Bab 8: Bukan Calon Istri

1864 Words
Baru saja setengah perjalanan, hujan benar- benar turun dan mengguyur kota Jakarta, beberapa insan berlarian dan menepi karena takut akan basah, sebab hujan turun sangat deras, begitupun Brian yang menepikan motornya di bawah atap toko yang sudah tutup. "Walah, basah Mbak." Brian menepis air yang sedikit membasahi jaketnya. Untung dia cepat tanggap dan langsung berhenti saat hujan turun, hingga mereka tak terlalu kehujanan. Begitu pun Raisa yang kini merapikan rambutnya yang sedikit basah. "Sekarang gimana nih, Mas?" Raisa menatap ke langit, Hujan yang deras membuat semakin tak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan. "Ya, tunggu aja sampe hujannya berhenti. Atau seenggaknya gak terlalu besar." "Sial banget sih," gerutu Raisa kesal, kalau di ingat lagi seharian ini dia sangat sial mulai dari Brian yang minta traktir, di sangka punya hutang, lalu tak ada bis di jam pulang dan sekarang dia juga harus kehujanan. Brian terkekeh, "Menurut saya, saya beruntung Mbak." Raisa mengerutkan keningnya. "Beruntung bisa berduaan sama kamu, Mbak." Brian menggaruk tengkuknya, yang tak gatal. Raisa menggeleng pelan lalu memalingkan wajah dengan sedikit senyum geli di wajahnya, tingkah Brian sangat lucu persis seperti orang yang kasmaran. Ya, mungkin saja. Tapi, Raisa tak ingin menanggapi, sebab sejak awal dia tak ingin memberi harapan palsu pada Brian, bukan hanya soal hubungan yang menjadi kisah trauma dalam hidup Raisa, tapi statusnya sebagai janda juga usia mereka yang terpaut dua tahun, membuatnya tak mau menanggapi Brian, tak hanya Brian sebenarnya tapi, bahkan jika itu orang lain yang datang. Raisa memeluk dirinya dan mengusap tangannya saat merasakan dingin. Hujan masih belum berhenti. Mereka disana sudah sepuluh menit, membuat udara dingin dari hujan semakin menusuk tulang. Saat ini ponsel Raisa berdering, dan Raisa bergegas membuka tasnya lalu mengeluarkan ponselnya, Raisa segera menerima panggilan saat melihat nama sang Papa tampil di layar. "Hallo Pa?" "Gimana kabar kamu, Nak?" tanya sang Papa. "Baik, Pa. Gimana Mama sama Papa?" Raisa tertegun saat merasakan pundaknya menghangat, dan menoleh pada Brian yang menyampirkan jaket ke tubuhnya. Raisa menelan ludahnya kasar, lalu mencoba kembali fokus pada sang Papa yang bicara di sebrang sana, hingga beberapa menit berlalu sang Papa mengakhiri panggilan tersebut "Oh, Iya Pa." "Ingat jaga kesehatan ya, masuk musim hujan jangan sampai kamu sakit." Raisa mengiyakan dan menutup panggilan. Setelah memasukan kembali ponselnya Raisa hendak melepas jaket Brian namun tangan Brian menghentikannya "Jangan di buka, dingin!" "Saya gak papa." tak peduli nada bicara Brian begitu tegas, Raisa hendak kembali membukanya. "Ya, tapi kalau kamu sakit saya yang merasa bersalah," ujarnya lagi. Raisa menghela nafasnya, lalu berhenti berdebat dan membiarkan jaket Brian bertengger di pundaknya, dan harus Raisa akui, punggungnya merasa hangat hingga dia sedikit merasa nyaman sekarang. Setengah jam mereka berteduh, hujan mulai mereda, dan keduanya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Namun baru beberapa saat motor melaju Brian kembali menghentikannya di pinggir jalan tepat di depan sebuah gerobak pedagang. "Beli bandrek dulu ya, biar anget." Raisa mengangguk lalu turun dari motor. Brian memesan dua cangkir bandrek dan memberikan salah satunya pada Raisa "Kali ini beneran gratis Mbak." Brian terkekeh. Raisa mendengus lalu mengambil cangkir yang di sodorkan Brian, dan mulai meminumnya Raisa merasakan hangat saat bandrek tersebut mengalir ke tenggorokan lalu berakhir di perut, benar- benar membuat nyaman di cuaca dingin seperti sekarang. Setelah menghabiskan bandreknya, mereka melanjutkan perjalanan dan berhenti di kontrakan Raisa. "Terimakasih Mas." Hari sudah gelap, waktu mereka habis untuk berteduh hingga perjalanan yang harusnya hanya 20 menit dengan motor mereka habiskan lebih dari satu jam. "Sama- sama, masuk gih, dingin!" Raisa mengangguk, namun baru saja Brian memacu kembali motornya Raisa teringat jika jaket Brian masih dia kenakan. "Eh-" terlambat, Brian sudah jauh dari pandangannya. "Besok aja deh." mungkin akan Raisa cuci dulu, sebelum dia kembalikan. Saat ini Raisa justru mengeratkan jaket Brian di bahunya, sebenarnya sejak tadi Raisa menghirup aroma parfum dari jaket Brian, wangi parfum yang menurut Raisa sangat maskulin tapi juga tak terlalu menyengat, membuat nyaman dan ingin berlama- lama menghirupnya, hanya saja tak mungkin dia mengungkapkannya di depan Brian, kan? Tiba di kontrakan kecilnya Raisa segera membersihkan diri lalu mencuci jaket Brian, lalu menggantungnya di kamar mandi setelah mengeringkannya di mesin cuci portable miliknya. Raisa mengerutkan keningnya saat bukan aroma sabun cuci yang tercium, tapi justru aroma parfum Brian yang tak hilang sama sekali "Kurang sabun kah? Atau parfumnya mahal?" saking mahalnya sangat tahan lama dan tak hilang, bahkan meski sudah di cuci. Raisa mengerjapkan matanya lalu menyelesaikan niatnya menyampirkan jaket tersebut di hanger lalu menggantungnya di kaitan pakaian. .... "Raisa mulai minggu depan saya akan menyerahkan kepemimpinan saya, jadi saya harap kamu bisa kembali beradaptasi." Raisa hanya bisa mengangguk mendengar ucapan Pak Willi, pria paruh baya itu memang sudah di kabarkan akan segera pensiun dan penerusnya yang akan menggantikan posisinya. "Tapi, jangan takut dia anak yang baik." sepertinya Pak Willi mengerti ketakutan Raisa terlebih dari yang dia dengar yang menggantikan posisi Pak Willi adalah pria yang tergolong masih muda. "Saya yakin kamu akan dengan mudah mengenalnya, dia juga orangnya humble sekali." "Semoga Pak," ucap Raisa akhirnya. "Dan juga saya minta tolong persiapkan acara penyambutan. Gak perlu terlalu meriah, pastikan saja semua karyawan bisa menikmati jamuan yang kita sediakan." "Baik Pak." Raisa mencatat tanggal dan apa saja yang Pak Willi inginkan ada di acara penyambutan Presdir baru mereka minggu depan. Setelah memastikan semua tercatat tanpa kurang apapun, Raisa kembali ke mejanya, baru saja akan mendudukan dirinya dia melihat Brian berjalan ke arahnya "Mas Brian, makasih kemarin jaketnya." Raisa mengambil paper bag berisi jaket Brian yang sudah di cuci, dan memberikannya kepada Brian. Brian tersenyum manis "Oh, iya." "Udah saya cuci kok, jadi udah bersih." "Walah, merepotkan ya." "Gak juga kok." Raisa mengibaskan tangannya. Brian masih tersenyum "Tapi, makasih loh Mbak, sudah ngertiin saya, tau aja di rumah gak ada yang nyuci." Dahi Raisa mengeryit, "Hah?" dan melihat itu Brian semakin menarik senyumnya ... "Iya, maklum lah bujang, jadi gak ada yang urus." Raisa tertawa "Mas Brian ngomong apa sih? Aneh deh." Brian menunduk "Mbak gak tahu ya, ini tuh kode Mbak." "Kode?" apa lagi sih? Keluh Raisa dalam hati. "Kode kalau saya siap buat jadiin Mbak istri, biar saya ada yang urus gitu ..." "Salah, maksudnya biar ada yang nyuci jaket kamu gitu ... Kalau gitu kamu cari pembantu aja Mas." Raisa menggeleng. "Ya, lain dong Mbak, kalau pembantu kan gak bisa di peluk, kalau istri abis nyuci bisa di peluk, bila perlu nyuci bareng biar romantis." Raisa tertawa hambar lalu memutar matanya malas. "Garing!" Brian terkekeh "Saya masuk dulu ya Mbak." Raisa mengangguk, lalu Brian melanjutkan langkahnya mendorong troli makan siang untuk Pak Willy. Raisa mendudukkan dirinya di kursi dan mulai bekerja, namun tiba- tiba terlintas ucapan Brian barusan lalu kemarin. "Kemarin bilang suka, sekarang bilang siap jadikan istri ..." Raisa menggeleng lalu terkekeh "Nanti, belum apa- apa minta bercerai." ***** Usai jam makan siang Raisa menunggu tamu Pak Willi yang akan datang untuk rapat kerja sama di lobi, sambil berbincang dengan resepsionis dan sesekali melihat ke arah pintu yang belum menampilkan siapapun, hanya beberapa karyawan yang baru masuk setelah istirahat makan siang. Raisa masih berbincang hingga muncul seorang gadis membawa sebuah rantang di tangannya. "Permisi, Mbak?" gadis itu menyapa dengan wajahnya yang merona malu. "Eh, iya. Ada yang bisa di bantu?" tanya Resepsionis yang menghentikan perbincangannya dengan Raisa. "Saya cari Mas Brian." Raisa menaikan alisnya lalu melihat gadis itu dari atas ke bawah. Dress bunga selutut dan rambut di kepang dua, persis seperti gadis desa, apalagi rantang di tangannya. "Ade, adiknya Mas Brian?" tanya Resepsionis lagi. Itu juga yang ada di pikiran Raisa, hanya saja wajahnya tak mirip dengan Brian sama sekali. Gadis di depan Raisa tersenyum "Saya, calon istrinya Mbak," ucapnya dengan raut wajah malu- malu. Sontak saja perkataannya membuat Raisa dan Resepsionis bername tag Tina itu tertegun "Serius," bisiknya pada Raisa. Raisa mengedikkan bahu, seolah tak peduli, padahal hatinya merasa kesal. Dasar pria, menggodanya, tapi punya calon istri di rumahnya, sialan tuh OB. Untung saja Raisa tidak tergoda, meski hatinya menjadi kesal saat ini. Pintu lift terbuka dan menampakan Brian "Eh, tuh Mas Brian-nya," tunjuk Tina. Raisa dan gadis yang mengaku tunangan Brian itu menoleh "Mas, Brian," panggilnya ceria. Raisa rasanya ingin muntah mendengar nada bicara gadis itu, entah kenapa dia jadi sebal, padahal tadi saat pertama melihat biasa saja. "Loh, Ranti? Ngapain?" tanya Brian dengan dahi mengeryit. "Ih, Mas Brian, aku di suruh Ibu anterin makan siang." gadis itu mengguncang tangan Brian membuat Raisa menaikan alisnya, sedangkan Tina menahan tawa sebisanya. "Jam makan siang udah selesai kali, Ti." Brian memutar matanya malas. "Ya, ini kan gara- gara aku nyasar Mas, masa supir angkotnya malah gak ngasih tahu kalau tempat kerja Mas kelewat, ya, salah aku juga sih, pake ketiduran di angkot. Mana ke lewat sampe ke Pasar senen lagi" Sontak saja, Tina yang sejak tadi menahan tawa tak kuasa menahannya lagi, hingga tersemburlah tawa tersebut, pasalnya dari kantor mereka ke pasar senen cukup jauh, pantas saja dia datang terlambat. Brian mengeryit lalu menoleh pada Tina dan Raisa. Raisa mengusap hidungnya tak menunjukan emosi apapun, sedangkan Tina berdehem "Mas, Brian boleh bawa dulu calon istrinya ke dalam gak." bagaimana pun Resepsionis harus memastikan orang lain bahkan tamu tak terganggu sebab mereka berdiri di tengah lobi. "Hah, calon istri?" Brian menatap bingung ke arah Tina, lalu pada Raisa lagi, tapi kini wanita itu memalingkan wajahnya. Brian menghela nafasnya, lalu menatap Ranti dengan kesal. Brian membuka mulutnya hendak bicara pada Raisa tapi Raisa segera menegakan tubuhnya, sebab terlihat tamu Pak Willi baru saja tiba. "Selamat datang Pak Hardi," Sapa Raisa dengan membungkuk hormat. "Oh, ya.. Pak Willi nya ada, kan?" "Ada Pak, mari." Raisa segera membimbing pria paruh baya itu, tentu saja dengan seorang perempuan mengikuti di belakang, dan sudah pasti dia adalah sekertarisnya Pak Hardi. Saat berjalan ke arah lift Raisa melewati Brian begitu saja, wanita itu bahkan tak menoleh sedikit pun dan acuh saja memasuki lift. Tingkah Raisa membuat Brian semakin kesal dan menatap gadis di depannya dengan tajam "Lain kali kamu gak perlu dateng, apa lagi ngaku- ngaku calon istriku." Ranti cemberut dan mengikuti Brian keluar dari lobi "Saya pesankan ojek online, biar kamu gak nyasar." Brian mengutak- atik ponselnya untuk memesan ojek. Meski perkataan Brian sangat tajam, tapi pria itu memesankan ojek untuknya, bukan kah dia cukup perhatian, wajah Ranti kembali merona. Melihat raut wajah malu- malu dari Ranti membuat Brian menaikan satu alisnya, dia sudah menyangka jika anak ibu kosnya memang menaruh hati padanya, sebab sering sekali mencari- cari perhatian. Dan sekarang bocah itu membuatnya kesal dengan mengaku calon istrinya dan membuat salah paham, dan Brian yakin ini akan menjadi gosip panas nanti. Belum lagi tanggapan Raisa, pastilah dia mengira ucapan Brian adalah kebohongan belaka, padahal dia sudah susah payah untuk lebih dekat dengannya. Brian menghela nafasnya, sepertinya dia harus pindah dari sana. Tak lama ojek pesanan Brian datang "Jangan lupa, di makan ya Mas," ucapnya sebelum menaiki motor. Brian hanya menyerahkan uang ongkos ke Kang ojek tanpa menghiraukan Ranti. Kembali ke dalam dengan rantang di tangannya, Brian berhenti di depan meja Resepsionis dan meletakan rantangnya di meja "Buat Mbak Tina aja." "Loh, trus gimana calon istrinya, nanti marah loh,?" "Dia bukan calon istri saya!" Brian mendengus lalu berlalu. Tina mengeryit lalu mengintip isi di dalam rantang "Wuah lumayan buat makan malam sekeluarga." sambil cekikikan dia meraih rantang dan meletakkannya di kolong meja. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD