Sebesar apa sih

1271 Words
Setelah di pindahkan ke ruang lain, kini aku bisa kembali berbaring dengan tenang di brankar dan ruangan baru atas perintah Rangga. Membiarkan Dokter payah itu tidur di brankar milikku. Baru saja tubuhnya mendarat cantik di atas kasur empuk, Rangga kembali mendekat dengan bersidekap. “Jelaskan!” Hardik Rangga menatap tajam padaku, hanya ada kami berdua di ruangan ini. Sekertaris Rey masih di ruang perawatan tadi dan siap memberi Dokter tidur itu pelajaran. “Jelaskan apa.” Jawabku pura-pura tak tahu. Aku tidak berani menatap wajah apalagi matanya “Nadia, saya tahu kamu mengetahuinya!” Jawab Rangga tegas membuat nyaliku langsung menciut. Apa sih! Aku hanya menghindar saja kan tadi. “Ak- aku hanya takut dokter itu menyuntikan jarum jumbo itu padaku.” Lirihku membuat Rangga menatapku tak percaya dan menghembuskan nafas kasar. Tapi aku benar-benar takut tadi. “Itu hanya suntikan penenang Nadia!” Desahan kekesalan terdengar jelas di telingaku. “Mana tau itu hanya penenang! Aku hanya takut aku pingsan dan kalian menjualku.” Jujurku semakin membuah Rangga menghembuskan nafas lelah. “Saya tidak seburuk itu Nadia!!!” Suara berat Rangga membuat Nadia terlonjak. “Maaf.” Timpalnya, pria itu kini sudah duduk di sampingku. Menatapku sendu. “Lalu kenapa kau tertawa?” Hening. Aku tak menjawab. Bingung. “Tawamu menakutkan saya.” Dengus Rangga pelan namun masih terdengar olehku dan sontak membuatku kembali ingin tertawa. Ucapan Rangga membuatku mengingat awal mula kegaduhan tadi terjadi, aku kembali tertawa dan kembali membuat Rangga waspada. “Haha, aku tidak sesakit itu dosenku….” Jawabku menggoda masih di iringi senyum. Hati Rangga melunak, semakin nyaman duduk di samping brankar dan menatapku yang masih tertawa. “Aku hanya baru kali ini mendengarmu menjawab hal tak penting seperti tadi.” Jawabku jujur. Ku Kira seorang Rangga tidak akan mau menjawab hal tak penting seperti itu. Rangga kembali mengingat. Dia memang sempat menjawab kata aneh karena kesal tadi. “Lalu?” Tidak mungkin hanya karena itu saja kan? “Aku melihat keringat di pelipismu tadi.” Jawabku langsung berhenti, rasanya tidak sopan aku mengutarakan apa yang aku pikirkan tadi, kan? “Dan kau berfikir aku habis bergelut dengan wanita, begitu?” Lanjut Rangga membuatku malu. Tentu saja Rangga langsung bisa menebak apa yang gadis itu pikirkan, Rangga merupakan pria dewasa yang lebih berpengalaman. Namun kenapa Nadia sampai bisa berfikiran sejauh itu? Tapi jika di piki-pikir. Aneh juga jika Rangga berkeringat di ruangan yang penuh dengan AC. “Kemari!” Rangga memainkan telunjuknya, memintaku mendekat. Aku menurut, sedikit membungkukan badan dan mendekatkan wajahku padanya. Pletak! “Auww!” “Bersihkan pikiranmu!” Hardik Rangga membuatku langsung mengerucutkan bibir. “Pelajari mata kuliahmu, ingat kau sedang ujian saat ini.” Lanjut Rangga tegas. “Aku kan hanya beragumen, lagipula salah sendiri mendekat dengan keadaan seperti itu.” Ocehku tanpa sadar. Tanganku terus mengelus bekas pletakan tadi. Pelan memang, tapi terasa seperti habis di tampar sendal jepit. “Kamu menyalahkan saya?” Hardik Rangga membuat aku langsung tersadar dan tersenyum kikuk. “Hehe tidak-tidak. Bukan seperti itu." "Tapi jika di pilir-pikir kenapa juga kamu berkeringat seperti itu?” Tanyaku sedikit sungkan, namun jiwa keponya tak dapat di tahan lagi. Aku ingin tahu secantik apa wanita Pak Rangga hingga membuat Pak Rangga bermain sore-sore seperti ini. Kan, mulai lagi. Haruskah saya katakan jika saya habis berlari karena menghawatirkanmu, Nadia. “Kau ingin tahu hm?” Aku mengangguk kemudian memundurkan sedikit badan ketika Rangga beranjak dan duduk di samping brankarnya. Aduh, meremang kan. Tubuhku bergidik ketika Rangga meniup wajahku. “Ada wanita kecil yang membuat saya sampai berkeringat.” Tutur Rangga lembut. Aku membulatkan mata. Nah, benar kan. Eh tunggu, wanita kecil? Siapa dia? Aarghh Kalian kecolongan haha. Ejek Nadia pada semua mahasiswi yang mengejar Pak Rangga. “Dia bahkan selalu membuat saya ingin menerkamnya.” Lanjut Rangga dengan nada seksual membuat aku semakin membulatkan mata dan tanpa sadar jika Rangga sudah menghilang dari hadapanku. Membayangkan aksi Pak Rangga dengan gadis kecil yang dimaksud membuat aku kehilangan kesadaran dan tidak menyadari kedatangan Vivi yang baru saja tiba. “Kak?” “Kakak?” Vivi menggoyang-goyangkan lenganku yang masih belum sadar. “Eh iya?” “Ada apa?” Tanya Vivi penasaran. “Aku? Hehe gapapa.” Jawabku tersenyum kaku. Menatap kehadiran Vivi aneh. “Eh, darimana kau tahu aku disini?” Tanyaku baru menyadari jika aku baru saja pindah ruangan. “Aku melihat seorang dokter tidur di brankarmu tadi dan dokter lain mengatakan jika kamu di pindahkan.” Jelas Vivi panjang kali lebar. Aku manggut-manggut sambil membulatkan bibirnya membentuk huruf o. “Eh sebentar, tapi kenapa kakak bisa di pindahkan kesini?” Tanya Vivi heran. Yang dia tahu, seorang pasien tidak akan mudah berganti ruangan tanpa ada alasan yang jelas. “Hm anu, itu….” Aku berfikir keras, haruskah aku jujur dan cerita soal Pak Rangga. Eh Pak Rangga, kemana orang itu? “Selamat malam.” Seorang Dokter yang memeriksa Nadia kembali datang dan memotong ucapan Nadia. “Bagaimana kondisi anda saat ini nona?” Tanya Dokter tersebut ramah. “Hm aku, aku merasa lebih baik sekarang.” “Syukurlah, saya periksa sebentar ya.” Dokter itu mulai mengeluarkan alat-alatnya, memeriksaku dengan hati-hati dan telaten. Dia tersenyum memandangku. “Kondisi nona memang sudah membaik, dan anda bisa kembali saat ini juga.” Ujarnya sambil mencatat sesuatu di kertasnya. “Dan ini obatnya, saya hara panda bisa meminumnya dengan teratur nona.” Tuturnya ramah. “Baiklah dok terima kasih.” Jawab Vivi langsung dan segera membantu aku berdiri untuk seger kembali ke apartemen. Antara ragu dan tidak aku ingin kembali, aku ingin mengucapkan terima kasih pada Pak Rangga. “Kakak cari apa?” Tanya Vivi yang sedari tadi melihat Nadia seperti mencari sesuatu. “Ah, tidak. Ayo kita segera pulang.” Aku dan Vivi keruang pengambilan obat kemudian bergegeas pulang setelah mendapatnya. *** “Ada yang anda butuhkan, tuan?” Tanya Sekertaris Rey sopan, kemudian menatap tuannya lekat. Terlihat keringat kembali bercucuran dari pelipisnya. “Apa dokter payah itu sudah bangun?” Tanya Rangga. Dia sangat geram dengan kepala dokter itu. Bisa-bisanya dia bekerja sebodoh itu di rumah sakit miliknya. Rangga adalah seorang pemimpin professional yang tidak mengizinkan kesalahan sekecil apapun terjadi di bawah naungannya. Sebenarnya, bukan hanya pasal Dokter payah itu yang membuat Rangga repot-repot kembali keruangan. Rangga menghindari Nadia karena tidak ingin menerkam gadis polos itu tadi. “Apa AC di ruangan ini tidak terasa, tuan?” Tanya Rey khawatir. Dia bahkan mengabaikan pertanyaan tuannya. Rangga menatap tajam. Sebesar apa sih keringatnya hingga membuat semua orang tahu dia berkeringat. Tubuh sialan, kenapa juga harus tegang hingga mengeluarkan keringat melihat gadis itu. “Rey!” Suara khas Rangga baru kembali terdengar si telinga Rey setelah ditugaskan di kampus bermasalah itu. “Maaf, tuan.” “Untuk saat ini, Dokter Aditya belum sadar juga, tuan.” Lanjutnya dengan nada rendah. Hais. Rangga berdecih. “Urus kembali rumah sakit ini, aku tidak ingin mempekerjakan orang-orang tak berkompeten di dalam naunganku!” Tutur Rangga tegas. “Baik, tuan.” Tak lama seorang dokter masuk dan memberi kabar jika Nadia sudah kembali. Ya, Nadia tidak mungkin kembali tanpa ijin dari Rangga. Apalagi mengingat Rangga adalah pemilik rumah sakit ini, tentu saja pria itu dapat melakukan hal yang diinginkannya dnegan mudah. Lewat kaca jendela Rangga dapat melihat Nadia sedang masuk kedalam mobil bersama seorang gadis berambut pirang, juga dua bodyguard yang tak jauh dari posisi mereka. “Rey!” “Ya, tuan muda?” “Cari tahu siapa gadis itu!” Ujar Rangga mulai membalikan badan ketika mobil yang di tumpangi kedua gadis itu mulai melaju. Sekertaris Rey yang berdiri tak jauh darinya hanya mengangguk setelah melihat rambut pirang itu. “Baik tuan.” Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD