Setelah mengantar Umi ke sekolahnya, dengan hati riang karena terus teringat baju Bang Rivan yang bolong membentuk setrikaan aku pun langsung menuju pasar Kam yang ramai seperti biasanya. Penjual berderet-deret di kanan dan kiri bibir jalan sepanjang gang pasar, tampak obralan baju di mana-mana yang dikerumuni oleh pembeli yang rata-rata ibu-ibu, juga pedagang sayuran yang juga dikerumuni pembeli, pedagang kue, es, bakso, soto dan banyak lagi lainnya yang tak kalah ramai pembeli ditambah lagi motor dan becak yang berjalan membelah pasar dadakan ini membuat jalanan gang jadi sempit dan berjubel karena penuh manusia dan kendaraan. Saking ramainya, mau lewat saja seperti sedang mengantre, berdesakan dan gerah. Ini biasanya hanya terjadi saat pagi hari saja, nanti siangan mulai lengang.
Setelah sekian lama berjalan dengan lambat saking ramainya padahal toko tempatku bekerja hanya beberapa meter dari jalan raya, aku akhirnya tiba di depan toko. Kuusap wajah yang berkeringat dan refleks berhenti melangkah saat melihat Pak Adam keluar dari toko mengeluarkan motorku, memarkirnya di emperan toko. Aku nyengir kecil saat ia tiba-tiba menatap kemari, mengerutkan kening karena aku terus berdiri diam. Karena sudah terlanjur ia melihat kedatanganku, akhirnya aku berjalan mendekat ke arahnya.
"Tumben bapak ke toko pagi-pagi?" tanyaku, memandangnya yang rapi dengan kemeja hijau kotak-kotak dan celana kain hitam. Biasanya kan dia datang agak siangan untuk memeriksa jilbab atau stok baju yang habis. Selain menjual baju juga jilbab orang dewasa, toko ini juga menjual baju bayi dan anak, juga ada mainan anak seperti boneka dan mobil-mobilan.
"Iya, saya sengaja menunggumu," jawaban Pak Adam membuatku langsung bertanya-tanya dalam hati ada keperluan apa sampai ia menungguku.
Pak Adam memandangku, lalu ucapnya, "La, karena karyawan saya sedang libur pulang kampung untuk beberapa hari kedepan, jadi kamu bantu saya di warung makan, saya kewalahan jika menjaga warung itu sendirian. Warung makan baru saya sedang ramai-ramainya, jadi saya minta bantuan kamu. Toko ini tutup saja."
Duuh, aku kan hari ini rencananya mau ambil libur. Kalau gak segera belanja, kartu ATM keburu diminta oleh Bang Rivan, itu berarti rencanaku menghabiskan uangnya bisa-bisa hanya tinggal angan-angan belaka yang tidak akan mungkin menjadi kenyataan.
Aku menatap Pak Adam serbasalah. Menolak permintaannya aku tak enak hati, tapi mau mengiyakan, aku sudah punya rencana sendiri.
Setelah menimbang-nimbang cukup lama, akhirnya aku berkata, "Emp, Pak, maaf aku hari ini ijin libur," ucapku lirih, menatapnya tak nyaman.
Ia memandangku.
"Soalnya aku ada keperluan penting banget, Pak. Sangat penting sampai harus segera diselesaikan gak bisa ditinggalkan. Hanya hari ini aja aku libur, besok aku kembali kerja," kataku yang semakin tak enak hati saja karena melihat wajahnya terlihat kecewa. Tapi syukurlah ia akhirnya mengangguk.
"Baiklah, kalau begitu silakan libur. Kamu juga jarang libur selama bekerja di sini."
"Terima kasih, Pak," kataku.
"Tapi besok, kamu bisa kan membantu saya?" tanyanya. "Saya ingin minta Rika atau Rina yang bantu, tapi toko baju di tanah Abang sedang ramai-ramainya. Bisa?" tanyanya lagi. Apa boleh buat, aku akhirnya mengangguk.
"Iya, Pak, besok aku gak libur," jawabku. Pasti akan melelahkan ikut menjaga warung makan yang dalam artian bukan hanya memasak tapi melayani pembeli juga. Rini pernah cerita pengalamannya saat ikut menjaga warung makan yang di pasar Senen sebelum ada karyawan tetapnya, bahwa menjaga warung makan itu melelahkan tapi itu sebanding dengan tip yang diberikan Pak Adam, katanya.
"Ya sudah kalau begitu, saya permisi dulu, Pak." Pamitku.
Ia mengangguk. Lalu tangannya bergerak mempersilakan. Dengan canggung, aku berjalan menuju motor diparkir, segera menuntunnya agak jauh dari Pak Adam lalu mengendarainya pelan di jalanan yang padat oleh kendaraan roda dua dan empat. Sepanjang jalan aku terus tersenyum senang, sungguh tak sabar segera menghabiskan uang Bang Rivan. Seperti apa kira-kira reaksi bang Rivan nanti saat tahu tabungannya sudah habis kusikat? Ha ha, aku tersenyum saat membayangkan ekspresinya saat tahu uang yang telah lama dia kumpulkan ludes tanpa sisa.
Setelah mentransfer uang di ATM ke tabunganku, dengan senyum cerah aku membeli apa saja yang ingin kubeli. Baju, tas, sandal, boneka untuk Umi, juga beberapa baju untuk anak pertamaku itu. Lalu aku menuju ke toko perhiasan dan membeli gelang emas sepuluh gram juga cincin lima gram, tak lupa juga membelikan Umi kalung. Akhirnya aku pun keluar dari toko perhiasan dengan hati puas, berjalan sambil menatap ke sana kemari siapa tahu ada sesuatu yang menarik untuk dibeli lagi padahal aku sudah menenteng tas-tas berisi belanjaan.
Keluar dari PGC, aku kembali lagi ke Keramat Jati untuk membeli kerang karena Umi sangat menyukainya. Aku bukan hanya membeli kerang mentah juga ciput tapi juga sekalian membeli beberapa kilo lele dan sayuran, lalu memutuskan pulang. Tapi rasanya begitu haus juga lapar jadi aku memutuskan berhenti di warung makan dulu.
"Baang, ayam geprek, yaa? Es tehnya dulu tolong anterin, ya?" kataku sambil mengenyakkan diri di kursi. Sambil menunggu pesanan diantarkan, aku meraih HP berniat untuk memotret wajahku berlatar belakang warung makan lalu mengirimkannya ke Bang Rivan. Tapi belum sempat melakukannya, tiba-tiba HPku berdering. Panggilan dari Bang Rivan ternyata. Aku sudah bisa menebak kenapa ia meneleponku jadi memutuskan segera mengangkatnya.
"Halo, Baang?" ucapku sambil tersenyum manis padanya yang menatapku dari HP-nya.
"Aku baru aja belanja sekaligus beli perhiasan, Bang. Lihat ini, bagus, kaaan?" Aku tersenyum lalu mengangkat tanganku ke arah HP, tampak Bang Rivan menghela napas. Wajahnya terlihat sangat kesal.
"Kamu bisa-bisanya mengambil semua tabungan kita. Kembalikan sisanya pada abang, La."
Aku mengerutkan kening tak percaya, memandangnya seolah aku sedang sangat heran.
"Apa, Bang? Kembalikan? Ya enggak bisa, lah. Uangnya udah habis buat aku belanja."
"Apa?! Ha-bis?!" Matanya membulat tak percaya dengan wajah begitu kaget.
"Ilana jangan main-main. Sembilan puluh juta lebih bukan uang yang sedikit. Tidak mungkin kamu belanja habis sebanyak itu!"
"Habis, Bang. Buktinya aku udah gak pegang uang lagi sekarang. Karena udah habis. Aku itu beli perhiasan, baju-baju buatku juga Umi, juga beli kebutuhan dapur. Pokoknya aku beli banyak banget."
"Ila-naaa!" katanya tampak begitu kesal. "Kamu tidak boros seperti ini, du-lu!" Geramnya.
"Kamu juga tidak selingkuh dulu, Bang!" Balasku dengan tak kalah sengit.
"Oh, jadi kamu sengaja?!" Disentaknya napas keras.
Aku tersenyum penuh kemenangan. "Tentu saja aku sengaja, Bang. Lebih baik kuhabiskan uang suamiku daripada dia menggunakan tabungan kita untuk memberi makan perempuan murahan!" Sentakku keras sampai semua orang yang ada di sini langsung menoleh memandangku. Karena terbawa emosi, aku sampai tak memperhatikan sekeliling. Tapi sudahlah, mereka sudah terlanjur tahu aku saat ini marah-marah karena diselingkuhi.
Kutatap penuh kemenangan wajah suamiku yang terlihat begitu geram di layar HP.
"Kenapa? Abang gak terima aku bilang dia perempuan murahan? Gak ada perempuan baik-baik yang mau tidur dengan suami orang, Bang!" Lalu kumatikan panggilan dan aku menyentak napas berkali-kali meluapkan kesal. Aku yakin sekali nanti setibanya di rumah, pasti aku akan diomeli habis-habisan. Tapi aku tak peduli, diomeli ya aku balas. Karena aku tak sepenuhnya salah menghabiskan uang suami yang sedang tersesat hatinya.
"Bang, minumanku mana, yaa? Udah dari tadi pesannya gak juga diantar juga!" kataku setengah berteriak.
"Tunggu sebentar."
Lama sekali sumpah. Aku menatap sekeliling, bukan hanya aku, pembeli yang lainnya juga tampak tidak sabar dan terlihat bete dengan warung makan dengan baner ayam gebrek juga ada es teh. Ah sungguh lama sekali, sumpah. Aku menyentak napas, kesal pada Bang Rivan yang terus saja membela Rifani, juga kesal karena minuman tak segera diantarkan padahal sudah sangat haus.
Kufoto wajahku lalu mengunggahnya ke WA.
Kehausan setelah belanja banyak. Ketikku lagi di status WA.
Tapi kok rasanya kurang lengkap ya kalau tidak mengunggah apa yang sudah dibeli? Nanti dikira bohong lagi sama bang Rivan saat dia membaca statusku. Maka aku pun menuju motor diparkiran lalu mengambil semua tas-tas belanjaan juga kantong plastik berisi sayuran dan lele serta kerang dan meletakkannya ke meja yang langsung memenuhi meja. Tanpa mempedulikan tatapan orang-orang, aku memotretnya lalu mengunggah ke WA. Aku sengaja mengunggahnya ke WA agar dibaca oleh Bang Rivan.
"Silakan."
Suara yang tak asing membuatku langsung mendongak. Mataku refleks melebar kaget dan dadaku berdebar keras saat bersitatap dengan Pak bos. Ia juga tampak terkejut. Ditatapnya belanjaanku yang bertebaran di meja lalu kembali menatapku yang cengar-cengir. Aku kan ijinnya ada keperluan penting. Sumpah aku rasanya malu banget kedapatan berbohong padanya
"He he." Aku tertawa kecil pada Pak Adam, lebih tepatnya menertawai kebodohanku sendiri bisa-bisanya masuk ke warung makannya. Andai aku tahu warung makannya di sini tentu aku tidak akan masuk.
"Pesanan akan segera diantarkan," katanya, lalu melangkah cepat meninggalku dan menghampiri meja lain meletakkan gelas berisi es batu juga teh botol. Duuh, jangan-jangan dia marah padaku. Karena tak enak hati ketahuan habis belanja padahal ijinnya ada keperluan penting yang tak bisa ditinggal, akhirnya kuambil semua barang belanjaanku lalu menuju bagian belakang warung makan ini tempat memasak. Kuletakkan belanjaanku di lantai lalu menata satu per satu kertas-kertas nasi yang sudah dipotong ukuran sedang ke piring lebar dari bambu.
Aku langsung menoleh ke belakang saat mendengar dehaman kecil, aku nyengir kecil saat bersitatap dengan Pak Adam lalu menunjuk ayam berbalur tepung terigu di dekatku.
"Itu digoreng?" tanyaku dengan canggung. Ia menatap belanjaan di lantai, lalu mengangguk.
"Iya," jawabnya. Meletakkan nasi yang ditakar menggunakan mangkuk ke piring lebar dari bambu yang telah kualasi kertas nasi.
Aku menuju penggorengan dan membesarkan api, sesekali menatap Pak Adam yang meletakkan sambal ke mangkuk. Kenapa dia diam saja, siih? Apa Benar-benar marah karena aku membohonginya?
Sumpah rasanya begitu canggung. Maka aku pun berkata mencoba mencairkan suasana yang semakin tak nyaman buatku ini.
"Memangnya di sini ada berapa karyawan?" tanyaku.
"Tiga," jawabnya tanpa menoleh.
"Dan semuanya libur?" tanyaku lagi dengan tangan memegang spatula panjang membalik chicken.
"Iya."
Jawabannya yang sedikit-sedikit membuatku menghela napas. Maka ucapku dengan kesal,
"Kalau semua karyawan libur, seharusnya untuk sementara, bapak mencari karyawan baru bukannya memaksakan diri mengerjakan semuanya sendirian. Kalau begini kan repot sendiri. Harusnya apa-apa itu dipikirkan dulu agar tidak menyiksa diri sendiri juga pelanggan!" ucapku yang membuat dadaku langsung terasa lega. Ia membalikkan badan hingga kini menghadapku lalu jari telunjuknya menuding dadanya sendiri dengan tatapan tak percaya.
"Kamu memarahi saya?"
Eh. Iya. Kenapa aku mengomelinya padahal dia bosku? Saat tatapan kami bertabrakan, aku langsung nyengir kecil.
"He he. Aku gak marahin bapak, kok. Aku hanya memberi tahu." Aku kembali nyengir. Ini gara-gara suasana hatiku sedang tak baik karena sikap Bang Rivan yang terus membela Rifani membuatku jadi uring-uringan dan melampiaskan kekesalan padanya. Ya lagian juga ditanya jawabnya sekata sekata, jadi suasana hatiku tambah jelek saja.
Baiklah, lebih baik segera minta maaf saja daripada aku semakin tak enak hati.
"Emp, Pak."
Dia menoleh, menatapku tajam.
"Emp ... tidak jadi, ding." Aku nyengir. Lalu menggaruk sekilas rambutku yang tak gatal. Ah, sumpah canggung banget. Kalau sikapnya seperti ini, kenapa tadi pagi menyuruhku membantunya, coba? Aku menatap jam di pergelangan tanganku yang telah menunjukkan pukul 12 siang lalu menyibak tirai, sungguh ramai sekali di luar. Sebaiknya aku tetap membantunya sampai sepi lalu ke kantor polisi untuk melaporkan perhiasanku yang hilang. Rifani, tunggu apa yang akan terjadi sebentar lagi. Aku benar-benar tak sabar menyaksikannya.