Jika Senja berwana biru
Kau ada disini disampingku
Mendengarkan cerita dan cintaku
Dan tak akan pergi lagi
Jika Senja berwarna Biru
Mungkin terjadi setahun sekali
Dan aku sudah tak ada disini
-Anglipur-
****
"Fanny, ayo cepat ke sini?"
Bagas berteriak dan melambaikan tangannya di seberang sungai.
"Iya tunggu, hahaha."
Kenapa dengan papan kayu ini? tanyaku dalam hati karena merasakan papan kayu yang goyah
"Byurrrrrrrr."
"Aaahhhhhh."
"Bagas tolong," teriakku.
Sontak aku terbangun, ternyata hanya mimpi. Bagas, yang tak lain dan tak bukan adalah Adiemas, entah sejak kapan aku tidak memanggilnya dengan nama itu.
Tapi apakah sekarang dia masih mau aku panggil dengan nama itu. Apalagi satu sekolah hanya memanggil dengan nama Adiemas, jika aku berbeda maka akan menimbulkan rumor yang tidak tidak.
****
Suasana sekolah tampaknya telah kembali normal, tidak ada lagi suara teriakan karena heboh melihat Adiemas. Yah walaupun terkadang masih ada satu dua orang yang bermodus agar bisa dekat dengan lelaki itu.
Beda halnya dengan efek kehadirannya terhadapku. Ia membuatku tidak bisa bergegak bebas. Adiemas selalu melaporkan semua kegiatan yang aku lakukan di sekolah kepada orang tuaku dan orang tuanya.
"Ini kenapa jembatan di depan sekolah, berubah jadi papan kayu?" Tanyaku heran.
Pasanlnya jembatan aspal di depan gerbang sekolah ini berubah menjadi papan kayu.
"Oh Fanny, ada perbaikan jembatan," jelas Pak Parmin yang kebetulan sedang berjaga di depan gerbang.
"Loh pak, kok perbaikannya sekarang? Ini kan jalan utama ke sekolah, kenapa nggak hari libur saja?" tanyaku.
"Setahu bapak, kata Pak Kepala Sekolah perbaikan ini dilakukan, karena ada usul dari OSIS, katanya karena sebentar lagi Dies Natalis, jadi butuh beberapa renovasi," jelasnya.
Aku baru ingat, perbaikan jembatan itu kan yang mengusulkan aku sendiri, karena kupikir gerbang menuju sekolah harus terlihat menarik, tapi kenapa harus sekarang, kenapa tidak hari libur, hari minggu misalnya. Mereka tidak tahu apa, kalau aku takut dengan papan kayu. Kalau aku nanti jatuh bagaimana.
"Kenapa Fann, udah lewat aja, tadi aja mobil kepala sekolah dan guru lain bisa lewat, papan kayunya kuat kog."
"Pak Parmin, jangan mencoba memprovokasi saya ya, Pak Parmin bilang papannya kuat supaya nanti pas saya jalan jatuh kan?" tanyaku penuh curiga.
"Kok Fanny malah berpikiran seperti itu, tenang aja, papannya kuat, sekarang sudah jam 06.10, 5 menit lagi masuk, kamu mau telat."
"Pokoknya nggak mau, biarin telat," teriakku.
Pak Parmin sepertinya belum paham kalau aku takut dengan papan kayu, terlalu banyak pikiran buruk yang berseliweran di kepalaku, bagaimana kalau saat aku melintas di tengah jalan, papan kayu itu jatuh.
Tapi, kalau aku tidak segera melangkah, bisa bisa aku terlambat, aku tidak mau dihukum seperti waktu itu. Tenang Fanny, kamu pasti bisa, lihat kan sekarang kamu sudah berada di atas papan ini. Aku terus menyemangati diriku sendiri.
"Nak Fanny, cepat tinggal berjalan aja susah amat," teriak Pak Parmin.
"Ehhh," ternyata aku masih berada di bagian ujung jembatan ini.
"Aaaahhhhhh."
Seseorang mendorongku, Oh tidak, aku tidak mau jatuh lagi. Loh aku tidak jatuh, aku masih berdiri.
"Fanny, masa udah segedhe gini masih aja takut," bisik seseorang yang ada di belakangku
"Adiemas, bukannya aku takut, aku hanya berjalan pelan saja, walaupun kemungkinan jembatan ini rubuh sangat kecil, tapi masih ada kemungkinan kan kalau jembatan ini rubuh?"
"Kamu ada-ada aja, ayo."
Adiemas berjalan di depanku dan menggandeng tanganku. Hangat, aku kembali merasakan kehangatan itu di tanganku dari tangannya. Walau bagaimanapun juga ia masih peduli padaku, tapi tunggu lagipula dia kan yang mebuatku takut berdiri di atas papan kayu.
"Fanny, sudah sampai sekarang lepaskan tanganku."
"Oh iya, terima kasih Pak Adiemas, hehe."
"Sama-sama."
Adiemas mengusap-usap kepalaku, dia tertawa, tawa yang indah, suara tawa yang beradu dengan kicauan burung.
Ketika kamu tertawa
Burung-burung mulai berkicau
Dan Angin mulai berhembus
Matanya bersinar seperti cahaya mentari pagi.
"Tunggu, semua ini kan gara-gara kamu aku jadi takut di atas papan kayu," hardikku.
"Hahaha, ternyata kamu masih ingat," dia tertawa.
"Bukannya ingat, sebenarnya aku sudah lupa, tapi tadi malam aku mimpi jatuh ke sungai," jelasku.
"Hahaha, berarti kamu mimpiin aku Fan, kamu mikirin aku terus ya."
"Aduh kenapa aku keceplosan, dia bisa Ge-er," pikirku.
"Sudah ah, aku mau ke kelas, semangat mengajar," teriakku.
Aku langsung kabur meningalkannya yang masih tertawa keras.
*****
"Fann, besok ulangannya Pak Adiemas, kamu kan tetangganya bisa dong cari tahu soal ulangannya?" tanya Rahman
Aku mengedikkan bahuku tanda tak tahu "Ya belum tentu,"
"Ayolah Fanny, kita dukung, kalau sudah dapat share ke teman sekelas," sahut Bamban.
"Iya deh, aku usahain, tapi aku punya catatan ya, kalau aku dapat soalnya jangan dibocorin ke kelas lain, dan jangan percaya 100 persen ya, karena setahuku dia itu muridnya Pak Ranto, jadi bisa saja soalnya diganti kapan aja."
"Iya iya Fan, yang penting kamu usahain oke." balas Bamban penuh semangat.
*****
Besok ulangan matematika pertama Adiemas semenjak dia menjadi guru matematikaku. Tempo hari dia sudah berjanji akan mengajariku, setelah kejadian itu.
Eeehhh apa yang aku pikirkan, lupakan dia pasti tidak sengaja atau sengaja, tidak tidak, aku harus fokus, aku juga punya janji dengan teman-teman tentang soal ulangan iu. Kenapa jam segini dia belum datang, apa dia lupa.
Fanny
Adiemas jadi nggak ngajari aku, besok udah ulangan lho, kamu lupa?
Aku mengirim pesan line ke Adiemas, tapi belum ada respon, apa dia benar-benar lupa. Mana semua buku sudah aku letakkan di ruang tamu, malas mindah lagi ke kamar. Di luar mendung, sepertinya akan turun hujan.
Bulan ini adalah bulan Agustus, harusnya musim kemarau, namun nampaknya hujan sudah tidak sabar untuk jatuh ke bumi. Ibu sedang tidak ada di rumah karena sedang ada kegiatan PKK di kabupaten dan pasti pulangnya besok dan ayah entah kapan dia akan pulang, sendirian lagi disini.
"Ting"
Adiemas
Sekarang aku sudah ada di depan pintu
Fanny
Masuk aja nggak dikunci, aku ada di ruang tamu.
"Hai Fann, maaf telat, tadi aku mengamankan jemuran, mau hujan nih, hahaha."
Adiemas datang tanpa rasa bersalah, penampilannya berubah ia sudah tidak memakai seragam kerjanya. Dia memakai kaos polos putih yang dipadukan dengan celana denim. Di tangan kirinya bertengger sebuah jam Merk Rolex. Loh sejak kapan dia memakai jam itu, sungguh mencurigakan. Tapi aku tak mau ambil pusing dengan hal itu.
"Sudahlah, ayo cepat ajari aku."
"Siap bos." Dia mengakhiri kalimatnya dengan senyuman lebar yang entak kenapa membuat jantungku berdetak lebih cepatt.
Adiemas kini duduk di sampingku, ia masih berfokus pada buku yang ia bawa. Sementara aku segera membuka buku catatanku dan ya isinya masih kosong, aku baru ingat selama ini aku tidak perrnah mencatat pelajaran matematika, tapi apa yang mau dicatat.
Selama ini Pak Ranto hanya memberi penjelasan singkat yang sama persis dengan buku yang kupunya. Memang pembelajaran yang dia berikan sesuai dengan kurikulum baru yang sedang digadang-gadang oleh pemerintah, namun menurutku itu sama sekali tidak efektif.
Perlu kalian ketahui dalam kurikulum baru ini, guru hanya bersifat sebagai fasilisator sementara murid harus bisa mengeksplor pelajaran sendiri tanpa menunggu penjelasan dari guru. Memang tujuan dari kurikulum baru patut diacungi jempol, tapi yang kutahu banyak murid yang tidak paham pelajaran yang diterima, termasuk aku.
Aku tidak bisa membayangkan jika tidak ada internet mungkin aku tidak bisa menyeleseikan pekerjaan yang tidak bisa ditemukan di kurikulum baru ini, yang notabene buku bukanlah sebagai sumber ilmu tapi sumber soal.
"Jadi bagian mana yang kamu tidak bisa matriks, vektor, matematika keuangan, komposisi transformasi geometri, dimensi tiga, trigonometri, integral tentu atau integral parsial atau mungkin barisan dan deret?"
Dia bertanya kepadaku dengan masih fokus dengan buku yang dia pegang.
"Sekarang aku tanya besok kita ulangan bab apa?" tanyaku tak mau kalah.
Adiemas lupa atau pura-pura lupa aku kan meminta diajari karena besok ada ulangan bab trigonometri.
"Hahaha, kalau besok itu trigonometri, emang apanya yang susah itu bab paling mudah."
"Ya kalau aku paham, aku tidak minta tolong."
Aku sudah mulai kesal, tapi aku harus menahan emosi demi soal ulangan.
"Benar juga ya, sekarang bagian mana yang kamu tidak tahu?"
"Cara menghapalkan jumlah dan selisih dua sudut, banyak banget"
"Ohh itu, jadi cara menghapalkan rumus jumalh dan selisih dua sudt, itu misalnya sin alfa plus beta menjadi SCCS yaitu sin alfa cos beta cos alfa sin beta tandanya sama jika plus ya plus dan jika min ya min, kalau yang cos alfa plus beta menjadi CCSS hanya saja tandanya yang berbeda......."
Adiemas menjelaskan dengan sangat antusias, sambil sesekali dia menggoreskan beberapa catatan di kertas HVS, ternyata dia memang cocok menjadi seorang guru, sangat tenang dalam menjelaakan dan mempunyai kiat khusus agar murid yang diajar tidak bosan dan mudah paham.
"Sudah paham kan?"
Aku mencernanya pelan-pelan daam pikiranku, saat aku bisa mengingatnya, aku menganggukkan kepalaku.
"Yuup, terima kasih."
"Tidak ada ucapan terima kasih untuk guru, karena itu adalah kewajiban kami untuk mencerdaskan bangsa"
"Oke deh, Oh ya besok ulangannya soalnya kaya gimana?"
"Tunggu aja besok, nanti juga tahu, hahaha."
"Hemm, tapi jangan susah susah ya."
"Susah atau gampang itu subjektif, aku usahakan soalnya sesuai dengan kemampuan anak SMA kelas 12"
Kalau Adiemas masih disini bagaimana aku mencari soal ulangannya.
Drtttt drrttttt drrrttttt
"Bentar ya ada panggilan penting, sekarang kamu kerjakan soal latihan ini."
Mendengar hal itu aku hanya menggangguk tanda setuju, Akhirnya Adiemas pergi juga. Kesempatan ini akan aku gunakan untuk mencari soal ulangan. Menurut sumber yang k****a seorang guru biasanya menyiapkan soal ulangan dan diselipkan di buku pelajaran, jadi hal pertama yang dilakukan adalah mencari di buku yang dia bawa.
Satu persatu buku sudah aku buka tapi belum ada tanda tanda adanya soal ulangan itu. Apa yang harus aku lakukan, mana teman-teman sekelas sangat mengharapkanku. Tapi aku sudah membuka semua buku yang dia bawa, seharusnya aku minta belajarnya di rumah dia aja, siap tahu soal ulangan itu ada di rumahnya.
Sudahlah aku kerjakan soal ulangan ini saja, soalnya susah banget ini pakai rumus apa perbandingan trigonometri apa jumlah dan selisih dua sudu atau bagaimana, berbagai pertanyaan berkelibat di kepalaku. Adiemas belum juga ulangan soal latihan saja sudah susah.
Aku harus mencobanya dulu siap tahu ketemu jawabannya, untuk model soal seperti ini langkah pertama adalah menggambarnya, setelah itu memberi keterangan sudut di gambar dan mulai memadukan rumus.
"Loh kok nggak ketemu,aku menyerah," keluhku.
Seperti biasa soal matematika itu sangat susah untuk dipecahkan, berbeda dengan soal fisika jika kita sudah paham konsep maka dengan rumus apapun dapat dengan mudah diketahui jawabannya, sementara soal matematika itu mutlak tidak bisa diganggu gugat. Kalau aku menyerah sekarang, pasti Adiemas akan menertawaiku habis-habisan, dia pasti berkata soal seperti itu kog nggak bisa.
Aku kembali menyemangati diriku sendiri. Aku membolak balik soal itu dan mengangkatnya ke atas, tidak ada gunanya. Tunggu sepertinya aku melihat tulisan di balik kertas ini, kemudian kubalik soal yang diberikan Adiemas. Ternyata soal ulangan besok. Yes akhirnya, aku harus segera memfotonya, mumpung Adiemas tidak ada disini.
"Bagaimana Fann, bisa nggak?"
Adiemas tiba-tiba datang, beruntung tadi aku masih sempat merapikan buku dan mebalik soal ulangan menjadi soal latihan tadi.
"Susah banget, aku sudah berulang kali mencoba tapi hasilnya nihil."
"Sini aku lihat, emmm sebenarnya caranya dari atas sampai bawah sudah benar tinggal selangkah lagi kamu pasti bisa menemukan jawabannya."
"Kamu yakin Adiemas?"
Aku masih ragu dengan jawabannya.
"Iya, kamu itu kalau mengerjakan soal jangan setengah tengah, jangan ragu-ragu, kamu harus terus yakin kalau nantinya jawaban yang akan kamu cari akan ketemu, pasti nanti kamu bisa menemukan jawabannya dan yang penting ketika menjawab soal itu harus tenang, kerjakan perlahan-lahan jangan terburu-buru, sekarang kamu coba lagi!"
Mendengar hal itu mau tak mau aku lalu mencobanya lagi, perlahan-lahan dan tenang, dan yang terpenting harus yakin kalau aku bisa menemukan jawabannya.
"Yess, ini bagaimana Adiemas?"
"Nah benar itu bisa, tapi kalau nulis agak rapi ya berantakan gitu, susah bacanya tahu, hahaha."
"Lhah, kan yang penting aku bisa menyeleseikannya"
"Ya juga, tapi kalau kamu nanti jadi mahasiswa tulisan tangan juga penting."
"Siap bossss!"
"Sekarang, kamu kerjakan lima soal lagi!"
"Tiga saja Adiemas," pintaku.
"Ya sudah kalau begitu sepuluh soal saja, oke."
"Hemm lima saja deh kalau begitu."
Adiemas ini diajak bernegosiasi malah mau ditambah jumlah soalnya.
"Bledarrrrr bledarrrrr"
"Awww."
Aku berteriak ketika dahiku menyentuh dahi Adiemas, suara petir tadi telah mengangetkan kami, sehingga tanpa sengaja kami menoleh bebarengan dan jadilah dahi kami saling berbenturan.
****