Never Say Never

1220 Words
Jenuh dengan semua yang hilir mudik di pikirannya, Chandra melajukan mobil mewahnya ke daerah selatan ibukota. Kawasan itu adalah tempat yang dikenal sebagai ajang party bagi anak muda yang mencoba melepaskan tekanan hidup dalam alkohol dan musik trance yang terasa bebas. "Halo ma meeen!" Seruan keras terdengar menyambut Chandra. Seorang laki-laki berkemeja Hawai berkulit tan menghampirinya. Dia adalah sahabat Chandra. J J Wisanggeni namanya. Keluarga Wisanggeni adalah penguasa klub malam di Jakarta dan Bali, selain juga pemasok utama tembakau untuk pabrik rokok nasional dan juga pemilik beberapa pabrik teh. "Suntuk amat, Men?" tanya Jeje menatap Chandra yang nampak tidak bersemangat. "What happen, aya naon sih? Minum dulu atuh, Kasep!" Jeje mengambil gelas dan menyerahkan pada Chandra. Jeje adalah peranakan Korea dan Sunda-Jawa. Ibu Jeje, Raline Kim, keturunan Korea yang tinggal di Amerika, ayahnya Jajang Wisanggeni adalah keturunan Sunda-Jawa. Kakek Jeje pemilik perkebunan teh yang sangat luas di daerah puncak, dan memiliki pabrik teh di sana. Sementara itu Neneknya adalah pengusaha tembakau di Temanggung, jadilah Jajang Wisanggeni penuh privilege pada jamannya karena latar belakang orangtuanya yang pebisnis hasil bumi. Karena itu, Jajang bisa kuliah di Amerika dan mendapatkan istri orang Korea. Nama JJ sendiri juga merupakan gabungan nama Korea Indonesia. JJ adalah singkatan dari Jongin Juanda, lalu disematkan nama keluarga Wisanggeni yang terkenal sebagai pebisnis dunia malam dan juga hasil bumi. Chandra mendengkus, lalu menenggak tequila yang Jeje berikan. "Gue disuruh nikah." "What? Nikah? Cheongmalyo?" Bahasa campur aduk Jeje akibat cross ras dalam tubuhnya, muncul. Chandra mengangguk lesu. "Pada akhirnya, gue bakalan kayak robot. Cuma ngikutin apa yang nenek gue mau." "Chakkaman, kalau emang lo nggak mau nikah ya ngomong aja lah. Kayak gue. Gue anti dijodohin, emangnya masih jaman jodoh-jodohan?" "Masalahnya, kalau gue nolak nikah, nenek bakalan ngasihin perusahaan ke Dante. Ogah banget tuh anak dapat warisan gue." "Hm...rumit juga." Jeje mengangguk-angguk. "Emangnya, lo nggak bisa gitu nikah sama cewek yang lo pilih sendiri? At least, lo nikah sama orang yang emang lo mau." "Orang yang jadi istri gue harus sesuai sama standar Nenek. Istri gue harus berasal dari keluarga sosialita, pebisnis tenar atau ya punya bisnis yang bisa menyokong bisnis keluarga gue, atau ya setidaknya pejabat yang bisa mendukung keluarga gue. Kayak nggak tau aja lo, pernikahan gue itu, bukan yang model wo ai ni, ni ai wo, terus ya ayo kawin, bukan kaya gitu. It's a kind of business." "Heol! Iya juga sih." Jeje menanggapi dengan gaya oppa Korea tapi jamet-nya. "Makanya pusing gue. Gue juga kayaknya nggak cocok jadi suami, apalagi jadi bapak. Nggak bakalan pernah bisa." "Lo kan belum nyoba." "Gue tahu siapa diri gue, Je. Dengan orangtua macam Jerry sama Regina, apa sih yang lo harapkan?" "Wah, lo jangan ngomong gitu. Gimanapun juga orangtua lo itu mereka." "Lo yang ortunya harmonis ga akan relate." "Lho, ortu lo kan juga harmonis?" "Halah kayak nggak tau aja akting mereka. Gue tuh heran ya buat apa mereka sama-sama kalau sebenarnya nggak saling cinta?" "Kenapa lo heran? Mereka masih sama-sama ya karena mereka mendapatkan keuntungan dari kebersamaan mereka. Ayah lo, dapat dukungan dana dan bisa melaju dalam dunia politik, sementara nyokap lo, bisa terus mendapatkan pandangan sebagai keluarga yang baik, dan hal itu cukup penting dalam keberlangsungan bisnis kan?" "Iya juga sih, dan ironisnya, gue akan melakukan hal yang sama. Gue bahkan nggak percaya bisa nikah sama Hannah dan hidup bersama dia dalam jangka waktu lama sampai gue atau dia mati duluan. Dan well ya...." Chandra menghela napas. "I don't have any idea, about child. Gimana kalau gue punya anak, apa yang bakalan gue lakukan untuk mereka. Gimana mendidik mereka dan membuat mereka jadi manusia yang nggak cuma menuh-menuhin dunia. Gue nggak ngerasa orang yang baik, tapi gue nggak mau membawa satu manusia lagi ke dunia dan gagal membuat satu manusia itu jadi seseorang yang lebih baik dari gue. Bukan cuma masalah gimana gue membentuk kepribadian dia, tapi gue khawatir, gue nggak bisa bikin anak gue nanti bahagia, atau merasa senang karena dia adalah anak gue. Gue takut pada akhirnya, anak gue akan merasakan hal yang sama dengan gue." "Ya kalau gitu, lo harus bersikap baik sama Hannah. Kalau lo baik sama ibu tuh anak, gue rasa everything will be oke." "Oh, jelas nggak semudah itu, Je. Lo tahu bagaimana brengseknya gue dan Hannah adalah tipical wanita independen yang suka mengatur. Gue akan semakin brutal saat Hannah berusaha mengatur gue dan membuat gue serasa hamba sahaya bagi dia dan dia act like queen. Gue nggak bilang sifat Hannah itu buruk, tapi jelas dia dan gue sama sekali nggak klop." "Emang, lo pengen istri yang kayak apa?" "Nggak tahu. Nggak pengen punya istri sih sebenarnya. Hidup kaya sekarang aja cukup." "Tapi kalau lo nggak punya istri, nanti kalau lo tua dan mati, harta benda lo mau dikasihin ke siapa?" "Ngh...." Chandra mendesau, hal itu mengusik pikirannya. "Bingung kan lo?" Jeje mengambil lighter dan menyalakan rokok. "Ya udah makanya nikah aja lah, ga usah mikir gimana-gimana. Soal anak, soal istri, ya nanti pasti bisa mengikuti." "Gimana kalau ternyata tetep nggak bisa? Gue jadi bapak? Kayanya bener-bener hal yang aneh." "Chan, yang perlu lo lakuin sekarang adalah ngikutin aja mau Nenek lo, hal lainnya nggak usah lo pikirin." "Nggak tahu lah!" Chandra mengedik, merasa sangat lelah, seolah ada beban baru saja diletakkan di pundaknya. "Ah, gue punya ide, gimana kalau lo nyoba tinggal bareng cewek, ya terserah lo deh, koleksi cewek lo banyak. Ambil aja satu yang paling lo demen, tinggal bareng sama dia, terus ya lo bisa sekalian belajar gimana hidup bersama wanita yang sama dalam jangka waktu panjang." "Ogah ah! Ribet! Mereka pasti koar-koar ke medsos lah, terus nanti gue putusin baper kemana-mana, gue lagi ntar kena omelan Nenek gue." "Ya pilih yang nggak ribet dong! Jelasin dari awal kalau lo cuma butuh latihan tinggal bareng aja." "Yeu, lo kira semua semudah bacotan lo?" "Ya udah kalau nggak mau dikasih saran! Dasar arogan!" Chandra mengedik tidak peduli. "Udahlah, gue pulang dulu." Chandra menenggak minuman di depannya. "Oit, nggak seneng-seneng dulu? Lihat, cewek di arah jam dua? Dia ngeliatin kita, terutama lo dari tadi. Kayaknya dia selebgram siapa sih itu? Yang cakep, Amanda?" "Buat lo aja kalau lo minat." Chandra beranjak dari sofa tempatnya duduk. "Woh? Jinjja? Lo nggak mau?" Jeje menatap Chandra dengan takjub. Dia baru tahu masalah dijodohkan dan dipaksa menikah membuat Chandra terlihat sama sekali tidak bersemangat. "Iya, buat lo aja. Cao." Chandra bergerak pergi. "Nggak lah, gue gini-gini setia ya sama Dedek Ital." Chandra menatap Jeje dengan prihatin. "Lo masih ngejar Thalita?" "Wo ya jelas." Jeje menjawab percaya diri. "Padahal dia udah nolak lo." "Namanya cinta mah ditolak hal yang biasa. Tetep yakin dia bakalan jadi milik gue." "Tolol." "Karena lo belum ketemu sama seseorang yang bisa membuat lo merasa dia adalah segalanya." Chandra mencibir. "Never, thanks." "Sombong amat! Kata gue sih, lo bakalan ketemu sama seseorang yang bikin dunia lo jungkir balik. Lo bakalan ngelakuin segalanya, bahkan sesuatu yang nggak pernah lo pikirkan hanya untuk dia. Dia bakalan jadi semesta buat lo." "Nggak usah ngayal. Gue nggak akan pernah berkelakuan kayak lo yang ngejar-ngejar Thalita kayak orang bego." "Let see." Jeje berkata tidak kalah yakin. "Saat itu terjadi, gue bakalan ngetawain lo paling keras." "It won't happen. Never." Chandra menjawab penuh percaya diri dan pergi dari hadapan Jeje. "You should be never say never, Bro!" Jeje meneriaki Chandra, tapi lelaki itu hanya melambaikan tangan tidak peduli.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD