Hana menghela napas lemah.
Tenaganya sudah habis total. Di lubuk hatinya yang paling dalam, dia percaya apa yang dia alami yang terjadi padanya pasti tidak luput dari pandangan Allah, pasti Allah melihat usaha Hana menolak dan berusaha menjauh, Allah pasti lihat usaha dia ketika mengelak saat bibir busuk itu mendekat mengecup setiap senti bagian wajahnya, saat dia menendang, meronta, meludahi wajah lelaki itu dengan sekuat tenaga. Tapi semuanya terasa sia-sia.
Sekarang tenaganya sudah tidak ada, sudah pasrah dia dengan tubuhnya, mau diapakan dirinya orang laki-laki itu dia sudah pasrah. Tapi pasrah Hana bukan pasrah yang sebenarnya, karena dalam lubuk hatinya yang terdalam, Hana berharap ada keajaiban yang Allah turunkan untuknya detik itu juga, di hari itu. Hana benar-benar berharap. Memejamkan matanya dalam-dalam membuat kedua alisnya bertaut dan berdoa dalam diam. YaAllah tolong kirim ayah, batinnya penuh harap.
"Ayah," rintih Hana, berharap Ayahnya segera pulang dan membuka pintu kamarnya, masuk, memukul lelaki itu sampai babak belur, dan mengembalikan harga dirinya yang direnggut paksa. Air mata hangat menetes dari sudut matanya, mengalir turun menyentuh daun telinganya.
Tapi Hana tidak mau menyerah. Tidak bisa.
Dia ingin mencoba,sekali lagi. Mencoba melawan.
Dia diam, menunggu celah. Selagi lelaki itu masih menciumi pipinya, meninggalkan jejak hina di setiap kecupan. Hana menahan napas, menanti saat yang tepat. Dalam satu tarikan napas panjang, dia mengumpulkan semua keberanian, semua tenaga yang tersisa.
Sekali hentakan. Hana mengangkat lutunya dengan sekali hentakan, bergerak liar, menendang ke segala arah.Semenit untuknya mengumpulkan keberanian dan tenaga yang tersisa. Hana begerak liar melonjak kesana kemari tanpa aturan agar laki-laki itu jatuh dari atas tubuhnya, agar laki-laki itu kesusahan menyentuh bagian-bagian tubuhnya dan instingnya menyatakan laki-laki itu mulai lengah, kedua tapak tangannya mendorong d**a laki-laki itu menjauh dari membuatnya terjatuh dari kasur.
Bug!
Suarany keras sekali. Tapi Hana tidak peduli, dia segera bangkit memanfaatkan kesempatan itu untuk berlari menuju pintu. Saat kepalanya menoleh ke belakang, laki-laki itu menghilang, yang didapatnya hanya tubuh dirinya yang masih terbaring meringkuk ketakutan di atas kasur, dengan kedua di angkat menutupi wajahnya kasur, dia masih melihat dirinya sendiri. Tubuhnya terbaring meringkuk, kedua tangan menutupi wajah, seperti masih terjebak dalam ketakutan. Bola mata Hana membelalak. Tak percaya dengan yang dilihatnya. Matanya menyoroti semua sudut kamar, mencari laki-laki kemeja biru yang jatuh ke lantai karena dorongannya tadi. Kemana dia?
Hana sampai mendengak, memastikan laki-laki itu tidak menempel di atas plafon bak cicak yang sedang merayap. Keadaan benar-benar senyap.Tapi detak jntungnya semakin cepat bergerak di dalam sana. Hana benar-benar sudah siap kabur dengan tidak melepaskan genggaman tanganya dari gagang pintu. Tapi sial, bagaimana tubuhnya bisa tertinggal di saana? Di atas kasur?
Hana berjongkok mengikuti kata hatinya, dia memiringkan kepala, mengintip ke bawah kolong tempat tidur.
Laki-laki itu tidak ada di sana. Untuk kamar kecil yang ukurannya hanya sepetak, mau kabur kemana dia? Tidak ada akses lain selain dari pintu untuk keluar dan masuk. Hana kebingungan. Kemana laki-laki itu? Dia tidak menemukan laki-laki itu dimana pun.
"Hanaaa," samar-samar suara perempuan memanggilnya. "Hanaa sadar!!" suara Hani, ada getaran khawatir disana.
Hana membuka kedua matanya perlahan. Masih menyimpan perasaan sangsi dan masih menerka-nerka; apa ini mimpi lagi? Kata yang pertama kali keluar dari mulut Hana adalah "tolong cubit," sambil mendekatkan tangannya pada Hani.
Kembarannya itu menatap Hana dengan sorot mata bingung. "Anti kenapaa?" Bola mata Hani naik turun menatap wajah Hana, tapi tanganya tetap bergerak sesuai arahan, cubit.
"Aww" teriak Hana kesakitan. "Bukan mimpi yaa?" Dia masih tidak percaya.
Hani menghela napas capek, bukan karena meladeni tingkah Hana yang mendadak aneh selepas bangun, tapi karena sejak tadi tenaganya sudah habis membangunkan Hana yang tidur pulang sejak kemaren sore, setelah makan bubur, dan minum obat anak itu tak bangun-bangun. Ayah sampai khawatir dan memanggil dokter yang merawat Hana untuk mengecek anaknya itu. Tapi benar pernyataan dokter, Hana hanya kelelahan, dia butuh istirahat lebih. Sekarang, beginilah jadinya, dia melantur selepas bangun dari tidur panjangnya. Tidur sore hari, dan baru terbangun besok pagi, sedap betul tidurnya pikir orang yang tidak tahu, padahal setengah mati dia di dalam mimpi menghadapi masalahnya sendiri.
Hana segera bangkit dan bersiap, dia juga lupa menyusun buku dan alat tulisnya ke dalam tas. Hana melangkah gontai mendekati meja belajar, memasukkan beberapa buku yang masih kosong, membukanya satu persatu sebelum dimasukkan ke tas. Selesai dengan tas, dia berjalan lambat ke kamar mandi, soal rohnya belum memenuhi badan. Tubuhnya masih lemas, entah karena pengaruh mimpinya yang menguras tenaga atau karena tidurnya yang terlanjur panjang sekali, kemarin sore tidur, bangun baru pagi ini, Hana menggeleng kepala pelan, tidak percaya bisa tidur selama itu. Dia menghidupkan keran dan mulai membasuh tubuhnya dengan air dingin.
***
Hani berkaca di depan jendela panjang depan rumah sambil menunggu Hana selesai mengikat tali sepatunya. Bukan karena sakit atau baru sembuh dari sakit, Hana memang lambat. Pun sebelum dia didatangi penyakit, Hana memang terkenal paling lama di pesantren. Dalam hal semuanya; mandi, bersiap, pun dia bangun paling cepat, tetap saja dia yang akan terus terlambat.
Mereka sudah mengenakan seragam baru. Hani merasa tak nyaman dengan seraagam barunya yang masih kaku.
Biku rok abu-abu seragam ini masih tidak nyaman, benar-benar terasa baru. Apalagi baunya yang khas kain baru dari tempahan. Tapi Hani suka. Tidak tahu dengan Hana. Ada rasa senang yang menyelimuti hati Hani, apalagi bukan karena masuk ke lingkungan baru. Isi kepalanya sudah dipenuhi oleh basket. Dia benar-benar ingin bergabung dengan tim basket. Kalau Hani disuruh menebak ekskul apa yang akan diikuti kakaknya itu, dilihat dari kepribadiannya yang pendiam dan cewe banget, Hani memilih ekskul yang berbau literasi dan Rohis. Hani mengakui agama Hana kuat, berbeda dengan dirinya yang masih sangat duniawi, menurutnya.
Sedang Hana, dia tidak berekspektasi apapun terhadap sekolah itu, meskipun sekolah pindahan mereka ini terkenal sekali dengan akreditasinya yang bagus, yaitu A+, tapi tetap saja, Hana agak pesimis, apalagi ada seorang Dhimas di sekolahnya. Laki-laki yang ada dalam mimpinya, laki-laki yang ada saat mereka mendaftar sekolah tempo lalu, namanya Dhimas. Hana baru mengingatnya. Rasanya seperti terbangun dari mimpi buruk bisa mengingat nama itu lagi. Sepanjang jalan menuju sekolah, Hana berharap tidak bertemu dengan laki-laki itu, mimpi tadi malam terasa seperti nyata, Hana jadi jijik dengan dirinya sendiri.
Mereka sudah sampai di depan gerbang sekolah, perlahan Hani melambatkan langkah kakinya saat sampai di muka pintu gerbang sekolah yang berdiri kokoh dengan balutan gerbang yang di cat silver dan sisi dinding kanan kiri dicat dengan warna kuning, lalu di atasnya menyembul tulisan besar berisi nama sekolah tersebut, "SMA SWASTA PUTRA PERUNGGU" yang juga dicat dengan warna silver. Dia mendengak sekilas melihat gerbang itu, kuning? seleranya aneh, batin Hani dalam hati terus melangkah memasuki gerbang sekolah. Hani benci kuning.
Guru-guru sudah berdiri di bibir jalan masuk ke dalam gerbang; apalagi kalau bukan senyum, sapa, salam. Hani masih ingat kebiasaan yayasan putra perunggu mau ditingkat pendidikan manapun, pasti selalu membawa kebiasaan 3 S itu, senyum, sapa, salam yang sudah dirasakan Hani dan Hana saat mereka masih TK dan SD di yayasan ini. Dan sekarang, mereka kembali ke yayasan ini, sebagai siswa kelas 12, semester dua.
Hana, Hani, dan murid-murid lain mengantri panjang masuk gerbang, harus melewati guru-guru yang berdiri di bibir pagar yang sudah siap untuk disaalim tangannya, dan sudah siap untuk merazi anak-anak yang tidak taat peraturan sekolah. Tepat di depan Hani dan Hana, seorang perempuan bibirnya di lap dengan tissue oleh salah seorang guru, membawanya keluar dari barisan. Melihat Hani hanya diam di barisan, guru tersebut menunjuk Hani untuk segera maju dan lanjut menyalim tangan guru. Sambil terus menyalam sekitar lima guru yang berdiri di sisi pinggir kiri gerbang masuk, Hani sempat melihat bahwa lipstik murid perempuan itu disita oleh guru. Anah itu jadi bahan tontonan orang-orang yang masuk menyalim tangan guru. Tidak sedikit yang lewat pasti melirik ke arah murid itu, bahan tontonan gratis melihat murid sedang dimarahi oleh guru wanita karena membawa lipstik, dan bodohnya dia pakai juga dibibir, dengan warna yang lebih menyala dari lipstik punya guru-guru di SMA. Sebab akreditasi di sekolah ini bagus adalah kedisiplinan sekolah yang sudah dikenal masyarakat luas, itu terdengar di kuping Hana dan Hani saat memohon pada guru tersebut untuk tidak menyita lipstiknya. "Ibuu, saya janji ga bawa dan ga akan pake lagii. Jangan disitaa yaa, Bu. Baru beli kemaren!" Anak itu menangkupkan kedua tangannya di depan wajah, memohon dengan suara memelas, minta dikasihani.
"Engga ada alasan," tegas beliau. "Membawa barang yang ga seharusnya di bawa siswa tetap ibu sita, termasuk yang cowo-cowo. Kalo ketahuan sama Ibu ngevape," tunjuk beliau pada murid-murid cowo yang masih dalam barisan. "Ibu siram vape kalian pake air comberan depan gerbang sekolah kita!" seru beliau dengan wajah serius, tidak ada raut wajah main-main disana, matanya bulat dan tajam, lalu kembali fokus kepada murid perempuan yang membawa lipstik, menyuruh anak itu langsung masuk ke kelas dengan tetap menyita lipstik baru tersebut. Sia-sia rayu-merayu murid wanita itu. Lipstiknya sudah hilang di bibir, begitupun dengan lipstik yang di dalam tasnya, raib diambil Bu Salsa, BK di sekolah itu.
Hana dan Hani benar-benar mencerminkan orang baru, mereka memperhatikan lekat-lekat semua kejadian. Sekarang mereka kebingunan kelasnya dimana. Mereka celingukan, faktor semua diurus oleh Ayah, mereka lupa menanyakan kelasnya dimana. Bodohnya, batin Hani menghujat dirinya sendiri, bisa-bisanya lupa bertanya tentang kelas mereka. Seorang laki-laki yang melihat mereka dari kejauhan terlihat bingung segera menghampiri.
"Ada yang bisa kakak bantu?"
Hana yang sedang mencari-cari, saat menoleh ke asal suara terlonjak kaget. Orang itu, orang yang ada dalam mimpinya. Ucapan yang keluar dari mulut Hana adalah "Astaghfirullah, Allahu Akbar!"
Hani menatap Hana heran, "kenapa?" bisiknya.
Hana hanya menggeleng, laki-laki itu masih di hadapan mereka berdua. "Maaf ngangetin, kakak lihat kalian seperti kebingunan? Nyari kelas?" tanyanya. Kemudian dia memicingkan matanya menatap serius kedua wajah Hana dan Hani, "anak pindahan yang baru kemarin daftar yaa? Anaknya Pak Yusuf?" ucapnya.
Hani mengganguk cepat dan langsung menjawab, "eee, iya, Pak, kami lupa kelas kami dimana."
"Panggil kakak aja, saya Dhimas, konselor di yayasan ini. Bukan guru," ucapnya ramah dengan senyum manis, tapi formalitas ala-ala karyawan. "Ayoo ikut kakak," ucapnya tanpa babibu dia langsung memutar tubuhnya tiga puluh derajat dan melangkah memasuki lorong sekolah.
Sekolah ini benar-benar luas. Saat memasuki gerbang, mata sudah disuguhi oleh luasnya wilayah sekolah, lapangan upacara di sebelah kiri, kemudian di tengahnya ada gedung kelas yang diapit oleh lapangan upacara dan lapangan futsal, lalu tetap di belakang gerbang ada lapangan volly, dann di dekat lapangan volly tersebut terdapat beberapa tempat duduk siswa yang terbuat dari semen yang dibentuk membentuk lingkaran dengan di tengahnya ditancapkan tiang untuk menopang payung besar yang menaungi bangku semen melingkar itu. Lapangan volly diapit oleh tempat duduk payung dan gedung serbaguna. Di belakang gedung serbaguna terdapat tumbuhan yang lebat, mungkin taman, pikir Hana. Pohon-pohon cemara di sisi kanan dan kiri jalan lalu lalang yang dekat dengan gerbang gerbang banyak yang tumbuh tinggi dan terawat, lorong sekolah yang sekarang mereka lewati juga rapih sekali, tepat di depan ruang guru terdapat air mancur, yang di dalam kolamnya berisi empat ikan koi warna merah dan kuning.
Mereka menunggu di sana, di depan ruang guru.
Dhimas datang, bersama guru laki-laki dengan perut tidak terlalu buncit tapi buncit juga, karena permukaan kemeja biru gelapnya tidaklah rata, bagian bawah perutnya menyembul walaupun tidak terlalu, tetap saja guru itu buncit. Hani menamainya guru berisi, karena perutnya berisi--lemak?
"Saya titip mereka ke Bapak, yaa," ucap Dhimas pada guru kemeja biru tua, atau tepatnya kemeja biru danker dengan kacamata petak yang bertengger di atas batang hidungnya yang berbentuk jambu.
"Ohh, iya, Pak. Iyaa!" ucap guru tua itu seperti sungkan. Lucu, pikir Hani terus memperhatikan. Padahal beliau lebih tua. Dhimas lalu menatap ke arah mereka dan buka mulut, "kalian sama Pak Agus, yaa. Beliau guru kesiswaan. Kalau ada hal-hal yang mau ditanya, bisa ke Pak Agus, atau kalau takut sama Pak Agus, bisa tanya ke kakak," ucapnya dengan pacarana energi percaya diri, lalu tersenyum ramah, dan pergi.
Mereka bertiga, Pak Agus, Hani, dan Hana; mereka terhanyut memperhatikan Dhimas yang melangkah pergi. Wangi parfumenya selalu membuat Hana mual. Dia selalu menutup hidung saat ada Dhimas. Hani benar-benar bingung melihat kembarannya itu, saat pertama ke sekolah untuk mendaftar, di sana ada Dhimas, dengan bau parfume yang sama, yang dipakai hari ini juga; Hana pun dengan tingkah yang sama, menahan napas, atau menjauh atau menutup hidung. Padahal menurut Hani, wanginya enak, wangi parfume cowo yang berwibawa, bagaimana dia mendeskripsikan wanginya, intinya begitu. Tapi Hani kembali berpikir, bahwa bisa jadi karena Hana masih belum mendingan. Meskipun kata dokter yang merawat Hana sudah dinyatakan sembuh.
"Dua menit lagi sudah akan bell, mari Bapak antar ke kelas kalian," ucap Pak Agus berjalan melewati mereka dengan kedua lengan dilipat ke belakang, di atas pinggang dan pantatnya.
Hana diam saja, sejak melihat Dhimas. Untungnya Hani langsung cepat merespon semua ocehan pagi itu, dia benar-benar pusing, mungkin karena parfume Dhimas yang membawanya ke dalam trauma yang sejak kecil dia simpan.