Andara mengenyampingkan semua urusannya. Ia tahu, hatinya juga terpanggil untuk memenuhi permintaan Bara yang sederhana.
Laki-laki baik, tidak boleh dikecewakan. Lagipula, yang Bara minta hanya waktu.
Gadis yang bekerja di club malam itu mencoba untuk merayu seniornya, agar dapat menukar waktu.
Andara pun berjanji, kalau jam istirahatnya selama dua bulan ini, akan ia penuhi dengan jam kerja seniornya tersebut. Sehingga senior itu bisa cuti dibanyak waktu.
"Please, Mbak Erna. Semalam untuk 20 malam. Bagaimana?"
"Jadi, waktu istirahat milikmu selama 20 malam, kamu tukar hanya dengan satu malam ini saja?" tanyanya sekali lagi karena ragu.
"Iya, Mbak. Saya hanya butuh malam ini, saya sangat butuh. Tolonglah ... ."
"Hemh, baiklah. Sebenarnya malam ini saya sudah janjian untuk jalan bersama mas Bimo. Tapi karena kamu memohon dan selama ini kamu juga selalu baik, saya rasa tidak ada salahnya untuk membantu."
"Makasih banyak, Mbak."
"Ya sudah, kalau gitu saya siap-siap dulu untuk berangkat bekerja. Saya tidak mau terlambat, kita ini kan hanya pelayanan saja. Jadi, tidak boleh mencari masalah!"
"Iya, Mbak. Sekali lagi, makasih ya."
"Ya sudah, iya."
"Permisi, Mbak." Andara kembali ke rumah sambil tersenyum dengan hati yang lega.
Pukul 19.00 WIB, Bara sudah datang dengan gaya yang stylish. Ia tampak sangat tampan seperti biasanya.
Bara juga membawakan makan malam yang dibeli dari restoran siap saji, sebelum tiba di rumah Andara.
Dengan perasaan berdebar, Bara mulai mengetuk pintu rumah yang tampak sudah usang dengan catnya yang mulai terkelupas. Beberapa kali ia memanggil nama Andara, agar pintunya lekas dibuka.
Nenek yang mendengar suara ketukan dan panggilan Bara, langsung membuka pintu dan menyambut satu-satunya teman sang cucu yang beliau kenal.
Senyum hangat, nenek lemparkan lembut ke arah Bara. Saat itu, Bara pun langsung memberikan buah tangan kepada nenek.
"Mau menjemput Andara?"
"Iya, Nek. Andaranya ada?"
"Ada, sedang bersiap-siap. Masuk dulu! Tunggu di dalam saja!"
"Iya, Nek. Makasih." Bara duduk sambil menggosok kedua tangannya. Entah mengapa ia merasa tidak lagi sabar hanya untuk melihat Andara.
Sejak kejadian di dalam kelas tadi siang, Bara merasa sangat membutuhkan Andara dan begitu sulit berpisah. Namun ia tidak punya pilihan. Sebab, Amerika adalah tujuan utamanya dalam menuntut ilmu.
"Bara," sapa Andara yang sudah siap.
Saat ini, Andara mengenakan celana jeans berwarna biru dongker dan sweater coklat yang menempel erat di tubuhnya.
Pakaian Andara malam ini, mampu memperlihatkan lekuk tubuhnya yang selama ini tersembunyi dengan baik, di dalam seragam sekolah longgar yang selalu ia kenakan.
Bara terbelalak dengan bibir yang sedikit terbuka. Dia tidak pernah menyangka bahwa Andara memiliki keindahan yang sempurna sebagai seorang perempuan.
'Bagaimana ia selalu mampu menyembunyikan segalanya dari semua mata?'
Tanya Bara di dalam hatinya sambil terus menatap Andara yang tersenyum sembari menyelipkan rambut di belakang telinga dengan wajah yang tertunduk.
Malam ini Andara sedikit menghias wajahnya. Ia memakai bedak dan riasan yang flawless. Wajahnya yang putih bersih terlihat lebih segar daripada biasanya.
Ditambah lagi dengan polesan lipgloss berwarna merah muda di bibir, yang menambahkan jumlah cahaya pada wajahnya (glowing).
Satu-satunya yang Bara pikirkan untuk sementara waktu ini adalah ketika malam tampak kekurangan cahaya, Andara mampu menghadirkannya.
Memang cahaya itu tidak terlalu besar dengan sinar yang kuat. Namun bagi Bara, semua itu lebih dari cukup.
"Kamu sudah siap?"
"Ya."
"Nenek, kita jalan sebentar ya? Besok, sekitar pukul jam 10.00 WIB, saya akan berangkat ke Amerika bersama mama. Jadi malam ini, Bara ingin jalan bersama Andara dan mungkin pulang agak terlambat. Nenek jangan khawatir ya! Bara harap Nenek tidak keberatan."
Sebagai seorang laki-laki muda. Menurut nenek, Bara termasuk orang yang memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi karena ia bersedia meminta izin langsung kepada orang yang lebih tua dan selalu menjaga Andara sejak masih kecil.
Sikap Bara tersebut membuat nenek tidak bisa melarang mereka untuk menikmati udara malam dalam waktu yang mungkin saja relatif lebih lama.
"Baiklah, tapi ingat pesan Nenek ya! Jangan berbuat macam-macam di luar norma, serta adat dan agama yang berlaku di dalam masyarakat. Nenek percaya padamu, Bara," ucap nenek sambil menatap Bara dengan senyum.
Perkataan beliau tersebut mampu menjaga Bara dan Andara dari sikap buruk yang bisa saja terjadi di antara keduanya.
"Iya, Nek. Bara akan menjaga Andara dengan sangat baik dan berjanji tidak akan melakukan hal yang tidak terpuji, bersama cucu kesayangan Nenek ini."
"Kamu memang laki-laki yang baik, Bara."
"Terima kasih, Nek."
Setelah percakapan dalam kesepakatan berlangsung dan dibayar menggunakan senyum yang hangat, Bara pun langsung membawa Andara untuk menikmati malam, di tempat yang yang menurutnya istimewa dan nyaman.
Sepanjang perjalanan, tidak ada sepatah kata pun kalimat yang Bara ucapkan, begitu juga dengan Andara.
Sepertinya kedua perasaan anak manusia itu sama-sama terguncang, akibat perpisahan yang akan segera terjadi.
Bara pun tidak tahu harus melakukan apa karena ia tidak mungkin mengurungkan niat dan menepis cita-citanya.
"Andara, kita akan menikmati pemandangan dari ujung bukit itu."
Bara menunjuk ke arah tempat di mana mereka dapat menikmati cahaya malam dari lampu kota yang penuh dengan warna.
"Kenapa tidak ke taman atau ke tempat lainnya saja?"
"Saya tidak ingin ke tempat yang biasa karena bagi saya, kamu juga tidak biasa," sahutnya dalam senyum.
Andara menatap Bara untuk memahami kalimat terakhir tersebut, tapi ia tidak berani untuk menyimpulkannya karena takut salah dan merasa malu sendiri.
Setibanya di tempat yang sudah Bara targetkan, mobil diparkirkan dengan aman dan ia pun langsung mengeluarkan sekotak donat bermerek dan minuman bernuansa kopi coklat yang menyegarkan.
"Kamu membawa sangu yang sangat lengkap, Bara," ujar Andara sedikit menggoda laki-laki yang tampak berat pikirannya tersebut.
"Saya takut kelaparan. Ha ha ha ha ha," sahut Bara sambil tertawa.
"Dasar cowok aneh."
"Bodo'."
"Andara, kemarilah! Coba lihat pemandangan dari sini!"
Andara mendekati Bara sambil menatap ke bawah. Di sana, ia dapat melihat cahaya yang mampu menerangi malam.
"Pemandangan yang indah, saya baru pertama kali melihatnya dari sini."
"Kamu suka?"
"Iya."
"Kalau begitu, saya akan membeli tanah yang cukup di sekitar sini."
"Untuk apa?"
"Membangun rumah." Andara terdiam, tapi jantungnya menari dengan alunan melodi cinta yang membuatnya salah tingkah.
"Saya mungkin tidak mampu, Bara. Saya rasa, seumur hidup, saya akan tetap tinggal di rumah tua itu."
"Jangan meragukan masa depan, Andara!"
Andara tersenyum karena ia merasa memang semua itu tidak sulit bagi Bara, anak orang kaya raya.
"Eeemh. Jika semua itu tercapai, maukah kamu membantu saya untuk menjaga dan merawatnya, Andara?"
Ternyata Bara ingin saya menjadi pembantu di rumahnya. Ucap Andara sambil menarik napas panjang dan menunduk.
"Saya juga ingin kamu mengisinya dengan senyuman dan sentuhan hangat."
Andara terkejut dan ia menoleh ke kanan untuk menatap Bara. Pada saat yang bersamaan, Bara juga melakukan hal yang sama, yaitu menatap Andara.
Wajah mereka sangat dekat, tapi Bara masih berusaha untuk menahan dirinya sekuat tenaga. Ia tidak ingin Andara merasa, bahwa dia hanya ingin bersenang-senang malam ini.
Mata Bara dan Andara bertemu, hal itu menyebabkan keduanya semakin sulit untuk bernapas lega. Namun di balik semua rasa yang menyiksa itu, keduanya tetap tersenyum.
Andara yang malu, langsung menundukkan wajahnya dan kembali melihat ke arah depan. Tiupan napas Andara terasa hangat di wajah Bara dan itu membuat Bara mengambil keputusan untuk melingkarkan tangan pada perut Andara yang kecil.
Darah keduanya naik turun, tidak terkendali. Detak jantung mereka berpacu kencang. Mereka seperti berada pada tempat tertinggi dan bersiap untuk melompat.
Demi menenangkan perasaannya, Bara menyandarkan dagu pada pundak Andara.
"Hah," suara Andara samar-samar terdengar dengan getaran yang ringan.
"Andara, saya ingin jujur."
"Heeem."
"Saya menyukai kamu lebih dari rasa simpatik."
Andara menghela napas panjang dengan tubuhnya yang terasa tegang. Lalu Andara menyandarkan kepalanya pada wajah kanan Bara.
"Saya juga merasakan hal yang sama, Bara."
Sesaat setelah mendengar ucapan dari bibir Andara, Bara merasa seluruh tubuhnya menegang. Bahkan bulu-bulu yang tadinya halus, bisa berdiri seperti jarum.
Bara terus bertahan di dalam keinginannya untuk menyentuh Andara lebih. Walaupun sangat ingin, namun sekali lagi, ia tidak mau Andara salah paham.
'Inikah namanya cinta? Tapi kenapa harus datang, dalam keadaan terjepit seperti ini?' Tanya Bara pada malam yang dingin.
Bersambung.