12 - Sang Kekasih

1552 Words
Aku sampai di pelataran sebuah rumah mewah yang didominasi warna putih. Sudah beberapa bulan aku tak menginjakkan kakiku di sini. "Selamat siang, Tuan. Nona Angel sudah menunggu di dalam," ujar seorang pelayan pria menghampiriku. Aku mengangguk paham. Aku sudah sangat terbiasa dengan keadaan rumah ini yang memang bak istana. Berbeda denganku yang lebih suka ketenangan dan tak memperkerjakan banyak orang di rumah, Angel memang lebih terbiasa dengan kehidupan yang glamor. Ia memang sosok yang mandiri. Tapi di satu sisi kadang ia juga mau diperlakukan layaknya princess. Tapi, bukankah itu wajar? Toh keadaan keluarganya memang sangat mendukung untuk ia bisa mendapat semua fasilitas itu. Aku di sambut beberapa pelayan yang membungkuk saat aku masuk melalui pintu utama rumah Angel. Belum sempat aku duduk, suara sahabat kecilku itu sudah lebih dulu terdengar. "Arthur!" serunya. Ia berlari turun dari tangga, kemudian memelukku. Tanpa ragu, aku pun membalas pelukannya. Aku merasa ada yang aneh padanya. "Kamu kurusan?" tanyaku to the point. "Aku sering melewatkan sarapan selama di Amsterdam. Biasanya langsung brunch jam setengah sepuluh. Sering begadang juga sih. Kelihatan banget, ya?" tanyanya balik. Aku mengangguk. "Ah pantas saja bajuku rasanya aneh. Seperti agak kebesaran," ujarnya. Aku terkekeh. "Ya sudah ayo kita isi lagi tubuhmu biar lebih berisi dan bisa nyaman lagi pakai baju-baju kamu itu!" ajakku. Ia mengangguk. Lalu, ia membenarkan letak tas selempangnya sebelum mengikutiku kembali ke halaman, tempat di mana mobilku terparkir. Angel tampak begitu elegan dengan setelan celana panjang berwarna putih dan atasan cream-nya. Ia begitu dewasa dan berkelas. Make up nya juga tampak sangat cocok di wajahnya yang memang sudah asli cantik itu. Mungkin itu juga yang membuat aku nyaman bepergian dengannya. Kami memang tampak begitu serasi. Entah sebagai sahabat ataupun pasangan. Sangat jelas jika kami berasal dari strata sosial yang sama. "Kamu mau makan apa?" tawarku. Aku memang terbiasa membiarkannya memilih. Toh selera kami juga bisa dikatakan hampir sama. "Aku lagi mau di fine dining. Biar lebih privat aja. Banyak hal yang mau aku obrolin sama kamu," pintanya. Aku berpikir. Restoran mana yang sekiranya cocok untuk kami makan siang hari ini. "Ada restoran fine dining baru buka di daerah Kuningan. Aku lupa namanya. Tapi, mau coba ke sana?" tawarku. Angel mengangguk setuju. Ia memang tidak terlalu banyak mau. Itu juga lah yang merupakan hal yang aku sukai darinya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku pun segera menyalakan mesin mobilku lalu mengendarainya ke restoran baru yang kumaksud. Sebuah restoran fine dining yang baru buka beberapa minggu lalu di daerah Kuningan. Letaknya tak jauh dari rumah Angel. Mungkin hanya sekitar tiga puluh menit saja. Aku memang lebih suka mencari tempat yang tak begitu jauh untuk dikunjungi. Karena aku tidak terlalu suka membuang waktuku di perjalanan. Lebih baik, kalau memang ada waktu luang, kami gunakan untuk mengobrol atau semacamnya. * Aku membicarakan cukup banyak hal random bersama Angel. Dia memang lebih mendominasi. Sementara aku seperti seorang pendengarnya yang setia. Toh memang dia memiliki jauh lebih banyak cerita menarik daripada aku. Memang apa saja yang terjadi pada tiga bulan terakhir? Hanya kerja, beberapa kali menang tender, dan kadang juga lembur. Tak ada yang spesial. Kecuali satu. Lucy. Tapi, untuk urusan Lucy, aku masih ragu untuk menceritakannya pada Angel. Aku tidak tahu akan seperti apa pendapatnya nanti. Jangan sampai ia malah akan menganggapku gila. "Kamu kok bengong aja sih?" tanya Angel. Aku mengejap. Apa benar aku tadi bengong? "Tidak. Aku mendengarkan ceritamu," jawabku. "Aku ada beberapa stroopwafel buat kamu di rumah. Nanti mampir dulu, ya? Seingatku, kamu cukup lahap makan oleh-oleh khas Belanda yang satu itu." Aku terkekeh mengingat kejadian beberapa bulan lalu, saat aku tanpa sadar hampir menghabiskan wafel khas Belanda yang disajikan Angel saat aku berkunjung ke rumahnya. "Rasanya lumayan cocok di lidahku," ujarku. "Ya. Makanya aku membawakan cukup banyak kali ini. Aku tahu kamu suka," balasnya. Aku memotong steak-ku lalu kembali memakannya dengan santai. Kami memang memilih sebuah tempat yang cukup privat sehingga kami bebas berbincang sambil menikmati makan siang nikmat ini. "Aku suka makanan di sini. Kapan-kapan kita makan di sini lagi, ya? For dinner, maybe?" ajak Angel. "Of course. Kita bisa ke sini kapanpun kamu mau, selagi kita tidak sedang sama-sama sibuk." Memang sulit bagiku untuk berkata 'tidak' atas semua permintaan Angel. Aku menatap aneka makanan di hadapanku dengan penuh arti. Seketika, ajy teringat pada gadis yang hobi makan di rumahku. Si setan kecil Lucy. Apakah dia sudah makan siang sekarang? Pastinya sudah kan, ya? Mana mungkin ia yang hobi makan itu mau melewatkan makan siangnya. Tapi ngomong-ngomong, sedang apa dia sekarang? "Tuh kan kamu melamun lagi!" tegur Angel. Aku kembali menatap gadisku itu sambil tersenyum. Aku tak punya alasan untuk mengelak, hingga akhirnya aku pun memilih diam. "Pasti mikirin kerjaan. Ini weekend loh, Arthur. Please nikmati waktu libur kamu! Jangan terlalu terbebani dengan masalah kantor!" pesannya. Aku mengangguk. Apapun saran dari Angel, aku tahu itu yang terbaik untukku. Selesai makan, kami kembali berbincang ringan. Bahkan aku sengaja memesan kembali minuman dan beberapa snack untuk menemani perbincangan kami di siang menjelang sore ini. Aku tidak menyukai orang yang talk active. Kecuali Angel. Pembicaraannya selalu berbobot dan membuatku tertarik. Kami berbincang cukup lama hingga tanpa sadar langit mulai berwarna jingga. Aku pun segera menyadarkannya jika kami sudah terlalu lama di sini. Setelah itu, kami bersiap pulang. "Kamu sudah janji akan mampir dulu, kan?" tanyanya saat kami sampai di halaman rumahnya. Ah hampir saja aku lupa. Aku pun bergegas mengikutinya turun dari mobil. Ia menggiringku menuju ruang tamu, dan memintaku menunggu sebentar di sana. "Orang tua kamu nggak di sini?" tanyaku saat melihat Angel kembali dengan sebuah paper bag berukuran cukup besar di tangannya. "Mungkin akhir tahun baru ke sini. Terakhir aku dengar sih mereka ada di Berlin," jawab Angel santai. Ia memang sudah terbiasa pisah dari orang tuanya. Sibuk dengan bisnis masing-masing hingga kadang hanya bertemu dua hingga tiga kali setahun. "Ah ya. Aku dengar dari Papa, bisnis keluargamu di Eropa memang sedang ada di puncaknya," ujarku. Angel terkekeh seakan-akan itu bukan hal yang terlalu penting untuk aku katakan. "Kapan mama kamu balik ke Indonesia?" tanya Angel. "Entahlah. Dia jarang sekali mengabariku. Dia meneleponku hanya ketika menjelang hari besar dan menanyakan kapan kita akan menikah," jawabku seadanya. Angel kembali tertawa mendengar ucapanku. Padahal, memang begitulah kenyataannya. Sama seperti Angel, aku juga sudah dilepas untuk mandiri oleh kedua orang tuaku. Dunia bisnis yang awalnya kukira menarik, ternyata cukup mengerikan juga. Bahkan Papa sampai melarang Mama pergi-pergi ke luar negeri sendirian. Bahkan hanya untuk sekadar menemuiku saja tidak boleh. Kami memiliki banyak pesaing bisnis. Dan beberapa di antara mereka ada yang nakal. Sehingga Papa berusaha melindungi kami- aku dan Mama dengan cara membatasi pergerakan kami. Papa selalu memastikan jika kami berada di dalam pengawasannya. Awalnya aku kira itu sedikit berlebihan. Tapi, setelah aku menyelami dunia bisnis ini lebih dalam, sekarang aku semakin mengerti apa yang Papa khawatirkan. Bukan sekali dua kali nyawaku terancam karena musuh bisnis kami. Bahkan, kecelakaan yang beberapa waktu lalu kualami pun, kudengar ada campur tangan salah satu musuh bisnis kami di dalamnya. Meski aku tak yakin itu siapa. Tapi, itu benar-benar gila. Kecelakaan itu amat dahsyat hingga kini aku masih sering bermimpi buruk karenanya. Tak hanya merugikan secara mentalku saja, tapi kecelakaan itu juga cukup menguras uang tabunganku. Aku harus membayar kerugian hingga puluhan miliyar pada keluarga korban yang terlibat. Karena saat itu, semua bukti seolah memberatkanku dan mengatakan jika akulah dalang dari kecelakaan beruntun yang memakan banyak korban itu. "Kapan-kapan, kita ke Sydney yuk! Ketemu orang tua kamu. Sudah lama kan kalian tidak bertemu?" ajak Angel. "Aku masih banyak pekerjaan. Sepertinya tidak bisa jika bepergian hingga berhari-hari," tolakku. Aku tak bermaksud menolak. Hanya saja, pekerjaanku memang tak semudah itu ditinggalkan. "Pas weekend aja. Kita bisa menginap satu atau dua malam di sana. Mama kamu pasti senang," desak Angel. Aku tak menjawab. Jika aku pergi, bagaimana dengan Lucy? Entah mengapa aku jadi kepikiran dengan gadis itu. Apa aku pergi terlalu lama? Bukankah tadi aku berjanji akan kembali sebelum jam tiga? Dan astaga! Bahkan sekarang di luar sudah gelap. Apa dia menungguku? "Kenapa? Kamu kelihatan kaget banget waktu lihat ke luar?" bingung Angel. "Sudah malam. Kalau begitu aku pamit dulu. Kamu juga harus segera mandi dan beristirahat, kan?" pamitku. Angel mengangguk. "Oke. Hati-hati di jalan. Oh iya, ini oleh-oleh buat kamu." Aku menerima paper bag yang Angel sodorkan padaku. Aku meliriknya. Tampak beberapa bungkus stroopwafel di sana. "Makasih ya," ungkapku. Angel memang selalu tahu apa yang aku suka. "Iya. Ya udah ayo aku antar sampai depan!" "Nggak usah. Kamu langsung bersih-bersih aja! Pasti capek dari perjalanan jauh dan langsung menghabiskan waktu setengah harimu bersamaku," tolakku. Setelah itu, aku berjalan meninggalkan kediaman gadis yang berstatus sebagai sahabat sekaligus tunanganku itu. Aku meletakkan paper bag pemberian Angel di kursi penumpang. Sebelum menginjak pegal gas, aku menatap paper bag itu sembari tersenyum. Aku jadi membayangkan bagaimana jika Lucy nanti mencoba rasa salah satu oleh-oleh khas Belanda itu. Apa ia juga akan menyukainya? Ah... aku baru sadar. Setengah hari ini aku jadi sering memikirkannya. Ada apa ini? Apa ada yang salah denganku? Atau ini semua karena aku sudah mulai terbiasa dengan keberadaannya, sehingga merasa aneh saat beberapa jam saja tidak berjumpa dengannya? Apa yang sedang dia lakukan sekarang? Apa dia sedang menungguku? Aku segera menancap pedal gas dalam-dalam. Mengendarai mobilku membelah jalanan ibu kota yang cukup padat, khas akhir pekan. Ada rasa tidak sabar untuk segera sampai rumah. Hal yang amat jarang aku pikirkan sebelumnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD