Come Back

1622 Words
Jika benang takdir seseorang saling terkait Pertemuan pasti terjadi meskipun kita mencoba menghindarinya -Fanny Andreas- **** "Fanny, ayo cepat berangkat!" Teriak ibu memanggilku. "Iyaaaa bentar." Ibu kini sudah berada di depanku, mengenakan baju kebanggaanya. Kain batik Jawa motif Truntum dengan warna coklat muda, dihiasi ornamen cantik di bagian dadanya. Wajahnya yang sudah tidak muda lagi dipoles dengan make up tipis nan menawan. Penampilannya masih terlihat segar meski hal itu tidak dapat menutupi tubuhnya yang mulai gemuk. Mungkin tubuhnya yang gemuk karena ia jarang berolah raga, meski ibuku adalah seorang wanita pekerja keras yang dapat menyeleseikan semua pekerjaan rumah dengan tangannya sendiri. Mulai dari menyapu, mengepel lantai, memasak, mencuci, bahkan merapikan kebun di depan rumah. Akan tetapi bekerja dan berolahraga adalah suatu hal yang berbeda. Bekerja memang banyak mengeluarkan keringat, tapi metabolisme tubuh tidak mengalir seaktif saat kita berolahraga. Ketika berolahraga metabolisme mengalir secara aktif sehingga dapat membuang racun dalam tubuh, itulah yang membuat orang yang sering berolahraga, badannya menjadi lebih kencang. Tidak seperti ibuku, semakin bertambah usianya semakin bertambah gemuk tubuhnya. Tapi walau bagaimanapun juga, ia adalah ibuku, yang masih terlihat sangat cantik setidaknya bagiku dan bagi ayahku. "Ahh, malas bu," jawabku tidak bersemangat. "Kenapa, kau kan sudah lama tidak bertemu dengannya, ibu masih ingat waktu kamu kecil, lengket terus sama si Adiemas, hebat ya dia sudah pintar, ngganteng pula, siapa tahu dia. . . ah sudahlah ayo cepat keburu acaranya mulai!" Apa ibu bilang, menurutku si Adiemas itu orangnya sangat menyebalkan, kalau dia tidak sepintar itu mungkin aku bisa hidup dengan tenang. Setiap hari orang-orang selalu membandingkanku dengan dia. Walau kami bertetangga bukan berarti sama kan. Lagi pula kami tidak punya hubungan darah jelas saja beda. Sifat dan karakter bahkan kecerdasan manusia itu ditentukan oleh gen yang diwariskan turun-temurun. Aku dan Adiemas dilihat dari segi manapun jelas berbeda. Setiap kali keluar rumah selalu ditanya. "Kok kamu nggak seperti Adiemas" "Adiemas pintar banget kamu gimana Fann?" Pertanyaan yang membosankan. Memang aku akui Adiemas itu pintar, cerdas malah. Dari SD sampai SMA ia tempuh dengan cepat, tak heran memang karena ia terus masuk program akselerasi. Menjadi mahasiswa termuda di kampusnya, saat itu usianya masih 15 tahun. Lulus tercepat dengan predikat summa cumlaude, bayangkan nilai 4 sempurna. Padahal biasanya kalau mahasiswa kuliah selesei cepat nilai IPKnya biasa aja, Adiemas yang hanya menempuh kuliah selama 2 tahun bisa mendapat nilai IPK sebagus itu. Keluarganya menggunakan kesempatan langka ini dengan mengadakan syukuran besar-besaran. Semua orang di desa baik yang diundang maupun tidak memenuhi rumahnya. Aku sebenarnya penasaran seperti apa dia sekarang? Kadang aku berpikir, makan apa dia sampai secerdas itu. Tapi yang membuatku heran adalah kenapa ia mengambil jurusan pendidikan bukan kedokteran, seperti yang biasa diambil oleh orang orang yang masuk program aksel, biar dapat embel-embel Mahasiswa Kedokteran termuda. Entahlah hanya Adiemas yang tahu alasannya. "Fanny, kok malah bengong?" Tanya ibu membunyarkan lamunanku. "Iya, iya Ibu, Ibu berangkat duluan aja sama Ayah, nanti aku nyusul, lagian acaranya masih satu jam lagi." jawabku dengan senyuman terpaksa. "Iya, tapi kamu harus datang lho, kalau tidak uang saku kamu ibu potong setengahnya." "Hemmm, iya." Ibu selalu saja seperti itu, memaksaku dengan uang saku sebagai andalannya. Dulu kupikir ibu hanya main-main, tapi saat lebaran tahun lalu, aku tidak mnghadiri arisan keluarga. Ibu lalu memotong uang sakuku selama sebulan. Jadilah sebulan terpaksa bawa bekal dari rumah, karena uang saku yang pas-pasan. Untung saja, dulu masih punya uang fitrah jadi iuran-iuran sekolah masih bisa aku tangani menjadi tidak bertumpuk-tumpuk. Karena itu, sekarang mau tidak mau aku harus datang, tapi kalau sedikit terlambat tidak apa-apa kan. Yang penting aku datang ke acara itu. Ha ha ha, tawaku dalam hati. Ibu tidak akan tahu, toh nanti ia bakal sibuk merumpi dengan para tetangga. "Yeeee," teriakku dalam hati. Pokoknya nanti aku akan datang tepat 10 menit sebelum acara usai, harus bawa jam tangan ini. Malas banget, disana pasti cuma dengar orang-orang muji si Adiemas itu. Aku keluar rumah lewat pintu belakang, kalau lewat depan rumah pasti langsung ketahuan ibuku, rumah Adiemas saja tepat ada di depan rumahku. Sekali buka pintu, langsung dipanggil deh ke sana, dan jelas aku tidak bisa menolak. Dengan langkah mengendap-endap aku keluar rumah dan langsung berlari menuju jembatan di atas sungai yang tak jauh dari rumahku. Kupandangi bayangan diriku dalam air, ternyata wajahku memang tidak berubah. Mataku masih saja sipit dari lahir, tampaknya usaha untuk memebesarkan mataku tidak berhasil, aku tersenyum sendiri. Sungai ini masih jernih, kalau aku sedang bosan di rumah, pasti aku datang ke sini untuk menikmati pemandangan yang terlihat hijau nan asri. Jika beruntung, di sore hari kita dapat melihat indahnya matahari terbenam. Kulihat langit, warnanya biru bersemburat jingga, burung burung melintasi langit seakan berlomba siapa yang akan sampai duluan ke sarang. Kembali kupandangi bayanganku di air. Ada bayangan lain disamping wajahku. Wajahnya terlihat tak asing, hidung mancung seperti paruh elang, mata coklat yang berbinar bak mutiara di dasar laut. Dia, dia adalah Adiemas, ya wajah itu adalah Adiemas, wajah itu lalu menyimpulkan senyum tipis. Aku memejamkan mata lalu membuka mataku kembali, berharap di depan mataku ini bukanlah Adiemas, ternyata bayangan itu masih ada tepat disampingku, Aku lalu berbalik ke belakang. Benar dugaanku bahwa dia adalah Adiemas. "Kenapa melihatku seperti itu, seperti melihat hantu saja," tanyanya dengan raut tanpa rasa bersalah. Tidak tahu apa, aku hampir saja jatuh karena saking kagetnya melihat dia. "Salah siapa muncul tiba-tiba," bentakku galak. Kupandangi dia dengan ekspresi sinis, untuk apa dia kesini, padahal aku sudah bersusah payah kesini agar tidak bertemu dengannya, eh malah dia ada disini tepat di depanku. Lho kenapa dia terlihat sangat tinggi, meski aku sudah mengenakan hak tinggi, tetap saja ia tetap lebih tinggi dariku. Apa karena pakaian yang dia kenakan sehingga mebuatnya terlihat lebih tinggi. Kemeja abu-abu bergaris vertikal dengan bawahan jean berwarna hitam, ia lebih terlihat seperti seorang model daripada seorang guru. "Kenapa liat-liat, kagum ya, aku ngganteng kan." Katanya sambil tertawa. "Hehh, ngganteng darimana coba, ngapain kesini bukannya ada acara syukuran di rumahmu harusnya kamu duduk disana, kasihan itu fansmu banyak yang nunggu." "Kamu sendiri kenapa disini?" Ia malah balik bertanya dan mengelus rambutku. "Hentikan Adiemas, berantakan nih, ditanya malah balik nanya." Sahutku kesal sambil membenarkan posisi poniku. "Kok Adiemas, dulu kamu biasanya panggil aku Bagas atau nggak Ping, hahahaha." Ini orang ditanya apa malah jawabnya apa, hemm belum tau apa jurus tendanganku. "Tadi aku disana bosen ya sudah kesini, siapa tau bisa ketemu Nawang Wulan jadi bisa ambil selendangnya dijadiin istri deh, eh malah ketemu Fanny, Ratu galak, hahahaha," ucapnya mengejekku. "Tau ah, pergi sana nanti dicariin." "Kamu, nggak sekalian bareng? "Tidak," jawabku singkat. "Yakin?" Tanyanya antusias. "Siap tidak," ucapku dengan nada sigap seperti nada tentara kalau sedang baris berbaris. Ia lalu berbalik pergi, meningggalkanku sendiri di atas jembatan ini, tapi baru beberapa langkah melangkah ia lalu bebalik lagi ke arahku. "Fanny, kamu yakin tidak bareng aku, lihat di belakangmu ada apa?" Tanyanya cekikikan memperlihatkan sedikit gigi rapinya yang terlihat putih bersih. "Aahhhh, Adiemas cepat kemari!! aku takut". Teriakku saat aku tahu di belakangku ada seekor anjing besar, sial tidak biasanya ada anjing di sini. Aku sangat takut dengan anjing, tubuhku tidak bisa bergerak, keringat dingin membasahi tubuhku. Bayangan anjing mengerikan berkeliaran di kepalaku, meski banyak orang yang menganggap anjing adalah binatang yang lucu dan pintar, bagiku anjing adalah binatang paling menakutkan di dunia, anjing hanya bisa menggigit dan menggonggong. Suka menjulurkan lidah dan setiap kali menjulurkan lidah, air liur menetes dengan deras, tak terbayang berapa banyak bakteri parasit yang ada di air liurnya. Apalagi kalau sampai terkena gigitannya bisa kena virus rabies. Ya Tuhan tamatlah riwayatku, dan di depanku si Adiemas hanya tertawa terbahak-bahak. "Adiemas, cepat!" Teriakku kembali. "Katanya nggak mau." Adiemas, apa susahnya langsung kemari, tidak lihat apa aku sangat ketakutan. Bagaimana kalau anjing ini menggigitku, membayangkannya saja sudah membuatku takut. Adiemas lalu medekat ke arah aku. Tanpa pikir panjang aku langsung memeluknya dengan erat, ia lupa apa kalau aku takut anjing atau ia sengaja mengejekku. "Hush, Hush," begitu teriaknya. Anjing itu lalu menggonggong dengan keras dan lama-lama makin pelan. Saat mendengar suara gonggongannya, tanpa sadar aku mempererat pelukanku. "Sudah, anjingnya sudah pergi, aku tidak bisa nafas nih." Tiba tiba suara Adiemas menyadarkanku "Heee," langsung aku lepas pelukanku. "Curi curi kesempatan," tambahku ketus. "Sekarang aku tanya siap yang main peluk duluan?" Tanyanya mendekatkan wajahnya ke arahku "Ya, itu karena..., tapi kamu juga menepuk nepuk punggungku." Tukasku tak mau kalah. "Sudahlah, ayo ke rumahku acaranya sudah dimulai, kamu mau ditinggal sendiri disini, siapa tau anjing itu nanti balik kesini lagi, hahaha." "Iya iya." Balasku pasrah sambil menggengam tangannya Kalau saja anjing itu tidak ada disana, ini adalah sebuah kebetulan yang aneh. Semua yang kurencanakan gagal total, kupandangi jam tanganku, sekarang adalah pukul tiga sore lebih lima puluh menit, Ini bukan sepuluh menit sebelum acara selesei tapi sepuluh menit sebelum acara dimulai.  Manusia memang hanya bisa bisa berencana, semuanya tergantung yang di atas. Semua hal yang terjadi di dunia ini sudah tertulis di dalam takdir, termasuk pertemuanku dengan Adiemas yang selama 6 tahun tidak pernah bertemu. Dan sekarang aku berniat untuk tidak bertemu dengannya, malah bertemu dengan dia disini dan tidak hanya itu kita ke acara syukurannya bersama-sama. Sampai sana pasti nanti aku diledek ibuku. Ya Tuhan, kenapa kau tulis takdirku hari ini seperti ini. Astaga aku tidak boleh seperti ini, sama saja aku menjadi manusia yang tidak bersyukur, kalau Adiemas tidak disini bisa-bisa aku digigit anjing. Diledek ibuku masih lebih baik daripada harus digigit anjing dan terkena virus rabies. Pokoknya akau harus besrsyukur. Walau bagaimanapun aku harus berterima kasih kepada Adiemas, terima kasih Adiemas. "Ya sama-sama,'' tukasnya sambil tertawa terbahak-bahak Hehh, jangan-jangan dia bisa membaca pikiranku. Astaga!!!! "Makannya, kebiasaanmu bicara sendiri itu harus kamu ubah" tambahnya tersenyum meledek Berarti yang aku pikirkan tadi juga terucap dari bibirku, ya ampun aku sangat malu, oke Fanny besok kebiasaanmu ini harus kamu hilangkan, yakinku dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD