Chapter 4 : Tugas

1118 Words
Kehangatan menjalar ke sekujur tubuh Kenzie, sensasi ini membuatnya merasa nyaman hingga tak ingin terbangun dari tidur. Akan tetapi, bisikan pelan di telinganya yang entah dari mana, berhasil membuat ia perlahan membuka mata. Jari-jari tangannya bergerak, kemudian matanya pun perlahan terbuka. Seketika ia dibutakan oleh cahaya menyilaukan, tetapi tak lama setelahnya ia langsung dapat beradaptasi. Kenzie bangun, di depannya tampak seorang pria dengan jubah panjang berkilauan layaknya emas, tengah berdiri membelakanginya. Tentu saja Kenzie berdiri dengan terheran-heran, bahkan ia sempat menyangka kalau dirinya sudah mati. Setelah memastikan kalau semua anggota tubuhnya masih utuh, Kenzie berjalan mendekati pria berjubah di depannya. Kenzie berheti dua langkah di belakang si pria, lalu berkata, “Permisi, bolehkah aku bertanya di mana ini?” Mendengar pertanyaan tersebut, si pria lantas berbalik sembari tersenyum tipis pada Kenzie. “Jangan khawatir, kita hanya sedang berada di Ruang Sihir-mu.” “Ruang Sihir? Apa itu? Aku tidak mengerti ....” Kenzie tampak kebingungan. Si pria pun menujuk d**a Kenzie, dan berkata, “Lebih tepatnya, kita ada di dalam hatimu.” “Ha? Hatiku? Bagaimana mungkin?” “Hahaha, sungguh, aku tidak sedang mengatakan lelucon padamu.” “Apakah itu artinya aku sudah mati?” Kali ini Kenzie memiringkan kepala. “Haah ....” Si pria kini mengembuskan napas panjang. “Siapa yang mengatakan itu padamu? Tidakkah kau tahu kalau kau telah mewarisi Pedang Excalibur yang legendaris?” “Hah? Jangan bercanda! Benda pusaka itu telah hilang sejak seratus tahun lalu!” “Pedang itu tidak hilang, buktinya pedang tersebut kini berada dalam dirimu.” “Tidak mungkin!” Kenzie membantah keras kalau Pedang Excalibur ada di dalam dirinya. “Aku mengatakan yang sejujurnya, tetapi kau malah menentang kebenaran yang kukatakan itu? Haah ....” Si pria menepuk jidat sambil menghela napas. “Kalau memang kau bukan pewaris dari pedang itu ...,” dia kemudian menunjukkan ekspresi serius, “Bagaimana caramu mengalahkan siluman wanita itu, hingga meratakan desamu sendiri?” “Itu ....” Kenzie sungguh tidak tahu harus menjawab pertanyaan itu dengan apa. Namun, tetap saja ia membantah dengan argumen lain. “Aku pasti sedang bermimpi! Sebuah mimpi buruk, atau itu hanya sebuah keajaiban!” “Kau tidak sedang berada di dalam mimpi. Ini adalah kenyataan yang harus kauterima, walau menyakitkan memang. Tapi, mau bagaimana pun, ini takdirmu!” “Jika benar begitu, mengapa kekuatan Pedang Excalibur ini menghancurkan desaku dan ... dan ... bahkan tak sanggup menolong ibuku!” Wajah Kenzie tertunduk, kedua tangannya mengepal erat. Air matanya kembali menetes kala mengingat lagi kejadian paling menyakitkan dalam hidupnya. Melihat ini, si pria tampak sedikit merasa bersalah. “Kendati demikian, bukan berarti kau dapat terus menghindari takdirmu.” “Takdir apanya?! Aku anak yang durhaka, yang tidak mampu melindungi ibuku sendiri!” Suara Kenzie memelan. “Aku ... aku ... aku tidak pantas menerima kekuatan ini.” Ekspresi si pria yang tadinya murung, berubah jadi kesal. “Jika kau tidak pantas, maka siapa yang pantas? Jangan menilai dirimu lebih rendah dari orang lain!” “Apa yang kautahu?!” Kenzie membentak. “Jika saja para siluman itu tidak menyerang desaku, maka sekarang ibuku pasti masih hidup! Aku membenci mereka semua!” “Kau tidak menyukai mereka semua?” “Mereka yang telah membunuh ibuku!” “Jika begitu, kenapa kau tidak melawan mereka saja? Bukankah dengan begitu kau bisa menyelamatkan orang-orang yang juga disiksa oleh para siluman itu?” Tiba-tiba Kenzie menengadah, kedua pipinya jelas masih basah oleh air matanya. Namun, kalimat pria di hadapannya membuat ia merasa mempunyai sebuah tujuan baru. “Tapi aku ....” “Tidak, Nak.” Si pria lantas tersenyum tipis, kemudian mengelus kepala Kenzie. “Hanya kau yang bisa melakukannya. Mereka semua perlu bantuanmu, bantulah mereka.” Tubuh Kenzie yang tadinya mengeras, kini menjadi rileks dan lebih tenang. Ia kemudian menutup mata, lalu berkata, “Kenapa tidak kau saja yang melakukannya? Kurasa kau lebih pantas daripada aku.” “Jika aku memang lebih baik darimu, maka aku sudah melakukannya tanpa perlu kauberitahu. Tapi, faktanya aku tidak bisa. Dan, hanya kau yang bisa.” Kenzie melirik tangan kanannya, lalu mengepalkannya dengan erat. “Apa yang harus kulakukan? Bisakah kau mengajariku bagaimana cara mengendalikan kekuatan ini?” “Akhirnya kau setuju.” Si pria mundur, mengambil jarak sedikit lebih jauh dari Kenzie. Dia tersenyum sesaat. “Kau harus melatih fisikmu jika tak ingin kekuatan itu menggerogoti tubuhmu dari dalam. Pergilah ke gua di mana kau berendam air panas, masuklah lebih dalam, di sana ada tempat latihan tersembunyi dari Raja Alvan, yang hanya bisa dimasuki oleh pemilik Pedang Excalibur.” “Jadi, itulah kenapa tubuhku terasa begitu sakit setelah menggunakan kekuatan besar itu ....” “Ya, aku tidak akan menyembunyikan fakta ini darimu. Dan ingatlah, kekuatanmu itu pedang bermata dua, ia tidak hanya bisa menjadi senjata yang memotong leher lawan, tetapi juga bisa memotong lehermu sendiri.” “Aku mengerti!” Kenzie pun membulatkan tekad, kemudian mengepalkan tangan kanannya. “Baguslah kalau kau mengerti. Kau bisa pergi sekarang. Berhati-hatilah!” Perlahan tubuh si pria memudar. Di saat bersamaan, Kenzie terbangun di tepi sungai, tempat terakhir kali sebelum ia pingsan dan bertemu dengan si pria. Dengan tekad yang sudah bulat, ia bangkit berdiri, lalu segera berlari masuk ke dalam hutan, menuju gua tampatnya berendam. Akan tetapi, perjalannya saat ini tidaklah mudah, karena sepertinya para siluman telah dikerahkan menyusuri hutan. Mungkin mereka telah melihat mayat Vinri, dan memutuskan untuk melakukan pencarian si pembunuhnya. Kendati demikian, Kenzie tidak langsung menyerah. Ia mengendap-endap di balik bayang-bayang pepohonan, perlahan mendekati tempat tujuan. Layaknya sebuah keajaiban, tanpa ada gangguan sedikit pun, Kenzie berhasil masuk ke dalam gua. Sama seperti sebelumnya, tempat ini gelap, tidak ada penerangan apa pun. Namun, Kenzie berjalan lurus mengikuti instingnya, sambil berharap kalau jalan yang ia tempuh benar. Beberapa saat berjalan, seketika Kenzie dikejutkan oleh cahaya yang bersumber jauh di depannya. Tanpa menunggu lagi, ia langsung menuju sumber cahaya. “Sepertinya ada sebuah ruangan kosong di sana. Apakah itu adalah ruangan berlatih yang dimaksudkan? Jika benar begitu, artinya hanya seorang pemilik Pedang Excalibur yang bisa masuk ke sana.” Tanpa ragu, Kenzie berlari masuk ke dalam. Dan benar saja, itu adalah sebuah ruangan kosong yang di dindingnya terdapat bola-bola cahaya yang mengambang. “Apakah tempat latihan memang harusnya seperti ini?” Kenzie memandang ke sekitar. Tidak ada tanda-tanda kehadiran orang lain. Mendadak matanya melihat sesuatu di dinding. Kenzie segera mendekati dinding tersebut. Di sana ada terdapat tulisan, yang ia tidak mengerti, karena ia tak pernah diajari untuk membaca. “Haah ... kenapa aku menjadi bingung dan tak tahu apa yang harus kulakukan di sini? Tidak adakah petunjuk berupa lukisan agar aku dapat mengerti?” Sekali lagi mata Kenzie menyusur sekitar. Benar saja, kali ini harapannya terwujud, ia melihat ada lukisan di salah satu dinding.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD