Patah menjadi dua

1066 Words
Lama, menunggu Nadia dalam perawatan, kini akhirnya Rangga bisa kembali bernafas lega setelah sang dokter mengatakan jika ini hanya efek orang hamil. “Jangan biarkan siapapun lagi masuk! Aku tidak mengizinkan siapapun menemuinya!” Tegas Rangga murka di depan para bodyguardnya. Awalnya Rangga hanya ingin menjemput Nadia, dia tahu gadis itu akan kesulitan ke kampus karena tidak memiliki kendaraan. Namun bukannya mengikuti ujian, mereka malah kembali kerumah sakit. Sudah kesekian kalinya Rangga membawa Nadia kerumah sakit akibat orang lain, kini tidak lagi. Rangga sudah memutuskan akan merawat Nadia dan melarang siapapun menemuinya termasuk Vian. Bocah tengik tak bertanggung itu. Semua membungkuk kemudian mengundurkan diri perlahan, tak lama Sekertaris Rey datang membawa dokumen tebal di tangannya. “Ini tuan.” Sekertaris Rey meletakan dokumen itu tepat di atas meja. Mereka kini sedang di dalam ruangan khusus pemilik rumah sakit, sedang Nadia berada di ruang perawatan VVIP dengan penjagaan yang ketat. Rangga meraih dokumen itu, dan mulai membacanya. Baru saja pada lembaran awal, mata Rangga langsung terfokus pada satu nama. “Vivi?” Ucap Rangga menggantung, menatap wajah Vivi lekat. Wajahnya yang ceria serta rambutnya yang terurai indah menghiasai kertas fotonya. “Iya tuan, menurut informasi yang saya dapat. Vivian adalah adik kembar dari Vian pranata.” Ucapan Rey membuat Rangga memicingkan mata. “Vivi dan Vian memang memiliki sifat yang berbeda. Vivi keluar dari rumah setelah ayahnya memutuskan menikah lagi.” “Siapa ibu sambungnya?” “Tidak ada informasi jelas tentang itu tuan, Tuan Dira menutup rapat perihal keluarganya setelah kematian istrinya.” “Aku ingin data lengkap segera, pastikan Vivi adalah gadis baik yang bisa aku ijinkan bersama dengan Nadia.” “Baik tuan.” Melenggang pergi setelah membungkuk. Di tempat lain, di jam yang sama. “Hmm, aku dimana?” Mataku menyipit kala sinar lampu yang begitu terang menghunus kornea mata. Beberapa kali aku mengerjap, mencoba mengenali ruangan yang serba putih tersebut. “Nadia, apa kau baik-baik saja?” Seseorang berlari menghampiri, membantuku bangun. “Rey! Turunkan cahaya lampunya!” Teriaknya. Aku belum dapat melihat jelas siapa dia karena terangnya cahaya. Tak lama kemudian, terangnya sedikit memudar. Kini aku dapat melihat jelas wajahnya. Begitu tampan, namun diringi dengan gurat cemas yang begitu memilukan. Aku melihatnya damai. Tidak diragukan lagi jika soal penampilan, pria itu selalu terlihat sempurna dengan jas hitam dan kemejanya yang senada. “Kau tidak apa-apa? Apa ada yang sakit?” Tanyanya lagi dengan cemas. Hatiku kembali sesak, kenapa bukan suamiku yang hadir? Kenapa harus selalu pria ini yang menolongku? Apa aku begitu tidak berharga bagi suamiku sendiri. “Aku baik-baik saja, Pak.” Jawabku dengan suara tertahan. “Minumlah.” Rangga menyodorkan segelas air putih. Aku menatap pria itu lekat. Rangga mengangguk, kemudian membantuku meminum airnya. Kehangatan dan perhatian Rangga semakin membuat aku sedih, perlakuan ini tak sepantasnya ia dapatkan dari pria ini. Bukan ini yang dia harapkan, dia mengharapkan kasih sayang dan perhatian dari Vian, suaminya. “Hey, kau mau kemana?” Tanya Rangga semakin panik ketika aku mencoba turun dan melepaskan infusan di lengannya. Namun aku tak menjawab, gadis itu tetap melakukannya. “Nadia.” Mencoba menahan. “Kumohon biarkan aku pergi.” Aku tidak ingin membuat kesalahan lagi, Pak. Kumohon hentikan perhatianmu ini. “Tapi kondisimu belum pulih, kau bahkan belum diijinkan kembali, Nadia.” Argh, Rangga bodoh! Kenapa kau begitu lemah di depannya. Rangga yang seperti singa langsung berubah seratus delapan puluh derajat jika di depan Nadia. “Terima kasih sudah menolongku, Pak. Tapi aku harus kembali.” Tak bergeming. “Aku harus melihat kondisi suamiku.” Maafkan aku! Deg. Apa katanya? Melihat kondisi suami? Rangga langsung membeku, ucapan Nadia yang sederhana itu melukai hatinya. Rangga menatap kepergian Nadia yang hampir tiba di pintu. Tidak! Rangga ayo kejarlah. Jangan biarkan gadismu hidup menderita lagi karena karena bocah ingusan tak bertanggung jawab itu. Tak putus asa, Rangga berlari dan meraih tangganya. “Nadia, sadarlah! Dia tidak memperdulikanmu, dia bahkan pergi dengan gadis lain setelah kalian menikah.” Aku menatap Rangga tak percaya “Bapak tahu?” Ya! Tentu saya tau. Saya tahu semua tentangmu, gadisku. “Ikutlah dengan saya, Nadia. Saya aka-.” “Bapak tolonglah! aku sudah menikah, biarkan aku pergi dan kembali pada suamiku.” Ucapanku sukses membuat Rangga terdiam. Bahkan Rangga hanya diam membiarkan aku melepaskan genggamannya. “Maafkan aku, Pak. Aku hanya tidak ingin menjadi istri yang durhaka.” Tuturku sendu kemudian dengan langkah tertatih keluar melewati pintu beserta pada bodyguard yang membungkukan badan. Di dalam mobil, tak henti air matanya mengalir. Ucapan tadi sangat menyakitkan, Bukan hanya bagi Rangga namun bagiku juga. Tapi aku tahu diri, aku bukanlah gadis lagi, aku sudah menjadi seorang istri, aku bahkan sudah mengandung seorang bayi. Maka dari itu aku memberanikan diri untuk berucap demikian. Jujur saja, aku sedikit menaruh hatinya pada Rangga. Memangnya perempuan mana yang tidak akan suka pada pria mapan, tampan dan kaya seperti Pak Rangga. Apalagi semenjak perhatian dan perlakuannya selama ini, membuat hatiku sedikit luluh. Tapi semua tidaklah benar, aku tidak ingin melakukan kesalahan untuk yang kedua kalinya. Cukup ia kubur dalam-dalam perasaannya itu. Gadis cantik berambut se pundak itu tidak ingin merasakan sakit dan kecewa akan cinta lagi, cukup oleh Vian dia merasakannya. Lama mengarungi perasaannya yang tidak stabil, tak lama ponselnya berdering, sedikit ujung bibir Nadia tertarik. Vian, Vian pasti menghubungiku. Tuturku penuh harap. Namun senyumnya langsung menghilang ketika yang menghubunginya bukanlah Vian, melainkan pihak kampus. “Hallo, selamat siang. “Iya, siang?” Aku berfikir keras, hal apa yang membuatnya harus di hubungi pihak kampus. “Ada kabar jika anda sedang sakit dan harus melewati masa pemulihan.” Tuturnya ramah. Aku terdiam. Tau darimana? Astaga, aku bahkan lupa kalo hari ini ujian! “Hallo?” Sahutnya karena tidak ada tanggapan. “Ah, iya.” “Apa itu benar?” “I-iya, itu benar.” “Baik, mengingat pentingnya ujian saat ini, maka dari itu kami memberikan keringanan kepada anda dengan mengikuti ujian via online dengan peraturan-peraturan tertentu.” Ujarnya membuat aku bernafas lega. “Semua kepentingan dan hal yang terkait di dalamnya akan kami kirimkan segera.” Lanjutnya. “Baik kak, terima kasih banyak.” Aku sangat senang. Akhirnya aku tidak melewati ujian hari ini, dia bahkan mendapat perhatian khusus. “Sama-sama.” Jawabnya, tak lama sambungan telpon terputus. Aku tersenyum, mengusap perutnya lembut. “Lihat sayang, semua mendukung kita. Yang sehat ya, aku akan bekerja keras demi kalian.” Berbicara sendiri, tak memperdulikan sang sopir yang menatapnya. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD