14 - Nyaman

2227 Words
Malam ini, aku merasa tidak tenang sehingga untuk tidur saja rasanya sangat sulit. Aku bisa mendengar detak jam yang berbunyi tiap detik. Iseng, aku melirik ke benda yang menggantung di dekat pintu masuk kamarku itu. Sudah hampir jam satu dini hari, dan aku masih terjaga. Aku bergerak tidur menyamping. Mencari posisi senyaman mungkin untuk tertidur. Tapi, mau sekuat apapun aku berusaha, nyatanya aku tak juga segera pergi ke alam mimpi. Kasurku terasa kosong. Sepi, seperti saat sebelum Lucy datang ke kehidupanku. Entah mengapa, kini aku merasa seperti ada yang kurang. Bagaimana mungkin aku merindukan kehadiran setan kecil itu? Aku frustrasi. Aku menyibak selimutku dan segera menurunkan kakiku dari atas ranjang. Aku bangkit, lalu berjalan keluar dari kamar dengan langkah perlahan agar tak mengganggu penghuni lain di rumah ini. Langkahku membawaku ke lantai satu. Aku berbelok dari ruang makan, menuju sebuah ruangan yang letaknya bersebelahan dengan kamar tamu. Sebuah ruang khusus yang aku gunakan sebagai tempat tinggal Lawu selama ia bersamaku. Perlahan, aku membuka pintunya. Hal yang pertama menyita perhatianku tentu saja tubuh tingkih seorang gadis yang tampak tidur sambil memeluk kucing abu-abuku. Astaga, apa ia nyaman tidur dengan posisi seperti itu? Aku menghampirinya. Menatap wajahnya yang polos tanpa pulasan apa pun. Ia tampak begitu murni dan manis. Hidungnya tak begitu mancung, dan jangan lupakan bibirnya yang mengkerut seperti bayi kehausan. Saat tertidur, ia tampak berjuta-juta kali lebih cantik. Ia tampak tenang dan begitu damai dengan alam mimpinya. Bolehkah aku merasa iri? Tampaknya aku tidak pernah tidur selelap ini. Aku bahkan sampai lupa kapan terakhir kali aku bisa tidur nyenyak tanpa gangguan mimpi buruk. "Ck, aku jadi ingin mencubit pipinya. Tapi di satu sisi aku juga tidak tega mengganggunya," gumamku lirih. Tampak adanya pergerakan kecil yang cukup mengagetkanku. Aku pikir, Lucy terganggu dengan suaraku. Tapi ternyata pergerakan itu berasal dari Lawu yang merenggangkan tubuh gemuknya. "Mengagetkan saja," keluhku. Tak lama, aku melihat kelopak mata Lawu terbuka. Kucing abu-abu itu menatapku dengan tatapan polosnya. "Ssstt..." aku menyuruhnya diam. Dan sepertinya, dia mengerti. Atau memang dia malas berkomunikasi denganku? Aku kembali fokus pada Lucy. Harusnya ia tidak merasa nyaman tidur dengan posisi seperti ini. Tapi kenapa ia hanya diam saja? Aku tak tahan lagi. Aku segera mengangkat tubuh Lucy secara perlahan agar ia tak terganggu. "Meow," "Ssstt ..." Dasar Lawu sialan! Sudah aku suruh diam, tapi dia malah mengeong saat induknya aku angkat. Apa kucing sialan itu sengaja mengerjaiku? Lucy menggeliat. Aku sampai harus berusaha menahan napas agar ia tidak terbangun. Dan syukurlah, Tuhan masih berpihak padaku. Lucy tetap memejamkan matanya bahkan saat tubuhku yang menggendongnya sudah sepenuhnya beridiri. Aku berjalan pelan membawa tubuh ringan Lucy ke kamarku. Tampak Lawu hendak mengikuti, tapi dengan segera aku menutup pintu cat room dengan kakiku yang bebas. Enak saja dia mau ikut tidur ke kamarku setelah apa yang dia lakukan beberapa waktu yang lalu! Mungkin karena Lucy hanya arwah, aku tak merasa keberatan sama sekali saat membawa tubuhnya menaiki tangga. Ia beberapa kali menggeliat. Membuatku mau tidak mau harus berhenti sejenak untuk meminimalisir pergerakan kami. Setelah ia tampak tenang, aku melanjutkan langkahku menuju kamar. Untung saja, aku tidak menutup pintu kamarku tadi. Sehingga aku tidak perlu memutar otak untuk mencari cara agar bisa membukanya. Aku meletakkan tubuh Lucy dengan sangat berhati-hati, lalu segera menyelimutinya. Ayolah! Jangan berpikir bahwa aku pria m***m yang ingin tidur bersama gadis polos sepertinya. Di mataku, dia tetaplah hantu dan tak mungkin juga aku b*******h karena makhluk sepertinya. Aku hanya menggunakan insting manusiaku untuk tidak membiarkannya tertidur dengan posisi tidak nyaman di ruangan kucingku. Apa lagi aku memiliki kasur berukuran king size yang sangat nyaman. Aku cukup tersinggung jika ia memilih tidur di lantai dibanding kasur mahalku ini. Setelah memastikan Lucy sudah nyaman dengan posisinya, aku kembali ke pintu dan segera menutupnya. Lalu aku bergabung dengan Lucy di bawah selimut yang sama. Sudah lewat dari jam tidurku. Aku harus segera beristirahat meski besok hari Minggu. Perlahan, aku memejamkan mataku yang sedari tadi terasa alot untuk diajak beristirahat. Namun kali ini entah kekuatan apa yang membuat mataku terasa berat dan begitu mudah untuk menutup. Tanpa menunggu waktu lama, kesadaranku pun hilang. * Aku terbangun saat merasakan rasa tak nyaman di tubuhku. Aneh. Seingatku, aku semalam tidur di kamarku. Tapi, kenapa saat ini aku terbangun di tempat lain? Rumah sakit. Aku mengingat setiap detail tempat ini. Salah satu tempat yang paling tidak aku sukai di muka bumi. Karena tempat ini pernah menjadi bagian dari masa laluku yang membuatku trauma. "Di depan sudah banyak media datang. Apa sebaiknya kita memindahkan Tuan Arthur secara diam-diam?" "Bagaimana dengan keluarga korban?" "Sebagian besar dari mereka menuntut pelaku penyebab utama kecelakaan. Dan semuanya benar-benar mengarah pada Tuan Arthur." Aku bisa mendengar percakapan yang terjadi di luar ruanganku itu. Aku merasa seperti mengalami deja vu. "Mereka menuntut ganti rugi yang besar." "Berikan saja! Tolong atur saja semuanya selagi mereka mau tutup mulut. Untuk kepindahan Tuan Arthur, biar aku yang mengurusnya." Aku ingat jelas pernah mendengar percakapan itu sebelumnya. Tapi aku tidak yakin. Rasanya seperti mimpi. Dan aku tidak tahu mana yang merupakan mimpi dan mana yang nyata. Saat aku mengejapkan mata, tiba-tiba dadaku terasa sesak. Aku refleks menoleh ke belakang. Dan aku melihat ada beberapa mobil mengikutiku. Aku mulai panik. Ke mana perginya para pengawalku? Aku tidak bisa fokus pada jalanan hingga akhirnya aku menyetir dengan ugal-ugalan. Sialan! Sepertinya aku dijebak. Mereka sengaja menggiringku menuju jalanan ini dan memisahkanku dari rombongan. Kalau sudah seperti ini, aku bisa apa? Aku hanya memiliki sepasang tangan yang harus kugunakan untuk fokus menyetir. Mana bisa aku meminta bantuan di saat seperti ini? Dikejar-kejar seperti ini membuatku merasa seperti orang yang sudah hampir gila. Sangat sulit bagiku untuk mempertahankan kewarasanku. Napasku semakin memburu. Tubuhku kian menegang dengan urat-urat yang menonjol di sepanjang lenganku. Tidak! Aku benar-benar bisa gila! "Arthur!" Suara itu... "Arthur hey, bangunlah!" "ARTHUR!" Aku tersentak saat mendengar seseorang meneriakkan namaku. Aku terlonjak saking kagetnya hingga kini aku berada pada posisi duduk, dengan napas yang sudah tak karuan. Aku bisa merasakan bulir-bulir keringat keluar dari seriap sudut tubuhku. Tunggu! Di mana aku? Apa yang terjadi padaku barusan? "Kamu baik-baik saja? Apa kamu habis bermimpi buruk?" Aku segera menolehkan kepalaku ke samping. Menatap gadis yang kini tampak mengkhawatirkanku. Jadi, yang barusan itu hanya mimpi? Aku kembali memegangi dadaku. Berusaha menstabilkan napasku yang semakin menggila. "Arthur, jawab aku! Apa yang ter-" 'Gleppp' Aku tidak tahan untuk tidak mendekap tubuh mungil gadis itu. Lucy. Kenapa memeluknya di saat seperti ini bisa menimbulkan efek luar biasa pada tubuhku? Aku bisa merasakan napasku yang perlahan mulai normal berkat aroma manis dari tubuh Lucy. Aromanya benar-benar seperti memberi kesan aromaterapi padaku. "Arthur, kamu-" "Diamlah sebentar saja! Biarkan aku dalam posisi seperti ini lebih lama lagi. Pinjamkan aku tubuhmu sebentar untuk membuatku merasa lebih tenang," pintaku dengan suara lirih. Napasku memang belum sepenuhnya normal. Tapi setidaknya aku bisa mengatakan apa yang menurutku memang perlu aku katakan saat ini. "Hmm ..." Lucy bergumam. Namun setelah itu aku tak lagi mendengar suaranya. Sepertinya ia bisa mengerti apa yang aku butuhkan saat ini. Aku masih terus memeluknya. Rasanya sangat tidak rela jika harus melepaskan tubuh itu begitu saja. Rasanya sangat nyaman. Namun, aku segera tersadar kalau ini tidak benar. Aku pun mengurai pelukanku pada tubuh mungil itu. "Sudah merasa baikan?" tanyanya pelan-pelan. Aku mengangguk. Mataku tak sedetikpun berpaling dari wajah kecilnya. "Kamu habis bermimpi buruk ya? Mau aku ambilkan air?" tawarnya. Aku menggeleng. "Aku baik-baik saja. Sudah cukup lebih baik." Lucy mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan entah kenapa, tiba-tiba hal itu seakan mampu menarik urat senyumku. "Masih jam tiga. Kamu tidurlah lagi!" suruhnya. Ia membantuku untuk kembali rebahan di kasur. Sejenak, suasana menjadi hening. Kami sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Entah apa yang ada di pikirannya, aku pun tidak bisa membacanya. "Tunggu dulu! Kok aku bisa ada di sini? Bukannya-" "Aku yang memindahkanmu ke sini. Kamu kelihatan tidak nyaman tidur di lantai," potongku sambil menolehkan kepalaku ke arahnya. Lucy ikut menoleh hingga tatapan kami bertemu. Ia tak langsung menanggapi ucapanku. Melainkan memberi jeda sejenak untuk keadaan kembai menjadi hening. "Benarkah? Kok aku tidak sadar sama sekali?" bingungnya. "Kamu tidur terlalu lelap saat aku memindahkanmu. Atau memang gendonganku saja yang terlalu nyaman sehingga kamu tidak terganggu sedikitpun?" ucapku diselingi candaan. Ia tekekeh. "Iya. Sepertinya karena aku nyaman saat kamu menggendongku," jawabnya tak terduga. Aku membulatkan mataku. Bagaimana bisa ia berkata demikian dengan sesantai itu? Apa saat bersama pria lain ia juga akan sefrontal ini? "Kenapa?" Ia tampaknya menyadari perubahan ekspresiku. Dengan cepat, aku berguling sehingga tidur menyamping menghadap ke arahnya. Aku menatapnya dengan tatapan serius. "Apa saat bersama pria lain kamu juga suka bicara asal seperti itu?" tanyaku. Dia menyerit. "Kapan aku bicara asal? Aku kan cuma-" "Jangan diulangi!" potongku. "Apa?" "Bicara seolah-olah kamu memberikan harapan pada seorang pria." "Hah?" Astaga, dia tidak mengerti juga? "Kamu barusan berbicara seolah kamu sedang memberikan harapan pada seorang pria. Itu tidak baik," terangku. "Benarkah? Aku tidak merasa begitu. Aku hanya bicara sesuai dengan yang sedang aku rasakan," gumamnya. "Lain kali jangan diulangi! Terlebih pada laki-laki selain aku!" "Kenapa?" "Karena mereka bisa berharap lebih padamu. Kamu akan merasa sangat berdosa jika tanpa sadar membiarkan mereka terlalu berharap namun akhirnya kamu sendiri tidak bisa membalas harapan mereka," jelasku. Aku harap dia paham dengan yang aku katakan. Meski aku sendiri pun merasa bahwa kata-kataku memang cukup berbelit-belit. Sebenarnya aku ini mau bicara apa, sih? "Hmm... jadi ucapanku barusan membuat kamu merasa mendapat harapan palsu dariku?" tanyanya dengan nada polos. Aku diam tak menjawab. Kalau sudah disudutkan dengan pertanyaan seperti ini, aku harus menjawab apa? "Maaf ya," ungkapnya. Aku langsung bangkit dan menarik diri untuk duduk. "Maaf? Maaf kenapa?" Jujur, aku sedikit terganggu dengan pernyataan maafnya yang tiba-tiba. Apa yang membuatnya harus minta maaf padaku? Memangnya dia salah apa? "Maaf karena sudah memberikan harapan palsu padamu. Aku-" "Sialan!" Aku tidak tahu kenapa, tapi aku benar-benar kesal sekarang. Aku bangkit meninggalkan kasur lalu berjalan menuju kursi panjang di kamar ini. Aku pun merebahkan tubuhku di sana. "Kamu marah? Tapi kenapa kamu harus marah? Aku baru saja minta maaf loh kalau-" "Diamlah! Aku butuh tidur! Sedari tadi kamu mengganggu tidurku!" ketusku. "Kapan aku mengganggunya? Bukankah tadi dia baik-baik saja denganku? Kenapa tiba-tiba dia- ah sudahlah!" Aku mendengar ia terus bergumam. Aku mencoba tak peduli. Berpura-pura tertidur dengan keadaan terlentang di sofa yang bagkan tidak bisa menampung panjang tubuhku ini. Dasar gadis sialan! Kenapa dia tidak berinisiatif untuk membujukku sih? Setelah cukup lama, aku menoleh ke arah kasurku. Aku terkejut saat beradu tatap dengannya. Lucy belum tertidur. Dan sialnya saat ini dia memergokiku yang sedang menoleh ke arahnya. "Apa nyaman tidur dengan posisi seperti itu?" tanyanya. Aku berusaha tak memperdulikannya. Aku memutar tubuhku membelakanginya. Harusnya ia tidak bertanya begitu. Tapi langsung saja membujukku untuk kembali ke kasur. Tapi, rasanya bak mengharap dari kemustahilan jika aku ingin gadis itu peka. Bahkan, sekitar lima menit kemudian aku merasakan sebuah kain tebal menyelimutiku. Aku yakin Lucy pelakunya. Bukannya menyuruhku kembali ke kasur, dia malah seperti mengusirku secara halus. Aku benar-benar kesal dibuatnya. Dengan cepat, aku memutar tubuhku dan meraih tangannya. Meraih tangan mungil itu agar pemiliknya jatuh ke sofa yang kutiduri. Sofa ini memang cukup luas untuk menampung tubuh dua orang. Hanya saja panjangnya memang kurang untukku. "Arthur, apa yang kamu lakukan?" tanyanya. Saat ini aku menyimpannya di dalam pelukanku. Membawa tubuh mungilnya ke dalam selimut dan memeganginya erat-erat agar tidak bisa kabur dariku. "Tidurlah!" "Ini juga aku mau tidur. Tapi kenapa kamu-" "Aku tidak akan bisa tidur kalau kamu terus saja menggangguku," potongku. "Kalau begitu lepaskan aku! Agar kamu tidak terganggu denganku!" pintanya. "Kamu pasti akan terus bergerak dan menimbulkan suara yang menggangguku jika aku lepaskan. Jadi untuk lebih amannya, aku harus memegangimu seperti ini," tolakku. Astaga, alasan macam apa yang baru saja keluar dari mulutku itu. Aku menunggu Lucy menyahuti ucapanku. Namun, suara gadis itu tak kunjung tertangkap oleh indera pendengaranku. Tidak mungkin kan ia bisa tertidur secepat ini? Terlebih dengan posisi kami yang seperti ini. Aku juga tidak tahu apa yang membuatku seketika ingin memeluknya. Aku hanya ingin saja melakukannya. Rasanya sangat nyaman. Tatapan kami bertemu sesaat setelah aku membuka mataku. Ternyata, dugaanku benar. Ia belum tidur. "Tidurlah!" suruhku lagi. "Lepaskan dulu!" pintanya. "Aku sudah nyaman seperti ini. Jadi sebaiknya kamu segera tidur saja karena percuma juga aku tidak akan melepaskanmu," ujarku. "Arthur," rengeknya. Aku berusaha menulikan telingaku. "Ck, anak kecil ini berani-beraninya memanggilku dengan nama saja. Padahal jelas-jelas aku lebih tua darinya," gumamku, sengaja supaya ia bisa mendengarnya. Aku mendengar Lucy mendumel tidak jelas. Dasar! Disuruh tidur saja sesusah ini. "Tidurlah, Lucy! Besok aku akan membelikanmu makanan yang enak kalau kamu mau menurut," ucapku mengiming-imingi. "Aku tidak nyaman tidur seperti ini. Rasanya kamu seperti sedang mengurungku," ujarnya. Ya memang kenyataannya begitu, kan? "Aku memang sengaja mengurungmu supaya kamu tidak mengganggu. Jadi cepat tidurlah!" "Tidak mau! Kamu saja yang tidur kalau kamu mau. Aku sih nggak mau," tolaknya. Dasar setan keras kepala. Baiklah. Toh aku tetap tidak akan melepaskannya meski aku tertidur. Dan toh nantinya dia juga akan capek sendiri dan akhirnya ikut ketiduran. Memangnya berapa lama ia mampu berpura-pura kuat untuk tetap terjaga? Aku kembali memejamkan mataku. Tangan kananku mempererat pelukanku pada tubuh mungil Lucy. Aku kembali mendengar ia mendumel. Tapi tentu saja aku tidak peduli. Aku pun kembali berusaha untuk terjun ke alam mimpi, dengan membawa Lucy yang kini ada di dalam pelukanku. Mungkin, jika aku memeluk Lucy, ia akan ikut serta jika aku bermimpi buruk. Mungkin ia juga bisa membantuku sehingga aku tidak merasa sendiri lagi jika mimpi buruk itu kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD