kamu. Bagus, kamu harus sering-sering begini," ujar Alan pada Kevin. Ia menepuk bahu putra sulungnya dengan lembut. Kevin masih tersenyum. Ia merangkul bahu Dinda hingga membuat gadis itu agak terkejut. Namun, ia yakin Kevin ingin menunjukkan pada ayahnya bahwa pernikahan ini baik-baik saja. Alan tersenyum. "Kalian bisa masuk dan beristirahat. Papa juga udah selesai keliling halaman rumah kita." Ia kini menatap Dinda. "Dinda, jangan lupa apa yang udah kita bicarakan tadi pagi. Papa tunggu kabar selanjutnya dari kamu." Alan membalik badan sebelum Kevin bisa mencerna semuanya. Pria itu menautkan kedua tangannya di belakang punggung lalu berjalan menyeberangi gerbang pembatas. Kevin melepaskan bahu Dinda. Seketika ia langsung memutar badan untuk menghadap Dinda. "Apa yang kamu bicarakan dengan papa?" Dinda menggeleng. Ia masih sangat gamang dengan obat perangsang yang diberikan oleh mertuanya. "Itu bukan apa-apa, Mas." "Jangan bohong lagi sama aku!" gertak Kevin. "Aku nggak bohong. Kami cuma ... yah, papa mau aku bersikap sebagai istri yang baik," kata Dinda gelagapan. Ia tak sepenuhnya berbohong, ia harus menyerahkan tubuhnya pada Kevin karena ia adalah istri dari Kevin. Kevin menelengkan kepalanya. Ia masih kesulitan untuk memercayai Dinda. "Jika kamu berani berbohong lagi, aku nggak akan maafin kamu." Dinda menelan keras. Ia tahu Kevin tak menyukainya. Jadi, tak mungkin ia membuat pria itu menidurinya. Bagaimana jika Kevin justru merasa marah karena dicurangi? Bagaimana jika ia dianggap w************n yang menggoda pria untuk mendapatkan kekayaan? Namun, Alan memintanya dengan sungguh-sungguh. Bahkan memberinya uang. Pria itu juga sekarat dan ingin Kevin mendapatkan posisi terbaik di perusahaan. Jika ia bisa hamil dan memiliki bayi dengan Kevin, maka seharusnya Kevin akan senang. Mungkin, Daniel juga tak akan mengincarnya lagi. "Aku harus cari cara gimana biar mas Kevin bisa minum obat itu," batin Dinda perasaan tak keruan. "Atau mungkin ... aku harus nunggu sampai besok. Mungkin ... mas Kevin mau menyentuh aku malam ini." *** Dua malam berlalu. Kevin masih sama seperti sebelumnya. Ia bersikap waswas dengan Dinda dan mereka tak melakukan apa pun di atas ranjang kecuali tidur. Dan malam itu, Dinda sudah sangat tertekan. Alan memberinya satu kotak berisi perhiasan mahal untuknya. Dan ia diminta untuk tidak menunda lagi. Ia harus segera tidur dengan Kevin. "Aku coba aja satu," gumam Dinda ketika ia masuk ke dapur. Ia membuat teh. Ia melirik Kevin yang telah duduk di meja makan. Ia menelan keras, berharap Kevin tidak meliriknya. Dengan hati-hati, Dinda mengeluarkan plastik klip kecil dari kantong celananya. Ia mengeluarkan satu butir pil putih lalu mencemplungkannya ke dalam cangkir teh. Ini untuk Kevin, pikir Dinda. Jantung Dinda bertalu-talu ketika ia mengaduk minuman itu. Malam ini, ia mungkin akan bercinta dengan Kevin. Ia sudah mendengar dari teman-temannya yang telah menikah bahwa bercinta itu menyenangkan, tetapi tentu saja ia malu. Ia hanya pernah berciuman dengan Daniel. "Aku bikin teh," kata Dinda seraya duduk. Ia agak gemetar saat meletakkan cangkir Kevin. Hal itu membuat Kevin langsung mengangkat dagunya. "Ada apa? Kamu sakit?" Dinda menggeleng. "Aku laper." "Kamu pucat," kata Kevin. Tentu saja, Dinda sangat ingin pingsan malam ini. "Aku baik-baik aja, Mas. Ayo kita makan." Kevin mengangguk. Malam ini menu mereka adalah spaghetti. Dinda membuang napas panjang. Ia selalu kesulitan dengan menu-menu makanan mewah di rumah ini. Karena sebelumnya ia hanya makan dengan piring atau mangkuk dan sendok. Sekarang, ia dihadapkan pada beberapa alat makan yang berbeda dari yang biasa ia pakai. Kevin menyadari hal itu. Ia selalu tahu Dinda tak terbiasa dengan menu yang disajikan pelayan. Namun, ia juga tahu Dinda harus terbiasa. Mungkin, di masa depan akan ada jamuan makan dan mau tak mau Dinda juga harus bisa. Kevin menarik ujung lengan baju Dinda. "Lihat caraku makan dan ikuti." Dinda mengangguk. Ia menatap bagaimana Kevin memutar garpu di tepi piring lalu ia mulai makan. "Kalau kamu kesusahan, coba dengan sendok. Begini." Dinda terus menyimak bagaimana Kevin dengan sabar mengajarinya. Ia tersenyum tipis lalu ikut mencoba. Ia baru semakin senang ketika ia bisa makan dengan benar meskipun terkadang, ia juga agak berantakan. "Bagus, kamu cepat belajar," kata Kevin. "Aku malu, aku nggak pernah tahu gimana cara makan yang benar," kata Dinda dengan isyarat. "Aku bakal ajari kamu sampai mahir," ujar Kevin. Dinda tersenyum. Sebenarnya, Kevin baik. Hanya saja tak ada hal manis di antara mereka berdua. Saat berada kamar, semuanya akan menjadi canggung. Kevin fokus dengan pekerjaannya sementara ia belajar. Dinda kini melirik Kevin yang sedang mengambil tehnya. Ia berdebar lebih keras. Mendadak ia berubah pikiran. Ia tak ingin Kevin melakukan itu di bawah pengaruh obat. "Jangan diminum!" teriak Dinda. Kevin melayangkan tatapan penuh tanya pada Dinda. Ia menatap isi cangkirnya lalu mengangkat alis. "Jangan, yang ini aja." Dinda menggeser cangkir miliknya. Kevin masih menatap di Dinda. Ia penasaran apa yang membuat Dinda menukar minuman mereka. "Plis. Itu buat aku aja," kata Dinda. "Tadi ... tadi kayaknya yang itu lupa nggak aku kasih gula." Kevin memutar bola mata. Ia meletakkan cangkir itu di meja. "Apa kamu kasih racun di sini?" "Racun? Mana mungkin!" Dinda tertawa. Ia mengambil cangkir itu dengan cepat. "Mas minum teh yang ini aja. Belum aku minum sama sekali. Oke?" Kevin mengangguk ragu. Ia menatap Dinda yang baru saja menjauhkan cangkir awalnya. "Kamu harus minum itu kalau emang itu nggak ada racunnya." Dinda tertawa getir. Ia juga tak mau minum itu. "Kamu bohong sama aku lagi?" tanya Kevin dengan ekspresi mencela. "Aku nggak bohong!" seru Dinda. Ya, ia berbohong dan kini ia sudah mahir melakukan kebohongan. Sungguh memalukan. "Kalau gitu, buktikan. Minum semuanya," pinta Kevin. Dinda melotot. Ia ingin menggeleng, tetapi Kevin menatapnya dengan sangat menuntut. "Minum itu atau aku nggak akan percaya sama kamu," pinta Kevin lagi. Dinda meremang. Ia mengambil cangkir yang ada di depan Kevin. Yang ini aman, tanpa obat. Ia meneguk isinya hingga habis. Kevin lalu mengedikkan dagunya ke cangkir berisi obat perangsang. "Kamu juga minum itu. Itu yang kamu tukar tadi." Dinda meraih cangkir itu. Ia memikirkan alasan agar ia tak perlu meneguk ini. Namun, apa? Ia tak bisa berpikir jernih karena kedua mata Kevin terus menatap ke arahnya. Dinda menyesap teh itu sedikit. Jantungnya mau meledak, ia meneguk hingga setengah cangkir. Mungkin, tak apa-apa minum sedikit, pikir Dinda. "Aku udah kenyang banget, Mas. Aku mau ke kamar," kata Dinda seraya berdiri. "Oke." Kevin menatap Dinda yang terlihat biasa saja. Mungkin benar Dinda hanya lupa menaruh gula di cangkirnya. Ia yang keterlaluan karena terlalu curiga dan memaksa Dinda minum dua cangkir teh. Namun, ketika Kevin menyusul Dinda ke kamar, ia dikagetkan dengan gadis itu. Gadis itu menggeliat liar di atas ranjang dan berusaha membuka bajunya sendiri. "Oh ... Mas ... tolong, aku kepanasan," rintih Dinda tak keruan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD