Aku duduk di tepi ranjang sembari memijat pelipisku yang terasa pening. Bagaimana mungkin ada gadis aneh di atas ranjangku pagi ini? Bagaimana bisa ia masuk ke sini sementara keamanan rumahku sangat ketat.
Terlebih, bagaimana bisa ia menembus pintu kamar mandiku dengan begitu mudah?
Apa benar gadis itu hantu? Aku mengusap wajahku kasar. Apakah belum cukup kesialan yang kualami akhir-akhir ini? Dan sekarang, ada hantu yang berusaha mengusik hidupku.
Hahahah... aku tertawa meski dengan nada sumbang. Apa-apaan ini? Kurasa pikiranku semakin kacau. Mana mungkin makhluk sejenis hantu itu benar-benar ada? Lagi pula, wujudnya tak seperti hantu seperti yang orang-orang bilang.
Dia... cukup manis.
Aaarrgh! Sialan. Kenapa aku malah memuji wajahnya? Dan kenapa disaat-saat seperti ini aku malah terbayang tubuhnya yang pendek dan mungil itu? Menggemaskan sekal- ah! Berhentilah, Arthur! Harusnya kau usir dia, bukan malah terus membayangkan sosoknya seolah kau tengah memujanya!
Aku bangkit dari posisiku. Benar. Aku harus segera menyingkirkannya dari tempatku.
Aku melangkah lebar menuju kamar mandi. Aku hendak membuka pintunya dengan kasar. Namun, baru menyentuh hendel pintu, aku mengurungkan niatku.
Aku mendengarkan lamat-lamat, terdengar suara isakkan dari dalam kamar mandiku. Aku mendekatkan telingaku ke pintu. Dan isakkan itu terdengar semakin jelas.
Gadis itu menangis?
Sudah kuduga! Dia pasti manusia. Bisa-bisanya aku mengatainya sebagai hantu. Lagi pula, sejak kapan aku bisa melihat hantu?
Aku membuka pintu kamar mandi secara perlahan. Dan hal yang aku lihat pertama kali adalah sebuah adegan drama yang dulu sering ditonton ibuku.
Seorang gadis yang tengah manis di bawah guyuran shower. Pakaian yang ia kenakan sudah basah kuyup. Dan aku tidak seberengsek itu untuk membiarkan seorang gadis rapuh sepertinya menangis pilu di kamar mandiku.
Aku menghampirinya, mematikan shower lalu berdiri di hadapannya.
"Hey hey, diamlah! Aku tidak berbuat apa-apa padamu semalam," ucapku. Itukan yang ia butuhkan? Aku beberapa kali melihat di sinetron bahwa gadis kecil sepertinya akan menangis di bawah shower setelah merasa dinodai.
"Hiks... apa kau suamiku?" tanya gadis itu sembari mendongak ke arahku.
"Oh ayolah, jangan meminta jantung setelah aku memberimu hati!"
"Jadi kau benar suamiku?" Aku melotot. Apa dia tidak mengerti kata-kataku barusan? Kenapa malah menganggap aku sebagai suaminya?
"Hiks. Aku senang kamu ada di sini, suamiku. Lindungi aku! Aku takut!" isaknya sembari memeluk kakiku dengan tubuh yang basah kuyup itu.
Aku melepaskan dekapannya. Mendorongnya sedikit menjauh agar tak membuatku risih.
"Dengar, aku tidak tahu drama apa yang sedang kau mainkan. Tapi percayalah, aku tidak menyentuhmu sedikitpun. Jadi aku rasa sebaiknya kau segera pergi dari sini!" usirku.
Dia mulai bangkit berdiri. Kami saling berhadapan, masih dengan ia yang menangis.
"Kamu tidak mengerti. Aku benar-benar takut. Tolong bantu aku!" lirihnya.
"Baiklah. Katakan!"
"Ak.. aku.. aku... apa yang terjadi padaku? Aku takut, suamiku," ujarnya.
Aku memutar bola mataku malas. Lagi, dia kembali berdrama. "Oh ayolah, sudah aku katakan aku sama sekali tidak menyentuhmu semalam. Jadi-"
"Aku mati?" Aku mendelik kaget. Apa-apaan ini? Apa dia sedang menuduh aku membunuhnya?
"Hey, dengar! Menyentuhmu saja tidak. Bagaimana bisa kamu tiba-tiba menuduh-"
"Aku mati! Lihat ini! Tak ada bayanganku di cermin." Ia menuntunku untuk melihat ke arah cermin di dekat washtafel.
Mataku membulat. Bagaimana bisa hanya ada bayanganku di sana? Padahal jelas-jelas gadis aneh ini ada di sampingku.
"Jad.. jadi kau hantu?" tanyaku ragu. Aku masih setengah tidak percaya. Mana mungkin aku terbangun dari tidurku dan tiba-tiba bisa melihat hantu?
Gadis itu mengangguk. Matanya tampak sembab khas orang habis menangis. Aku menyentuh bahunya. Dan tanpa diduga, aku dapat melakukannya.
"Tapi aku bisa menyentuhmu," ujaku.
Dia menatapku bingung. Sepertinya gadis ini masih terlalu muda. Mungkin masih SMA, atau semester awal kuliah. Wajahnya benar-benar polos bak seekor anak kucing.
"Siapa namamu?" tanyaku.
Dia terdiam. Masih terus memperhatikanku tanpa bergeming. Aku pun melakukan hal yang sama. Aku melihat tubuhnya yang basah kuyup dari atas hingga ke bawah.
"Nama? Bukankah kamu suamiku? Harusnya kamu tahu-"
"Sudah aku katakan, aku bukan suamimu. Kita tidak pernah saling mengenal sebelumnya," potongku cepat.
Dia menatapku sendu. Jujur, aku tak menemukan kebohongan apapun dari matanya. Ia benar-benar tampak begitu polos, dan kebingungan.
"Jadi aku siapa? Kenapa aku bisa tidur di sampingmu jika kamu bukan orang yang aku kenal? Di mana tubuhku? Dan kenapa aku bisa mati?"
Apa yang harus kukatakan? Aku bahkan tak mengenalnya sama sekali.
"Aku tidak tahu. Tapi sungguh, aku tak mengenalmu," jawabku jujur.
Maaf bila aku menyakitinya. Tapi aku benar-benar tidak tahu dan tidak mau tahu tentangnya. Aku punya setumpuk pekerjaan yang harus kuselesaikan di kantor. Aku tidak punya banyak waktu untuk mengurus segala masalahnya.
"Bisakah kau pergi dari rumahku? Aku harus segera bersiap ke kantor. Aku punya banyak pekerjaan," usirku.
"Aku harus ke mana?"
"Entahlah. Kau bisa ke mana saja yang kau mau. Dan yah.. mungkin saja kau bukan hantu, tapi kacaku yang rusak," jawabku asal.
Gadis itu tersenyum tipis. "Benarkah? Menurutmu begitu?"
"Ya. Buktinya aku bisa menyentuhmu. Dan kita bisa berkomunikasi sekarang. Aku bukan orang indigo."
Dia semakin melebarkan senyumnya. Jujur, aku suka senyuman itu.
"Baiklah. Kalau begitu aku akan pergi. Aku akan mencoba mengingat-ingat siapa diriku sebenarnya. Maaf telah mengganggumu," ungkapnya.
Aku menghela napas kasar setelah ia melewatiku, berjalan keluar dari kamar mandiku.
Tunggu! Seperti ada yang salah.
"Hey, keringkanlah dulu dirimu sebelum keluar dari kamarku! Aku juga tak keberatan meminjamkan baju untukmu kalau-"
"Tidak perlu. Kau kan laki-laki. Aku tidak mau memakai pakaian laki-laki. Nanti juga bajuku bisa kering sendiri," tolaknya.
Baiklah. Terserah. Setidaknya aku sudah menawarinya. Aku cukup baik, bukan?
Aku menutup pintu kamar mandiku. Aku harus kembali ke rutinitasku. Memulai hariku seperti biasa.
*
Selesai mandi dan sarapan, aku segera memundurkan mobilku dari garasi. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi, tapi aku tidak begitu peduli selama tak ada meeting pagi ini.
Aku melajukan kendaraan roda empat ini dengan kecepatan sedang menuju tempat kerjaku. Sebuah kantor yang didirikan mendiang ayahku dengan susah payah sejak usia mudanya.
"Kamu mau kerja?"
'Ciiiittttt'
Aku bersyukur jalanan pagi ini cukup sepi. Sehingga tak ada yang mencaciku saat aku menghentikan mobilku secara mendadak seperti ini.
Aku menoleh ke samping, dan mendapati gadis aneh itu tersenyum ke arahku.
"Sejak kapan kamu di sana? Bagaimana caranya kamu masuk ke mobilku?"
"Kau tahu, aku benar-benar sudah menjadi hantu. Aku sudah berusaha berbicara pada beberapa orang secara acak. Dan tak satupun dari mereka yang bisa melihatku," ujarnya santai.
Aku kembali membulatkan mataku. Gadis ini benar-benar ajaib. Pikiran dari mana itu? Hantu? Yang benar saja!
"Jangan bercanda. Aku tidak suka dengan caramu menggodaku! Sangat klasik," ejekku.
"Ck, lihat ini! Aku bisa menembus mobilmu seperti ini!" serunya sembari memainkan tangannya keluar-masuk menerobos pintu mobilku.
Oh astaga! Jadi dia benar-benar...
"Sekarang kamu percaya, kan?" tanyanya.
Jadi, aku bisa melihat, bahkan berkomunikasi dengan hantu? Bagaimana bisa?
"Baik, aku percaya. Lalu apa maumu sekarang?" tanyaku.
"Aku tidak tahu siapa namaku. Aku tidak tahu siapa keluargaku. Aku-"
"Kau mau nama?" tebakku. Ia mengangguk cepat menanggapi pertanyaanku.
"Tolong beri aku nama! Tidak perlu panjang. Nama panggilan pun boleh."
Dasar kucing kecil ini!
"Lucy."
"Ya?"
"Namamu adalah Lucy." Nama itu terlintas begitu saja di otakku. Melihat wajah polosnya, aku jadi teringat kucing betina milik ibuku. Dan namanya adalah Lucy.
Lucy tersenyum sembari menatapku penuh binar. Sepertinya ia menyukai nama yang kuberikan, tanpa tahu jika aku mendapatkannya dari nama seekor kucing betina.
Rasanya aku ingin tertawa. Tapi aku menahannya. Terlalu gengsi aku tertawa di depan hantu aneh seperti dia.
"Jadi namaku Lucy? Kenapa terdengar begitu manis?"
"Seperti seekor kucing. Ya. Kamu sedikit mirip dengan hewan seperti itu," balasku.
Bukannya marah, ia malah semakin melebarkan senyumnya. Dasar hantu gila!
"Woah!!! Tapi kalau aku pikir-pikir, nama itu bagus juga. Sepertinya aku akan menyukai kucing mulai sekarang. Aku lihat, kau punya satu di lantai bawah rumahmu," ujarnya.
"Ah ya. Namanya Lawu," jawabku.
Lawu adalah kucing betina berwarna abu-abu, seperti namanya. Dia adalah kucing ibuku juga. Cucu dari Lucy.
"Baiklah. Aku akan menjadi sahabat Lawu mulai sekarang," girangnya.
Aku menyerit. Menangkap ada sesuatu yang aneh dari kalimatnya.
"Menjadi teman Lawu? Maksudmu? Bukankah kau sudah kusuruh pergi?"
"Tidak tidak! Aku tidak akan pergi. Jelas-jelas hanya kamu yang bisa melihatku. Kau adalah satu-satunya keluarga yang aku punya. Jadi-"
"Aku bukan keluargamu," ralatku.
"Mulai sekarang aku akan menganggapmu sebagai keluarga dan pelindungku. Jadi aku akan tinggal bersamamu," balasnya.
Aku baru saja hendak protes, namun dia sudah lebih dulu mengintrupsiku.
"Dan aku tidak peduli kalau pun kamu mau mengusirku hingga ribuan kali. Pokoknya, aku akan terus berada di sampingmu, setidaknya hingga ingatanku pulih dan aku bisa bersama dengan keluargaku yang sebenarnya."
Apa dia gila? Aku akan diikuti hantu ini dalam kurun waktu yang belum pasti?
Seharusnya sedari tadi aku tak perlu meladeninya. Lucy? Nama apa itu? Aku jadi menyesal sudah memberinya nama yang sama dengan kucing kesayangan ibuku.
Sialan! Setelah bangun dari mimpi buruk, kini aku harus dihadapkan dengan takdir yang sama buruknya bersama setan kecil ini.