Gadis Kesayangan

1351 Words
Masih dalam suasana malam diwaktu yang sama. Seorang gadis jelita tampak lelah dan memilih untuk langsung melempar tubuhnya dalam posisi terlentang di atas tempat tidur tua, warisan neneknya yang telah tiada. Sejak kepergian sang nenek, Andara hanya hidup sebatang kara. Kerap kali ia merasa putus asa dan ingin mati saja. Namun, cita-cita dan kerinduannya terhadap seseorang, membuat Andara bertahan di dalam kepahitan hidup. Satu-satunya cara Andara untuk melewati waktu dalam senyum, hanyalah dengan membayangkan laki-laki yang sudah berhasil menjadi pengusir sepi di dalam hidupnya. Bara Basil, sentuhannya selalu mampu menyelimuti Andara dari dinginnya malam dan teriknya siang. Sambil merebahkan tubuhnya, Andara mengingat ketika mereka masih berseragam putih abu-Abu. Suara teriakan para siswi SMA terdengar seru sejak dari luar pagar besar sekolah hingga kebagian dalam kelas. Mereka meneriaki seseorang seolah memujanya. Bara Basil, dia adalah laki-laki yang dipandang sempurna di sekolah unggulan di kota besar tersebut. Laki-laki yang satu ini sangat mencolok dan benar-benar mencuri perhatian. Semua itu karena ia adalah pemuda yang sangat tampan, kaya raya, pintar dan begitu perduli dengan semua orang yang berada di sekitarnya. Pandangannya sangat tegas, alis matanya tebal, bulu tangan dan kakinya tampak jelas sehingga banyak gadis yang berasumsi bahwa ia adalah calon suami yang hangat. Ditambah lagi dengan hidungnya yang mancung dan bibirnya yang merah. Walaupun sesekali ia mengisap batangan rokok murahan hanya demi bisa bergaul dengan teman-temannya. Itulah yang Andara ingat tentang sosok Bara. Sambil memejamkan mata, ia terus mengikat bayang dengan kekasihnya tersebut. Saat banyak siswi berteriak atas namanya dan berusaha untuk mendapatkan perhatian darinya. Namun, ada seorang gadis yang begitu misterius dan selalu menjaga jarak dengan orang lain di sekolah yang sama dengan Bara. Gadis manis berjalan rapi dengan wajah tertunduk. Itulah gaya Andara sejak dulu, seakan 'tak pernah mampu menatap dunia, namun ia terus menjalani hidupnya yang aneh. Aneh? Iya. Gadis itu merasa hidupnya begitu aneh dan tidak sempurna. Hal itulah yang membuatnya selalu duduk di pojokan kelas, tanpa senyum sepanjang waktu. Namun siapa yang menyangka, bahwa gadis aneh seperti dirinya, malah mampu menjadi pusat perhatian seorang Bara. Dua minggu yang lalu, mereka pernah bertemu di perpustakaan sekolah dan saat itu, tanpa sengaja Bara menabrak tubuh mungilnya. Itulah awal dari rasa simpatik antara Bara terhadap Andara. "Maaf, nggak sengaja." "Nggak papa. Ternyata kamu memiliki suara yang sangat lembut." Bara terus menatap gadis yang selalu menyembunyikan wajah dan senyum, di balik rambut pendeknya yang bergelombang. Gadis tersebut mengangkat wajah dan menatap lawan bicaranya saat itu. Ketika mata mereka bertemu, ada gerakan kecil pada manik mata keduanya yang seolah saling menyambut. Bagi Bara, mata itu adalah mata terindah yang pernah ia lihat. Lensa matanya coklat berkilauan dan bagian putihnya tampak begitu bersih. "Terima kasih," sahut gadis tersebut sambil tersenyum dan memperlihatkan gigi kelincinya yang begitu manis. "Apa?" Bara tampak begitu terkejut, tat kala melihat pemandangan tersebut. Ia tidak pernah menyangka, gadis yang selalu menyembunyikan wajahnya itu, ternyata sangat indah. "Maaf," sahutnya kaget karena Bara juga tampak bingung dengan apa yang baru saja ia lihat. "Eeemh, setelah ini kita kan pulang. Mau saya antar?" "Tidak, terima kasih." Gadis tersebut kembali menunduk dan menyembunyikan kecantikannya. "Kenapa? Apa saya sangat menyeramkan?" "Ti-tidak, bukan begitu. Saya hanya ingin pergi ke tempat lainnya sebelum pulang ke rumah. "Baiklah. Dengan senang hati, saya akan mengantarkan kamu. Bagaimana?" "Tapi ... ." "Pleaseee! Saya ini laki-laki baik-baik." Bara berbicara setengah berbisik sambil melipat tangan di depan daada dan menatap gadis tersebut dengan lembut. "Eeemh, apa itu sebuah tempat rahasia? Seperti rumah boneka khas milik anak gadis yang sering saya di lihat di dalam film kesayangan adik saya?" tanya Bara sambil menyembunyikan kedua tangan di belakang pinggang dan terus berbisik. Gadis itu memundurkan tubuhnya dan semakin menunduk. Paham akan gerak tubuh sang gadis, Bara langsung menarik wajahnya dan tersenyum. "Kamu diam? Itu artinya setuju." "Tidak! Saya tidak ingin mencari masalah dengan yang lainnya," jawabnya berbicara sangat cepat dengan nada suara yang terdengar tegang dengan mata yang terbuka lebih lebar. "Siapa?" Bara memiringkan wajah hanya untuk mengintip sedikit cahaya mata ataupun senyuman manis berlapis gigi kelinci tersebut. "Hemmmh, diam lagi. Kamu seperti putri malu." Tak lama, terdengar suara bel panjang yang menandakan bahwa waktu belajar di sekolah telah berakhir. "Kamu mau di sini saja sampai besok pagi atau pulang?" "Bara, tolong! "Kamu tahu nama saya? Hebat!" "Dan kamu," Bara mengulum senyumnya. "Tunggu sebentar! Biar saya baca terlebih dahulu nama kamu, agar tidak salah." Bara menatap tajam ke arah dadda gadis tersebut. Sadar dengan perilaku Bara, gadis itu langsung menutup dadanya dengan buku yang baru saja akan ia baca. "Ha ha ha ha ha, maaf ya. Seharusnya saya tidak melakukannya." Bara berkata sambil memukul kepalanya dengan ujung buku yang ia pegang. "Andara. Nama saya, Andara." "Boleh tahu artinya? Karena itu terdengar sangat bagus dan nyaman di telinga," puji Bara. "Kata mama, Andara itu nama sebuah permata India yang artinya cahaya kecantikan dan kesempurnaan." "Wah, ternyata benar ya. Perkataan itu sebagian dari do'a. Dan do'anya mama kamu sudah dikabulkan oleh Tuhan. Beliau pasti sangat dekat dengan Tuhan." Bara tersenyum dan berniat untuk mengajak Andara bercanda. "Iya, kamu benar." Andara berbicara dengan suara lirih dan wajah yang kian tertunduk. "Kamu kenapa jadi sedih gitu?" "Maaf, Mas Bara. Perpustakaan sudah mau ditutup. Pacarannya disambung di luar saja!" Petugas perpustakaan berkata sembari menahan tawanya. Usianya masih muda, jadi ia sangat suka bercanda dan menggoda. Hal itu menghentikan Andara untuk menjawab pertanyaan selanjutnya dari Bara tentang mamanya. "Kita baru kenalan kok, Pak. Jangan gitu dong! Nanti Andara jadi malu." "Bukannya kalian satu angkatan?" "Iya Pak, benar. Tapi kita nggak pernah satu kelas." "Oh, begitu?" "Iya. Kalau gitu, kita pamit pulang ya, Pak." "Eeeh, jangan lupa data dulu bukunya! Isi nama dan tanggal peminjaman, terus tanda tangan!" "Oh iya, Pak. Hampir lupa." "Dasar, belum tua sudah lupa. Jangan bilang kamu lupa karena tengah jatuh cinta," ejeknya tanpa henti dan Andara terus saja mendengarkan kelakar manis tersebut. Setelah melihat Bara sibuk dengan petugas perpustakaan, Andara sengaja keluar lebih dulu agar ia terlepas dari pandangan Bara. Ia tidak ingin mencari masalah dengan siswi lainnya yang begitu menyukai laki-laki tersebut. Lagipula, Andara lebih suka tidak terlihat dan tetap biasa saja agar selalu dapat menyembunyikan dirinya. Saat Andara merasa posisinya sudah aman, ternyata ia salah. Sambil menyandang tas di bahu, Andara berjalan perlahan meninggalkan ruang kelas dengan wajah yang tertunduk. Sesampainya di muka kelas, Andara malah mendapati Bara sudah menyandarkan tubuhnya di tembok dengan tangan yang dilipat di depan dadda dan kaki kanan yang menempel di tembok berwarna kuning tersebut. "Mau kabur kemana?" Bara menatap ke arah Andara dan tersenyum manis. Seperti semut, yang baru saja menemukan gulanya. "Ka-kamu?" "Iya, saya. Baaaraaa." Bara kembali menggoda Andara. "Ngapain kamu disitu?" "Nungguin kamu." "Kok, kok kamu bisa tahu kalau saya berada di kelas ini?" tanya Andara dengan wajah yang tertunduk, namun mata yang melirik ke arah Bara. "Tidak sulit bagi saya untuk mencari seorang kutu buku. Tentu saja, anak-anak yang rajin ke perpustakaan, akan sangat diingat oleh penjaganya." "Umh, begitu ya?" "Ayo pulang! Nanti kita berdua bisa-bisa terkunci di dalam sekolah ini. Saya kan belum makan siang." "Apa?" "Pulang, ayo!" "I-iya," sahut Andara ragu, tapi ia tidak bisa menolak. Apalagi Bara sepertinya tidak hanya sekedar menawarkan sebuah tumpangan, melainkan menjemput penumpangnya. 'Heeemh, mimpi apa saya semalam? Jangan sampai semua ini malah jadi bumerang untuk saya nantinya.' 'Saya tidak ingin mencari masalah karena hidup saya sudah sangat banyak masalah.' Kata Andara di dalam hatinya, seraya menggenggam kedua tali tas yang disandangnya. 'Ya Tuhan, kalau memang kehadiran Bara di dalam hidup saya hanya akan menyulitkan, please ... jauhkan dia dari saya.' Andara terus menunduk sambil melangkah dan bercakap-cakap pada dirinya sendiri. Semua itu karena ia tidak ingin terlibat masalah dengan yang lainnya. Sepenggal kenangan tentang Bara tersebut, mampu membuat Andara tersenyum. Andara memeluk guling di dalam kamar sambil terus memikirkan dan membayangkan seorang Bara Basil yang begitu ia cintai. Setelah ia pikir-pikir, sudah hampir tiga tahun Bara tidak pernah memberikannya kabar. Ini tidak seperti Bara, tapi Andara tidak tahu harus berbuat apa selain menunggu. Andara yakin, jika Bara adalah jodohnya, ia akan kembali dan memeluk tubuhnya yang sudah sangat merindukan sosok Bara. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD