Mas Guntur"
"Apa kabar Tari?" Tanya Guntur dengan nada lembut.
"Kenapa pakai ponsel Ambar?"
"Apa kamu mau menjawab telponku kalau tahu aku yang menghubungimu?"
"Mas mau apa lagi?"
"Tari, aku tahu kamu membenciku, aku tahu kamu tidak ingin bertemu aku lagi, tapi apa salahnya kalau kita tetap menjalin silaturahmi?"
"Tidak ada lagi yang perlu dijalin diantara kita Mas, Mas sudah memiliki hidup Mas sendiri, begitupun aku," sahut Tari dengan nada ketus.
"Aku tahu kalau kamu sudah menikah Tari, tapi yang aku tidak mengerti kenapa kamu bersedia menikah dari sebuah perjodohan, dan mau tinggal di kampung yang jauh dari kota besar."
"Mas tidak usah mengurusi hidupku lagi, aku paling tahu apa yang harus aku lakukan!" seru Tari demgan perasaan marah yang tidak bisa ia sembunyikan.
"Aku tahu seperti apa kamu Tari, kamu menerima pernikahan itu sebagai pelarian saja bukan!?"
"Mau pernikahan ini adalah pelarian bagiku, mau apapun namanya, terserah aku Mas, yang jelas aku sudah di sini dengan status sebagai istri, Mas tidak perlu tahu apa yang aku lakukan! Jadi tolong jangan ganggu kehidupanku lagi, jangan hubungi aku lagi, selamat siang!" Tari mematikan ponselnya.
Rasa sakit itu kembali menyergap perasaannya. Tari duduk dengan memeluk lutut, dengan sarung Raka membungkus tubuhnya.
Dua tahun bukan waktu yang singkat bagi sebuah hubungan, tidak mudah melupakan semuanya begitu saja. Tari berusaha move on dengan cara menerima pernikahan ini.
'Apakah ini pelarianku?
Apakah aku melakukan ini hanya untuk menyembuhkan lukaku?
Apakah saat luka itu sembuh aku masih akan betah berada di sini?
Ya Allah.
Kenapa aku jadi bimbang begini?
Aku berusaha mencairkan sikap Raka dengan berbagai cara, tapi bagaimana seandainya ia sudah mencair, dan aku ingin pergi dari sini? Apakah yang kulakukan hanya sebuah permainan untuk menghibur hatiku? Apakah hal ini adil bagi Raka? Lalu apa bedanya aku dengan Guntur, jika setelah Raka mencair, dia kutinggalkan begitu saja karena aku merasa ini bukan duniaku?
Ya Allah
Kenapa serumit ini.
Apa aku harus menjaga jarak dari Raka? Tapi aku sudah begitu banyak bicara padanya, berusaha meyakinkan perasaannya, tapi kenapa aku mulai bimbang sekarang? Aaahhhhh!'
Tari menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Tanpa terasa air mata menetes dipipinya.
'Kenapa jalan kehidupan cintaku tidak seindah cinta Mami, Papi beruntung memiliki Mami, Mami sebenarnya bisa memilih suami yang lebih dari Papi, tapi Mami tetap bertahan di sisi Papi, meskipun awalnya juga tidak ada cinta diantara mereka, dan semua itu terjalin karena ada aku yang jadi pertimbangan mereka.
Lalu bagaimana aku dengan Raka? Apa yang bisa mengikat kami jika cinta itu belum hadir diantara kami?'
"Aaakhhhhh" tanpa sadar Tari berteriak dengan nyaring. Raka muncul diambang pintu dengan raut cemas.
"Ada apa Tari?"
"Haah..ooh ada..ada tikus!" Cepat Tari menguasai dirinya.
Ia tidak ingin Raka mengetahui kegelisahannya.
"Sebaiknya kamu mandi Tari" kata Raka yang sepertinya sudah mandi, karena rambutnya yang terlihat basah.
"Iya" Tari menganggukan kepalanya. Raka terdiam sesaat, merasa aneh dengan sikap Tari yang tidak seperti biasanya.
Raka masuk ke dalam kamarnya, ia ingin beristirahat sejenak sebelum waktu ashar tiba.
Baru sesaat saja ia memejamkan matanya, matanya kembali terbuka. Dilayangkan pandangannya ke langit-langit kamar, tapi kembali ia harus mengalihkan pandangannya. Kali ini dinding kamar yang jadi fokus pandangannya, tapi lagi-lagi hal sama yang terlihat di sana.
Masih terngiang juga ditelinganya ucapan Tari tentang 'pelarian'.
'Mungkin Tari tidak sadar sudah berteriak saat bicara di telpon tadi, entah siapa yang disebutnya Mas, tapi aku yakin pria itu mengganggu perasaan Tari, apakah pria itu mantan kekasihnya? Ataukah masih jadi kekasihnya? Apa pria itu sudah melukai perasaannya? Hhhh...apakah benar Tari menganggap pernikahan ini sebagai pelarian baginya? Apakah sikapnya padaku sebagai cara dia untuk melupakan kesedihannya? Apakah setelah kesedihannya hilang dia akan pergi dari sini? Ya Allah...kenapa di saat hatiku mulai terbuka, rasa takut ini mulai hadir lagi.
Ya Allah
Aku pasrahkan diriku sepenuhnya hanya kepada Mu. Apapun takdir yang KAU gariskan untukku, itulah memang yang terbaik bagiku.
Jika aku hanya permainan baginya, tolong kuatkan hatiku, berikan aku keikhlasan dalam menerima takdir MU, aamiin'
Raka memejamkan matanya, meski ia tidak bisa tidur, setidaknya ia ingin beristirahat sejenak.
--
"Tari, ingin ikut Ashar ke musholla?" Tanya Raka pada Tari yang duduk di depan televisi.
"Ehm tidak, aku di rumah saja" sahut Tari.
"Ooh, aku di musholla sampai selesai isya, kamu berani di rumah sendirian?"
"Ehmm"
Raka masuk kembali ke kamarnya, lalu ke luar dengan lampu emergency di tangannya.
"Tadi waktu pulang sholat dzuhur aku sempat membelikan ini untukmu, kalau listrik padam, kamu tidak akan kegelapan"
"Ehmm terimakasih" Tari menerima lampu itu dari tangan Raka.
"Besok aku akan mengganti bolam di kamarmu dengan yang masih bisa menyala meski listrik padam"
"Ya terimakasih" sahut Tari lagi.
"Aku pergi dulu ya, assalamuallaikum"
"Walaikumsalam"
Sebelum beranjak pergi, Raka menatap wajah Tari, Tari membuang pandangannya.
Raka yakin kalau perubahan sikap Tari karena pembicaraannya dengan si Mas yang menelponnya tadi.
Setelah Raka pergi dengan mengunci pintu depan dari luar, Tari menyandarkan punggumgnya di dinding ruang tengah. Matanya memang tertuju ke televisi, tapi pikirannya tengah mengembara.
'Pernikahan ini sudah terjadi. Seperti dikatakan Mami, suka tidak suka, mau tidak mau, kami sudah terikat dalam pernikakahan, sudah terikat dengan hak dan kewajiban sebagai suami istri. Kami harus mempertanggung jawabkan semuanya, jadi kenapa aku masih meragu, harusnya aku bisa punya keyakinan untuk ikhlas menjalani ini, yang penting adalah bagaimana aku hari ini, soal pikiranku bisa berubah kelak, biarlah itu soal nanti, apapun akibatnya akan aku tanggung. Andaipun pernikahan ini adalah pelarianku, aku harus menjadikan ini sebagai tempat pelarian ternyaman bagiku, diantara kami memang tidak ada cinta yang mengikat, tapi ada ikatan pernikahan yang harus kami jaga.
Ya Allah.
Mantapkan hatiku untuk tetap berada di sini, untuk menjalani pernikahan ini. Saat ini tempat ini memang bukan duniaku, tapi aku yakin jika aku mau berusaha, maka tempat ini aka jadi tempat terindah yang tidak akan pernah ingin aku tinggalkan.
Ya Allah
Aku mohon padamu, bukakan pintu hati kami berdua agar cinta bisa hadir diantara kami, sebagai simpul yang bisa menguatkan ikatan pernikahan kami, aamiin'
Tari bangkit dari duduknya saat suara Raka yang mengumandangkan adzan terdengar dari speaker musholla.
Bibirnya mengukir senyuman, hatinya semakin yakin dengan pilihannya, untuk berusaha menjalani pernikahan yang tanpa dilandasi cinta.
'Biar waktu yang menjawab semuanya, aku hanya ingin berusaha semampu aku bisa'
***BERSAMBUNG***