02:TEAM

1801 Words
Join me, and together we can rule the galaxy as father and son. – George Lucas *** Kemarin. “Kenapa, Ga?” tanya Irgi dari balik meja kerjanya. Bekal makan malamnya baru saja tandas, masih ada sekitar dua puluh menit lagi sebelum ia harus kembali ke ruang praktek. Dirga masuk ke ruangan sang abang, merebahkan diri di sofa dengan kedua kaki yang menggantung. “Disuruh duluan lagi sama El?” Irgi bertanya kembali. “Iya, Bang,” jawab Dirga singkat. “Ajak ngomonglah. Pasti banyak kan yang kepingin lo tanya? Bukan cuma masalah misah pas nyekar.” Dirga menatap langit-langit kantor seorang dokter spesialis bedah saraf tersebut. Suara jarum jam di dinding menjadi satu-satunya suara yang terdengar. “Bang?” “Hmm?” “Lo ingat ngga kalau El pernah nuduh gue ngga percaya sama dia?” tanya Dirga. “Yang waktu dia dikerjain teman-temannya di London kan?” “Iya, yang itu, Bang. Biarpun akhirnya El paham kalau gue justru mengambil sikap saat itu karena percaya dia, kejadian itu kayak jadi warning keras buat gue.” Dirga mengangkat tubuhnya, kini duduk dengan kedua siku tertumpu di atas paha dan jemari yang mengusap wajahnya kasar. "Does he know that I never considered him my stepson? He is my son, and he will always be my son." “Bilang dong, Ga. Siapa tau di waktu-waktu tertentu, El lupa soal itu.” “Maksud Abang?” “Menurut lo, kenapa dia maunya nyekar sendiri?” “Karena ngga nyaman sama gue, apa lagi coba?” “Bisa aja karena dia takut lo yang ngga nyaman. Dia takut lo sedih kalau dia nunjukin Devan punya tempat tersendiri di hati dia.” “Kan ada mamanya, Anne, Cantika. Gue ngga apa-apa, Bang.” “Beda, Ga. El itu tau, lo sayang banget sama dia, bangga luar biasa. Sampai El pernah nanya ke gue, ‘kok kalau ketemu rekan bisnisnya Papa, mereka tau El ya Papa Gi?’ Ya gue bilang, orangtua tuh begitu, bangga sama anaknya, makanya ke mana-mana diceritain. Salah satu hal yang paling takut El lakuin ya ngecewain lo, Ga.” “Justru gue khawatir dia sedih sendiri,” lirih Dirga. “El itu luarnya doang supel, Ga. Padahal aslinya tertutup banget. April juga bilang gitu.” “Karena dia ngerasa, biar gimana pun, dia bukan anak kandung gue?” “Ya sama aja kayak lo. Lo juga kan kalau bicara ke El, Anne, dan Cantika hati-hati banget. Karena lo khawatir mereka nerimanya beda. Lo ngeri mereka ngira lo ngga sayang sama mereka. Lo ngga kayak ke Arna dan Arya yang asal nyeplos juga jadi.” Dirga menghempaskan napasnya. Ia mengangkat titik pandangnya, menoleh ke Irgi. “Terus, besok bawa dua mobil aja apa ya? Habis nyekar, yang lain pulang, gue nungguin El di makam?” “Menurut lo gimana? Bener ngga kayak gitu?” “Ngga, Bang.” “Ajak ngobrol, Ga. Cari waktu. Lo yang paling kenal anak lo sendiri. Bukan untuk ngorek kenapa-kenapa. Tapi untuk ngingetin El, kalau dia punya lo, dan dia akan selalu jadi putra lo seperti yang lo bilang tadi. *** Saat ini. Andien mendengus keras. Sudah dua kali ia memanggil suaminya yang melamun di balik jendela besar ruang VIP sebuah restoran yang mereka kunjungi. Keempat anaknya ikut merespon. Ada yang menggelengkan kepala, ada yang turut menghempaskan napas, ada yang hanya memperhatikan sang ayah. “Kak Dirga!” panggil Andien lagi. Syukurlah, Dirga menoleh. “Kenapa, baby?” “Makan dulu, Kak.” “Iya.” “Sudah dingin lho. Tau gitu yang punya kamu nanti aja dihidangin, bareng sama El.” “Ngga apa-apa.” Tak mengindahkan jawaban Dirga, Andien menekan sebuah tombol di ruangan itu untuk memanggil seorang pelayan. “Abang sudah di mana, Uni?” tanya Andien ke putri kedua mereka, Anne. “Kata Kak Sofi paling lima belas menit lagi, Ma.” Terdengar suara pintu diketuk, lalu perempuan dengan apron khusus restoran tersebut menyusul masuk. “Mbak, ini belum dimakan suami saya, bisa dihangatkan lagi? Sama sekalian pesanan yang tadi disiapkan ya,” pinta Andien. “Biar diganti saja, Bu,” tanggap sang pelayan. “Eh, ngga usah.” “Tidak apa-apa, Bu. Permisi.” “Oke. Terima kasih.” “Bedalah, Ma. Ngga mungkin Papa dikasih anget-angetan,” ujar Arna, putra keempat mereka, begitu pintu ruangan itu tertutup kembali. “Takut kali restorannya di-review jelek sama Papa.” “Overthinking amat yang punya,” ujar Cantika – putri ketiga. “Cewek kali yang punya, Teh,” sambar Arya, si bungsu. “Kayak yang barusan comment.” “Ish! Awas lo!” “Lagi makan, jangan berantem.” Anne menengahi, sayangnya nada suaranya terlampau lembut hingga keributan kecil itu tetap saja bersambung. Andien berdiri dari tempatnya duduk, beringsut ke samping sang suami, menengahi keributan antar siblings adalah hal percuma bukan? Buang-buang tenaga. “Hujan, baby,” ujar Dirga. “Iya. Kak Dirga ngga boleh hujan-hujanan!” sahut Andien, ketus. Dirga malah terkekeh. “Kak Dirga ngga lapar?” tanya Andien kemudian. “Kan tadi sudah makan appetizer. Tunggu El aja.” “Nunggunya sambil duduk kan bisa.” “Kamu duduk aja, baby.” “El sudah besar, Kak. Sudah 25 tahun.” “Kapan besarnya?” Tangan Andien terulur, mencubit gemas lengan Dirga seraya tekekeh, sementara sang suami menatapnya teduh dengan senyuman manis. “Ayo duduk, Kak? Mau mulai karaokean apa?” “Tunggu El dulu.” Andien mendengus, menyerah. Memang begitulah suaminya, susah duduk kalau ada anaknya yang belum datang atau belum pulang. Meski si Anak sudah bilang akan terlambat, tiba pukul sekian, tetap saja Dirga menunggu. Baru saja Andien akan berbalik dan kembali ke meja makan, satu unit sedan yang ia kenali tampak memasuki area pelataran parkir yang berseberangan dengan tempat mereka berdiri. Menyusul di belakangnya, satu unit SUV. “Alhamdulillah. Sampai juga,” lirih Dirga. Berselang menit, mereka yang menumpangi kendaraan-kendaraan itu masuk satu per satu ke ruangan tersebut. Sementara dua orang pelayan menyusul masuk untuk menghidangkan pesanan yang tersisa. “Tuh kan, Papa belum makan,” ujar El seraya meraih tangan sang ayah untuk ia kecup takzim. “Biar Abang ada teman makan.” “Banyak kali temannya Abang makan, Papa,” sambar Arna. “Arna sudah selesai nih. Karaoke boleh ngga?” “Main foosball dulu, Abang baru sampai, mau makan dengan tenang,” jawab Dirga. “Bang Sungai kenapa sendirian?” tanya Dirga kemudian ke River. “Belum nemu yang secakep Mai Sakurajima, Pa. Kalau naksir Anne sama Cantika nanti digaplok Eldra,” jawab River, asal. “Ngeri ya?” “Wah ngeri Eldra mah Pa kalau marah.” “Maklumin aja, anaknya Pak Elang Dirga,” seloroh Andien. “Cocok, Ma!” tukas River. “Habis ini nyate lagi kita Zan?” Dirga beralih ke Farzan. “Obat tensi bawa, Pa? Sudah daging nih, lanjut nyate amankah, Pa?” tanggap Farzan. “Ngga sih. Ngga sehatlah kebanyakan makan daging merah. Reschedule, kita berdua aja.” “Gosipin El, Pa?” “Jangan kencang-kencang, nanti kedengaran orangnya.” “Papa mah emang pengen gue dengar, Zan,” tanggap Eldra yang disahuti kekehan Dirga. “Reina, sehat?” Dirga kembali beralih ke istrinya Farzan. “Sehat, Pa. Papa Ga sehat?” “Alhamdulillah. Suami baik?” “Baik, Pa. Usilnya aja suka bikin kesal.” “Kapan aku usil?” sanggah Farzan. “Tau ngga penyakit laki, Zan?” tanya Andien. “Apa, Ma?” “Suka usil dan nyebelin tapi ngga pernah sadar.” “Aku ngga gitu,” sanggah Dirga. “Ngga dikit, Pa. Banyaaak!” sambar Cantika. “Ish, Teteh mah!” “Papa Ga?” tegur Sofi. “Kenapa, menantu?” “Papi ngga bisa gabung. Habis pijt katanya, ngantuk.” “Belagu banget tuh orang! Bilang, besok-besok ngga Papa undang,” omel Dirga. “Sudah, Pa,” kekeh Sofi. Tak lagi heran dengan gaya ‘love hate bromance’ di persahabatan ayahnya dengan Dirga dan Borne. “Kata Papi, nanti Papi aja yang ngundang.” Makan sore itu berlangsung hangat. Tak hanya sajiannya yang sempurna, perbincangan di tengah-tengah mereka pun sama. Dirga memusatkan perhatiannya ke El, Anne, dan Cantika, tiga kesayangannya yang hari ini – mau tak mau – teringat kembali momen berpulangnya ayah kandung mereka. Selepas makan, suasana perlahan beralih. Mereka mulai menggilir mikrofon, menyanyikan lagu pilihan masing-masing. Tawa dan sorak sorai memenuhi ruangan, ditemani suara musik yang bergema pelan. Seorang pelayan kembali datang, membawa aneka snack ke meja mereka, menambah hangatnya suasana sore itu. Dirga hanya mengamati. Ia tak beranjak dari kursinya, tetap duduk tenang di samping kanan Eldra. Posisi yang selalu sama di setiap kumpul-kumpul keluarga kecilnya. Bagi Dirga, posisi itu lebih dari sekadar kebiasaan — itu adalah tempat yang menyimbolkan ikatan kuat antara dirinya dan putra sulungnya, bahwa ia akan selalu mempercayai dan mengandalkan Eldra. Melihat suasana yang kian santai dan hangat, serta mood Eldra yang tampaknya membaik, Dirga merasa ini saat yang tepat. Ia memberanikan diri membuka omongan. "Tadi ngapain aja, Bang?" tanyanya, suaranya terdengar tenang. Eldra menoleh, tersenyum tipis. "Tadi Sofi cuma konsul tesis, Pa. Terus River dan Farzan bilang mau ikut nyekar. Jadi, kita nunggu dulu tuh di kafe. Mereka berangkat, Abang dan Sofi juga. Habis ziarah, langsung ke sini. Sofi yang nyetir, Abang ngemil pisang goreng sama ketan.” “Papa juga beli tuh tadi. Kebagian sepotong doang, kirain Arna dan Arya ngga mau, taunya mereka yang ngabisin.” “Masih masa pertumbuhan, Pa.” Dirga terkekeh seraya mengangguk pelan. Ia memperhatikan Eldra dengan sorot mata yang dalam, seolah berusaha menangkap lebih dari sekadar kata-kata. "Abang," panggil Dirga pelan. Eldra menoleh lagi, kali ini tanpa tersenyum, mendapati keseriusan di nada suara sang ayah. Dirga menarik napas perlahan. "Abang tau kan, apa pun yang Abang rasain, Abang bisa cerita ke Papa. Apa pun. Nggak perlu takut, nggak perlu ragu. Papa ngga akan punya prasangka buruk ke Abang. Papa selalu percaya sama Abang. Meski dunia ini berbalik dari Abang, Papa ngga, Papa tetap team-nya Abang. Mungkin Papa banyak kekurangan dan belum tentu mampu jadi ayah yang ideal buat kalian. Tapi, seperti yang pernah Papa janjikan ke Abang 16 tahun yang lalu, itu masih berlaku, Papa akan selalu jadi sahabat terbaik Abang, buat anak-anak Papa." Eldra terdiam. Netranya mulai berkaca-kaca. Kata-kata itu terasa begitu hangat, begitu tulus, menembus lapisan ego dan pertahanan yang selama ini ia bangun. Tanpa banyak kata, Eldra menggeser kursinya, bergerak mendekat, memeluk Dirga erat. Hangat. Tak ada kata-kata lagi yang terlontar, hanya rengkuhan yang berbicara lebih dari seribu kalimat. Dirga membalas pelukan itu tak kalah erat, seolah ingin meyakinkan Eldra bahwa ia tak akan pernah pergi, tak akan pernah mengabaikan. Di sekeliling mereka, tawa dan canda masih berlanjut. Namun, di sudut itu, antara seorang ayah dan putranya, tercipta ruang yang penuh dengan pemahaman dan penerimaan. Sebuah janji tak terucap yang kembali ditegaskan malam itu. Dirga menepuk-nepuk punggung Eldra pelan. "Papa di sini, Bang. Selalu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD