“Lalu, kalau mending Mas banget, kenapa enggak mau?” Aku berdehem pelan, lalu menelan ludah. Mas Hanif terus menatapku, tampak menunggu. “Eee … seenggaknya, Mas Hanif enggak ada bibit-bibit NPD kaya Mas Daniel. Maksudku, cuma itu. Tapi aku tetap enggak tertarik sama tawaran malam itu, sih.” Setelah menjawab, aku langsung bergeser menjauh. Di saat yang sama, pelayan datang mengantar pesanan kami. Jadi, obrolan otomatis terinterupsi. Diam-diam aku memukuli bibirku berkali-kali. Bisa-bisanya mulutku asal bicara tanpa pikir panjang? Untungnya, aku bisa berkilah dan jawabanku pun cukup masuk akal. Saat aku hendak meracik bakso, aku menyempatkan untuk melihat ke arah Mas Daniel yang makan dengan beberapa temannya. Dia sesekali menatap Mas Hanif, bukannya menatapku. Apa dia merasa tersaingi