Baru ku sadari
Di sini hanya aku yang merasa sakit
Sementara kamu hanya diam di sana
-Fanny Andreas-
****
Fanny POV
Entah sudah berapa lama aku berada disini. Yang jelas sekarang aku merasa kedinginan, apalagi ditambah dengan angin yang berhembus membuat udara itu semakin menusuk ke kulitku.
Hujan belum juga reda malah semakin deras. Mataku terasa sangat perih, entah itu karena air hujan atau karena aku yang terlalu lama menangis.
Kuputuskan untuk pulang ke rumah. Akan tetapi dengan cuaca seperti ini pasti tidak akan ada bus yang mau berhenti. Mereka hanya sekedar lewat tanpa mau menerima penumpang.
Hal yang bisa kulakukan untuk sampai ke rumah adalah berjalan kaki. Aku mulai melangkahkan kakiku menembus hujan.
Lagipula aku sudah kepalang basah, jadi buat apa aku berteduh. Selama aku berjalan, orang-orang yang ada di sekelilingku menatapku dengan pandangan aneh. Bisa kulihat dengan jelas bahwa mereka berbisik-bisik lalu menggeleng-gelengkan kepala ada juga yang memasang raut wajah bingung.
Apa aku sebegitu anehnya di mata mereka? Nggak ada larangan kan untuk menerobos hujan. Kenapa mereka sibuk mengurusi urusanku. Sudahlah aku tak mau ambil pusing, hatiku sekarang sedang dalam keadaan yang buruk dan semua itu karena orang itu.
Tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang menaungi tubuhku sehingga aku tidak merasakan tetesan hujan lagi.
Apa mungkin tiba-tiba disini ada awan yang melindungiku dari hujan, tapi itu tidak mungkin. Bukankah hujan turun dari awan.
Aku kembali melanjutan langkahku, dan aku masih tidak merasakan tetesan air hujan.
Akhirnya aku menghentikan langkahku, akan tetapi ada sesuatu yang keras menubrukku.
Yang membuat tubuhku hampir terjengkang ke depan jika tidak ada lengan yang menahan tubuhku.
Degh
Aku seperti mengenal tangan yang merengkuh tubuhku. Jangan bilang itu dia.
Perlahan aku mencoba melepaskan tangan ini.
"Jangan lepaskan."
Suaranya yang parau beradu dengan derasnya air hujan.
"Lepaskan Adiemas."
Aku masih mencoba melepaskannya. Tanpa pikir panjang aku menginjak kakinya.
"Arghhh."
Teriaknya sambil mengangkat sebelah kakinya yang kuinjak.
Setelah dia melepaskanku, segera ku berlari untuk menjauhinya.
"Fanny, Fanny."
Adiemas berteriak memanggilku dan berusaha mengejarku.
Entah aku yang terlalu lelah untuk berlari atau memang dia yang terlalu cepat untuk mengejarku, akhirnya dia berhasil menghentikanku.
"Fanny."
Adiemas memegang tanganku. Posisiku berdiri membelakanginya.
Aku diam tidak membalas ucapannya, keberadaan dia disini hanya membuat hatiku semakin sedih.
"Fanny."
Dia membalikkan tubuhku untuk menghadapnya.
"Ka. .mu. . menangis?" tanyanya.
Mungkin dia terkejut melihat air mata yang mengalir di deras di pipiku.
"Lepaskan tanganku Adiemas, dan mulai sekarang jangan temui aku lagi." Ucapku terbata-bata.
"Kenapa, kenapa aku harus lakukan itu."
"Tanya pada dirimu sendiri."
Dia hanya diam dengan memandang sendu ke arahku. Tangannya mencoba menangkup kedua pipiku. Tapi aku mencegahnya dengan mundur menjauhinya.
"Apa yang sudah kamu lakukan kepadaku?" lanjutku kemudian.
Aku masih terisak di depannya.
"Memangnya aku melakukan apa?"
Bagus sekali, disini hanya aku yang merasa sakit. Sementara dia dengan entengnya berbicara seperti itu.
"Hahahaha." Aku tertawa hambar.
Kulihat Adiemas semakin mengernyit bingung.
"Fanny, ayo kita pulang." Ajaknya.
Akhirnya hanya kata itu yang keluar dari bibirnya, sudah kubilang kan dia sama sekali tidak peduli kepadaku.
"Cukup Adiemas, jangan pernah kamu ganggu aku lagi, urusi hidupku lagi, jangan pura-pura sok peduli padaku."
Aku tidak bisa lagi menahan kemarahanku, aku tak peduli dengan tanggapannya padaku.
"Fanny, aku sungguh peduli denganmu, karena aku."
Sebelum dia menyeleseikan ucapannya aku berkata.
"Aku sudah tidak mau mendengar apapun lagi darimu, anggap kita nggak saling kenal."
"Fanny, apa maksudmu berbicara seperti itu?" Tanyanya frustasi.
Aku tidak menanggapi ucapannya malah berbalik pergi meninggalkannya.
Adiemas hanya diam mematung tanpa mengejarku. Seharusnya aku senang dengan hal itu tapi kenapa melihatnya diam seperti itu malah membuat hatiku semakin perih.
Aku terus berjalan menembus hujan untuk sampai ke rumahku. Rasanya kakiku sudah tidak bisa digerakkan lagi karena lelah berjalan.
Jarak tujuh kilometer ternyata cukup jauh jika kutempuh dengan berjalan, sekarang aku menyesal tidak menerima ajakan Ayu untuk pulang bareng. Dan aku tidak perlu melihat kejadian tadi, pengakuan Adiemas dengan wanita itu.
Kenapa juga hujan ini tidak kunjung reda, setidaknya kalau reda aku bisa berjalan dengan cepat tidak perlu khawatir lagi dengan adanya kubangan lumpur di depan atau genangan air yang bertebaran dimana-mana.
Tinn. . .tin
Ya Tuhan cobaan apa lagi ini, kenapa semuanya seolah mengejek kesedihanku terutama mobil yang sering mengklakson untuk membuatku minggir.
Padahal aku sudah berjalan di sisi jalan yang paling pinggir. Kalau bisa aku memilih terbang saja daripada diklakson tidak jelas.
Tinn. . .tinn
Apa lagi ini, kenapa mobil itu terus mengklakson diriku.
Hey pak, buk, mas, mbak, siapapun pengemudi mobil itu jalan kan luas kenapa masih mendeskriminasi kami pejalan kaki.
Tinn. . .tinn
Astaga, apa mobil itu mau merasakan lemparan sepatuku.
Mobil itu lalu berhenti di sampingku. Dan jendelanya kemudian diturunkan oleh pengemudinya.
"Ayah."
Mataku terbelalak kaget saat mengetahui Ayah yang berada di balik kursi pengemudi.
Lewat matanya dia menyuruhku untuk masuk ke dalam. Aku berjalan takut-takut masuk ke dalam mobil.
Aku merutuki kebodohanku yang tidak menyadari bahwa mobil itu adalah mobil ayahku.
"Masuk Dek." Pinta ayahku saat aku tak kunjung membuka pintu mobil.
"Eh. . .iya Ayah." Jawabku dengan suara pelan.
Ayah mulai menghidupkan mobilnya dan mengemudi tanpa bicara padaku.
Sementara aku sendiri tak berani berbicara kepadanya. Apalagi melihat otot rahangnya yang mengeras semakin menyiutkan nyaliku.
Ayah kalau marah hanya diam tanpa bersuara. Tapi karena diamnya itu jadi terkesan menakutkan. Orang lain nggak akan ada yang tahu apa yang sedang dipikirkannya. Dan yang paling penting orang lain nggak akan tahu Ayah marah kepada siapa, karena dia akan mendiamkan semua orang.
Akan tetapi kalau begini keadaannya bisa dipastikan bahwa ayah marah padaku, karena semarah apapun ayah kepada orang lain dia akan tetap tersenyum kepadaku.
Kuharap semua akan baik-baik saja. Aku menghela napas frustasi. Pasti nanti ibu juga akan memarahiku.
****
Sampai di rumah aku langsung bergegas untuk masuk ke kamar yang ada di lantai atas.
Belum juga aku menaiki tangga, suara Ayah menghentikan langkahku.
"Fanny Andreas."
Ayah memanggilku dengan nama lengkap itu berarti dia benar-benar marah padaku.
"Apa ada yang mau kau jelaskan pada ayah?"
Oh tidak tatapan Ayah mengintimidasi, seumur-umur aku belum pernah ditatap seperti itu. Kuharap setelah ini aku tidak mendapat tatapan itu lagi.
"Emm. .tidak ada Ayah."
Aku menundukkan kepalaku karena tidak berani membalas tatapannya.
"Mata yang membengkak, jalan kaki di tengah hujan, Ayah butuh penjelasan Dek." Suara sedikit melembut meski nadanya masih saja tegas.
"Ayah."
Aku mencoba membalas ucapannya tapi entah kenapa kepalaku terasa berat, kakiku tidak bisa lagi menopang berat tubuhku.
Pandanganku memburam, sepertinya aku akan pingsan.
"Dek, Adek."
Samar-samar kudengar ayahku memanggilku. Aku mencoba membalas panggilannya tapi seluruh tubuhku tidak bisa kugerakkan.
Hal terakhir yang kuingat adalah Ayah yang mendekat ke arahku.
****
"Nghh."
Mataku terasa berat untuk terbuka. Kurasakan ada sesuatu yang basah di keningku. Kuraba-raba untuk memastikan benda itu.
"Kompres?" gumamku.
Ada kompres di keningku, jadi aku tadi pingsan dan itu terjadi di depan ayahku.
"Aww."
Aku meringis kecil saat menyadari keningku yang terluka semakin sakit karena terlalu lama terkena air.
"Kenapa tambah sakit?"
Ini sebenarnya yang sakit kepalaku atau hatiku, kalau begini ceritanya aku mengalami apa yang namanya sakit berdarah, sakit hati ditambah kening yang terluka. Betapa beruntungnya diriku ini. Aku tersenyum miris.
Kulihat ke arah jendela, tampaknya hujan telah reda. Aku kemudian mencoba bangkit dari tempat tidurku. Meskipun masih lemas tapi aku mencoba berjalan ke arah balkon.
Dari sini aku bisa melihat pepohonan yang masih basah. Itu berarti hujan baru saja reda.
Lalu kualihkan pandanganku ke tempat lain.
Di sana aku melihat wanita itu berkunjung ke rumah Adiemas.
Aku tidak salah lihat bukan.
Sebenarnya sejauh apa hubungan mereka, apa aku memang tidak berarti apa-apa baginya.
"Tes"
Tanpa bisa dicegah air mataku kembali mengalir.
Satu hal yang pasti
Kamu memang bukan untukku