1. Jaga Ujian

2132 Words
“Hari ini jadi ke kampus atau enggak, Da?” tanya Ibu begitu melihatku berjalan cepat menuruni tangga. Aku yang baru saja bangun tidur, hanya mengangguk mengiyakan. Aku masih setengah sadar, tetapi aku sangat haus. Persediaan minum di kamar sudah habis, jadi aku terpaksa turun. “Jam berapa emang?” tanya Ibu lagi. “Kata Mbak Isna, sih, jam sembilan. Ini, lho, masih jam tujuh.” “Oh, ya udah.” Hari ini aku akan menggantikan kakak sepupuku untuk jaga ujian di kampus tempatnya mengajar. Dia sedang di rumah sakit menjaga anaknya yang rawat inap. Aku jelas mau-mau saja. Toh aku sedang jadi pengangguran. Aku tidak ada kegiatan lain selain belajar UKMPPD. Jadi, menggantikan sepupu untuk sehari, apalagi hanya jaga ujian, kurasa tidak masalah. Dia juga sudah konfirmasi ke Kaprodi kalau aku akan menggantikannya. Anggap saja, sekalian aku cari pengalaman. Dulu aku pernah bercita-cita menjadi dosen, tetapi kemudian berubah menjadi dokter saat awal masuk SMA. “Eh, tapi kamu apa punya baju yang cocok buat ke kampus, Da?” tanya Ibu lagi. “Emangnya butuh baju kaya apa, sih, Bu? Dosen itu bajunya enggak seformal itu. Ya, meski jangan yang santai juga. Tinggal pakai celana bahan atau rok bahan, lalu kemeja dimasukkan, udah selesai. Mau kasih blazer juga boleh. Asal enggak kaos kutang aja.” “Kok malah bawa-bawa kaos kutang? Yang bener kalau ngomong!” Aku terkekeh. “Bercanda, Bu.” “Udah gede, jangan kebanyakan bercanda.” “Gede untuk ukuran apa, nih?” “Udah cocok buat nikah.” Aku mencebik pelan. “Mulai lagi. Ibu tuh, lho, aku belum ada dua puluh lima tahun. Bisa-bisanya disuruh nikah mulu? Dua puluh empat itu masih muda banget, Bu. Jangan samain dengan zamannya Ibu sama Ayah. Belasan tahun udah pada nikah.” “Sebenarnya Ibu tahu, zaman Ibu sama kamu udah beda. Tapi Ibu mikirnya kalau kamu udah nikah, Ibu udah tenang. Kata Om-mu, kalau udah ada calon, nikah dulu lebih baik. Jadi nanti kalau mau lanjut PPDS atau apalah itu istilahnya, kamu udah berkeluarga. Tapi ya kembali lagi. Ibu kan cuma nyaranin. Keputusan final ada di kamu.” “Kalau keputusan final memang ada di aku, itu artinya perjodohan enggak wajib?” “Setengah wajib.” Ibu tersenyum, dan entah kenapa senyum beliau terlihat menyebalkan. “Loh! Ibu ini gimana, sih? Katanya keputusan final ada di aku? Maksa juga pada akhirnya.” “Lagian kamu kenapa langsung nolak, padahal belum lihat orangnya?” “Ya enggak mau aja. Emang dia kerjanya apa sampai Ibu yakin banget mau jodohin aku sama dia?” “Polisi.” “Buuu!” entah kenapa, aku mendadak kesal. “Aku udah eneg banget lihat abdi negara nikah sama orang kesehatan. Apalagi abdi negara yang TNI sama POLRI. Please-lah! Aku enggak mau!” “Orangnya ganteng, tahu, Da! Ibu udah lihat. Gagah, putih, dan kelihatan baik.” “Kelihatannya doang. Gimana kalau aslinya botita?” “Apa itu botita?” kedua alis Ibu bertaut bingung. “Botita itu plesetan dari bottom. Artinya bawah. Dia suka batangan.” “Ya ampun, Rizda! Enggaklah! Dia normal. Orang dia mau, kok, dijodohin sama kamu.” “Tapi aku yang enggak mau. Aku enggak mau nikah sama TNI dan POLRI. Tanpa mengurangi rasa hormatku pada mereka, aku enggak mau ikut barisan couple goal ala-ala. Pasangan abdi negara dan orang kesehatan udah menjamur banget, Bu. Please, aku nikah sama yang lain aja. Pengusaha, kek, dosen, kek. Atau guru pun enggak papa. Ini aku bukan sentimen sama mereka, cuma enggak mau ikut barisan mereka aja.” “Kalau gitu, tunjukkan ke Ibu calon yang sebanding dengan yang mau Ibu jodohin ke kamu. Sebanding, atau kalau bisa malah lebih. Atau kalau kurang dikit, jangan jauh-jauh.” “Lah! Kok Ibu maksa? Tadi bilangnya keputusan final ada di aku? Ini udah langsung final, dan aku no!” “Kalau kamu enggak bisa lakuin tantangan Ibu, terima perjodohan itu.” “Enggak takuttt!” aku mencibir pelan, lalu kabur menaiki tangga. “Rizda! Ibu belum selesai ngomong!” “Kalau Ibu masih mau bahas perjodohan enggak jelas itu, aku enggak mau ngomong sama Ibu!” “Da! Jangan durhaka, kamu!” “Ibu yang durhaka sama aku! Soalnya Ibu memaksakan kehendak!” Ibu tampak menatapku tak habis pikir, sementara aku langsung menangkupkan kedua telapak tangan di depan wajah. “Maaf, ya, Bu. Aku beneran enggak bisa nurut kali ini.” “Ya udah. Buruan siap-siap, lalu ke kampus. Jangan telat!” Aku langsung pasang pose hormat. “Siap! Laksanakan!” *** Apa aku benar-benar akan menjadi anak durhaka karena menentang perintah Ibu? Sunguh! Aku tidak bermaksud durhaka pada beliau. Segala penentanganku selalu ada unsur bercanda, dan beliau pun paham betul tabiatku dari dulu. Namun, bercandaku kali ini juga serius. Aku benar-benar tidak mau dijodohkan, apalagi dengan TNI atau POLRI. Tolong jangan salah paham. Seperti yang sudah kubilang pada Ibu, aku tidak ada sentimen terhadap mereka. Tanpa mengurangi rasa hormatku juga, alasanku murni karena preferensi pribadi. Sudah banyak dari temanku, entah yang dokter, bidan, atau perawat, menikah dengan abdi negara TNI ataupun POLRI. Tidak ada yang salah, mereka juga tampak bahagia-bahagia saja. Di sini emang akunya yang tidak ingin menikah dengan mereka. Alasannya simple, aku hanya tidak tertarik. Kuharap tidak ada yang tersinggung di sini. Baiklah, memang seringkali aku melihat pasangan abdi negara dan orang kesehatan tampak serasi. Keduanya berseragam rapi. Foto mereka juga tampak lucu-lucu, layaknya couple goal yang didamba-dambakan. Aku mengakui itu, tetapi mereka hanya bukan seleraku. Boleh-boleh saja, dong? Selera masing-masing orang tidak bisa dipaksakan. Toh sekali lagi kutekankan, aku tidak ada maksud merendahkan atau semacamnya. Ini murni preferensi pribadi. Aku juga tidak memaksakan kehendak orang lain harus sama denganku. Selain itu, aku juga tidak kuat LDR dan pindah-pindah tempat tinggal. Biarkan mereka menikah dengan perempuan yang memang mau dan siap saja. Tiiin! Lamunanku buyar saat mendengar klakson mobil yang sangat keras. Klakson itu tidak ditujukan padaku, tetapi suskses membuatku kaget. Ngomong-ngomong, aku baru saja tiba di fakultas tempat Mbak Isna mengajar. Dia dosen Fisika, jadi fakultas yang akan kumasuki adalah FMIPA. “Wah … di mana ini ruang dosennya?” Aku turun dari mobil, lalu mendongak menatap gedung yang menjulang di depanku. FMIPA. Fakultas yang pernah menjadi opsi kedua kalau memang aku tidak diterima di FK. Tentu saja, jurusan yang kupilih adalah biologi. Aku suka yang berbau makhluk hidup. Berbeda dengan Mbak Isna, aku justru tidak suka dengan Fisika. Sejak SMA, fisika adalah mata pelajaran rumpun IPA yang paling tidak kusukai. Aku merasa diriku lemah di pelajaran satu ini. Jujur, terkadang aku sampai heran sendiri dengan orang-orang yang pintar fisika dan sengaja mendalaminya. Otak mereka terbuat dari apakah? Atau otakku saja yang memang kurang? Atau justru hanya berbeda ketertarikan saja? Entahlah … Sebelum ke mana-mana, aku duduk di salah satu bangku kosong dan menghubungi Mbak Isna. Untungnya, dia lagi online dan langsung bisa membalas pesanku. Setelah mendapat info dari Mba Isna kalau ruang dosen ada di lantai dua, aku bergegas naik. Senyumku mengembang begitu melihat ada plakat bertuliskan ‘Ruang Dosen’ yang cukup besar. Sesampainya di dalam, aku mencari sub ruangan yang bertuliskan fisika. Pasalnya, ruangan itu besar dan disekat-sekat sesuai dengan jurusan. Ada matematika, kimia, fisika, juga biologi. Begitu tiba di ruang dosen fisika, aku langsung mengetuk pintu. Kedatanganku disambut baik oleh seorang pria paruh baya yang kutahu beliau adalah kaprodi. Aku tahu karena Mbak Isna sudah menunjukkan foto beserta nama beliau. Beliau adalah Pak Maulana. “Mbak Rizda, ya?” sapa Pak Maulana yang langsung kuangguki. “Iya, Pak. Saya Rizda, adik sepupu Bu Isna.” “Iya, Bu Isna sudah kasih tahu saya kalau hari ini dia digantiin adiknya. Silakan duduk dulu. Itu boleh duduk di bangku Bu Isna karena kosong.” “Baik, Pak.” Pak Maulana menghampiriku, lalu menyerahkan dua map coklat. “Hari ini Bu Isna jaga di ruang 410. Itu di lantai empat.” “Jaga sendiri, Pak?” “Bisanya sendiri, tapi tiap ruangan yang belakangnya sepuluh, itu dijaga dua orang. Soalnya ruangannya besar. Saat ujian begini, ruangan itu hanya digunakan untuk makul-makul yang pengikutnya banyak.” “Oh …” aku mengangguk sambil tersenyum. “Baiklah, Pak.” “Nanti Mbak Rizda jaga sama Pak Hanif, tapi Pak Hanif sudah bilang kalau dia akan telat sedikit karena ada urusan mendesak. Nanti biar dia nyusul.” “Baik, Pak.” “Itu mejanya Pak Hanif.” Pak Maulana menunjuk meja yang ada di paling belakang dan paling sudut. “Orangnya tadi sudah datang, tapi sedang keluar sebentar. Dia sudah minta tolong saya buat bilang ke pengganti Bu Isna suruh masuk dulu dan membagikan lembar soal plus lembar jawab. Sisanya biar dia yang urus.” “Siap, Pak. Terima kasih banyak.” “Sama-sama.” Saat ini jam masih menunjukkan pukul setengah sembilan, jadi masih ada waku setengah jam lagi sampai aku masuk kelas. Sembari menunggu, aku chat Mbak Isna tentang apa-apa yang harus kulakukan setelah masuk ruangan. Aku juga memberi tahu kalau partner jaganya akan terlambat, jadi aku harus lebih siap menghadapi kelas. Saat waktu kurang sepuluh menit lagi, entah kenapa aku mulai berdebar. Ini jelas karena sebelumnya aku tidak pernah mengajar di kelas. Meski aku sering presentasi di depan teman-teman, tetapi rasanya jelas berbeda. “Kok dia enggak datang-datang, sih?” aku menoleh ke meja sudut. Meja itu masih kosong. Sepertinya dia memang akan datang terlambat. Dr. Hanif Giandra Putra, S. Si., M. Sc. Wow. Sudah doktor rupanya. Ngeri sekali! Apa jangan-jangan orangnya sudah bapak-bapak? Bicara gelar Dr, aku juga akan memilikinya. Bedanya, aku dr, bukan Dr. Meski hurufnya sama, tetapi Dr dan dr itu berbeda. Jika huruf d-nya kapital, maka artinya doktor. Alias mereka yang sudah selesai menempuh pendidikan S3. Kalau d-nya kecil, maka dokter. Alias kami-kami yang sudah menyelesaikan pendidikan dokter. Sebentar lagi akan kudapatkan gelar itu. Aku akan belajar keras agar UKMPPD-ku lulus dalam sekali coba. Ya, semoga saja bisa. “Oh, udah hampir jam sembilan.” Aku langsung bangkit, lalu keluar ruangan. Aku juga bergegas menuju ruang 410. Karena aku sudah bertanya pada Mbak Isna, aku tidak kebingungan lagi. Ruangan itu ada di lantai empat paling utara. Mudah sekali untuk ditemukan. Saat aku hampir tiba di ruang 410, kulihat banyak mahasiswa masih bergerombol di depan ruangan itu. Aku langsung masuk, dan kulihat mereka tampak kaget. “Kok asing? Ibu dosen barukah?” celetuk salah seorang mahasiswa laki-laki yang masuk ruangan pertama kali. “Nanti saya jelaskan. Silakan duduk dulu!” Semua mahasiswa masuk dan aku cukup kaget karena memang yang mengikuti makul ini banyak sekali. Pantas saja butuh dua dosen yang menjaga. Sayang sekali, kali ini tidak ada yang membantuku. Setelah memberi salam, tanpa basa-basi aku langsung membagikan lembar soal dan lembar jawab. Para mahasiswa sudah terbiasa mandiri, jadi aku cukup membagi kertas pada masing-masing bangku paling depan. “Silakan kerjakan dengan tenang. Waktunya dua jam.” “Baik, Bu.” Setelah selesai membagikan lembar soal dan lembar jawab, aku duduk dan mengisi berita acara. Aku hanya mengisi seperlunya saja daripada salah. Yang lain biar diisi Pak Hanif yang sampai detik ini belum juga datang. “Bu …” tiba-tiba saja, mahasiswa yang duduk paling depan memanggilku. Dia mahasiswa perempuan yang tampak sangat kalem. “Iya? Gimana?” “Biasanya di ruangan ini diisi dua dosen. Kok Ibu sendiri? Dan Ibu apa dosen baru?” “Sebelumnya, saya bukan dosen baru. Saya cuma gantiin Bu Isna. Dan sebenarnya yang jaga memang dua orang, tapi yang satu belum datang.” “Siapa, Bu?” “Pak Hanif.” “Gaisss! Kita sebenarnya dijaga Pak Hanif, lho! Tapi Pak Hanif telat!” aku tekejut saat mahasiswa yang kukira kalem ini tiba-tiba bersuara keras. Ternyata dia tak sekalem kelihatannya. “Wah, mantap! Jadi semangat ngerjain soal!” celetuk yang lainnya. “Terus Ibu ini gantiin Bu Isna,” lanjut mahasiswa itu lagi. “Kenalan, Bu! Dikit aja enggak papa,” sahut yang duduk di belakang. Aku berdiri, lalu menempelkan jari telunjuk di bibir. “Jangan heboh. Nanti ganggu yang lain. Saya kenalan sedikit saja, ya? Nama saya Rizda, saya bukan dosen baru. Saya cuma gantiin Bu Isna untuk hari ini. Bu Isna sedang berhalangan hadir.” “Oh … iya, iya!” sahut mereka kompak. “Bu, yang ngaterin lembar absen biar Pak Hanif aja, ya? Ibu udah bagi soal tadi.” Aku tersenyum. “Oke, nanti biar Pak—” “Kenapa harus saya yang nganterin lembar absen?” Suara itu membuatku dan seluruh mahasiswa yang ada di ruangan ini menoleh. “Wuhu, Pak Hanif sudah datang!” “Jangan berisik! Kerjakan dengan tenang!” “Baik, Pak.” Aku sendiri kini sudah mematung di tempat. Mataku juga mengerjap beberapa kali karena saking kagetnya. Bagaimana tidak? Dosen yang bernama Pak Hanif ini adalah laki-laki yang ketemui tempo hari di bandara. Iya, dia laki-laki penyakitan itu! Kenapa bisa sekebetulan ini? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD