Keresahan
KERESAHAN itu terasa kian menjepit. Seperti
segumpal duri yang mengganjal di lekuk hatinya. Itu yang dirasakan oleh Yeti sejak dari kemarin.
Diamenunggu suaminya belum pulang jua. Padahal dia sering mengalami keadaan seperti itu, tapi untukkali ini, entah kenapa keresahan datang menggeluti hatinya.
Mungkin lantaran ada kemurungan di wajah
suaminya? Atau karena di hari belakangan ini
kerapkali dilihatnya Fendy sering melamun? Bisa
jadi begitu.Sejak suaminya pulang dari Surabaya
banyak sekali mengalami perubahan.
Jadi pemurung dan sering melamun. Suka duduk
menyendiri dan jarang bersenda gurau dengan
kedua anaknya.
Tentunya sebagai seorang istri punya prasangka. Punya rasa atas segala perubahan
suaminya. Di samping dia harus menerima
kenyataan, bahwa menjadi seorang istri bintang
film yang sedang populer harus penuh pengertian.
Harus mampu mengendalikan, rasa egois dan rasa cemburu. Tapi sebenarnya bukan itu tumbuhnya keresahan di hatinya. Melainkan dari perubahan sikap yang dialami suaminya.
Adakah masalah yang dihadapi suaminya selama shooting film di Surabaya? Kalau memang tidak ada masalah, tak mungkin sikapnya berubah begitu. Dan selama ini Fendy senantiasa berterus-terang kepadaku, apabila menjumpai suatu masalah. Baik itu masalah yang dianggapnya kecil ataupun besar.
Dia seorang suami yang baik menurutku. Seorang suami yang setia menghadapi
kenyataan yang kualami. Senantiasa menjaga
keutuhan rumah tangga kami, walau kemelut selalu mengintai. Mengancam biduk rumah tangga kami di ambang kehancuran.
Suara beli rumah berbunyi. Pembicaraan dalam diri Yeti terhenti. Dia bersejingkat bangun dari tempat duduknya. Lalu berjalan ke ruang tamu.
Berdebar-debar juga jantungnya. Suara Dino dan
Ria terdengar gembira menyambut kedatangan
tamu itu. Lantas kedua anak kecil itu menarik
lengan Nita memasuki ruang tamu. Nampaknya
kedua anak kecil itu sudah begitu akrab dengan
tamunya itu.
"0, Nita."
"Selamat siang, mbak Yeti."
"Siang."
"Mana permennya. Tante."Dino merengek sambil menggelendot di lengan Nita.
"Iya, kemarin tante janji mau bawakan permen. Ayo mana sekarang!" kata Ria ikut merengek.
"Dino sama Ria tidak boleh begitu ya?"tegur Yeti.
"Masak kalau tante Nita datang selalu dimintai
permen. Itu kan tidak baik."
"Ah, tidak apa-apa, Mbak. Kemarin saya yang
menjanjikan mau bawakan permen untuk mereka."
Lalu Nita mengambil dua bungkus permen dari
dalam tasnya. Kedua anak itu kemudian berlari
setelah menerima permen pemberian Nita.
Nita dan Yeti duduk di kursi tamu.
"Mas Fendy pergi ya. Mbak?" tanya Nita.
Yeti menarik napas panjang disertai anggukan kepala.
"Ke mana?"
"Tidak tahu. Dari kemarin belum pulang."
"Dari kemarin belum pulang?" dahi Nita berkerut.
"Padahal kemarin siang mas Fendy pergi sama saya lho, Mbak."
"Apakah mas Fendy pernah bercerita kepadamu tentang apa saja, setelah dia pulang dari Surabaya?"
"Memangnya mas Fendy kenapa?"
"Sejak dia pulang dari Surabaya nampak banyak berubah. Sering termenung dan melamun."
Nita senyum-senyum. Membuat Yeti jadi curiga. Karena senyum Nita seperti menyembunyikan sesuatu.
"Selama ini kau akrab sekali dengan mas Fendy. Tolonglah beri tahu padaku, Nita. Tidak usah
sungkan-sungkan." pinta Yeti.
"Ah, aku tidak enak untuk mengatakannya,Mbak" desah Nita.
"Tidak apa-apa. Ayo katakan, Nita. Jangan biar
kan mas Fendy jadi pemurung sepanjang hari.
Dengan kau mau berterus terang padaku, itu berarti kau mau membantu kelangsungan hidup rumah tangga kami."
"Sebenarnya berat juga hati Nita untuk mengatakan".
"Sebenarnya kenapa?" desak Yeti.
"Ah, bagaimana ya?"
"Jangan ragu-ragu, Nita. Katakan terus terang."
"Kemarin siang saya diajak mas Fendy mencari rumah temannya."
"Siapa?"
"Dia bilang namanya Dewi. Gadis itu asalnya dari Surabaya dan belum lama tinggal di Utan
Kayu."
"Mas Fendy ketemu dengan gadis, itu?"
"Tidak. Tapi mas Fendy bilang pada saya kalau sorenya akan datang lagi. Malah mas Fendy
sempat membuat surat untuk gadis itu."
Yeti menarik napas sembari tersenyum. Tak
nampak adanya rasa cemburu atau marah di raut wajahnya. Tetap biasa-biasa saja, seperti kerap kali suaminya menghadapi penggemar nya. Dia selalu penuh pengertian dan percaya pada suaminya.
"Cuma itu?"
"Ya, cuma itu. Tapi nampaknya mas Fendy
menaruh hati pada gadis itu."
"Dia bilang begitu?"
"Ya. Mas Fendy cerita pada saya dari awal
perkenalan dengan gadis itu ketika shooting di
Surabaya. Dan gadis itu datang ke Jakarta dengan maksud mencari mas Fendy."
"Mas Fendy bercerita begitu kepadamu?"
"Ya. Sungguh, Mbak. Saya tidak berbohong.
Kayaknya mas Fendy dengan gadis itu sudah
membuat kencan sewaktu mereka bertemu di
Surabaya."
"Darimana kau tahu begitu?"
"Mas Fendy cerita padaku. Gadis itu dulunya
bekerja di coffee shop dan ikut shooting sebagai
figuran. Entah karena apa gadis itu jadi keluar dari pekerjaannya setelah ikut shooting film itu. Mas Fendy tidak menceritakan secara mendetail. Cuma lantaran ikut shooting, gadis itu berhenti dari pekerjaannya dan kabur ke Jakarta. Dan mas Fendy merasa bersalah padanya."
Yeti termenung memandangi lantai. Bersalah? Mas Fendy merasa bersalah kepada gadis itu? Apa yang telah diperbuatnya sampai dia merasa bersalah? Pertanyaan itu berkecamuk di dalam benaknya.
"Aku rasa mas Fendy sejak kemarin sore pergi
bersama gadis itu," ujar Nita membakar rasa
cemburu Yeti. Lantas dia mengambil sebatang
rokok dan disulutnya. Dengan santai dia mengisap rokoknya.
"Kau tahu tempat tinggal Dewi?"
"Tahu. Mbak mau mencarinya ke sana, mari aku antar."
"Tapi bagaimana ya? Selama ini aku tidak pernah mencari atau menyusul kepergian suamiku. Ah, biarkanlah saja, Nita. Nanti dia kan pulang sendiri," ujar Yeti jadi ragu-ragu.
"Mbak Yeti jangan sampai membiarkan mas
Fendy bermain api di luar rumah. Ini bisa
membahayakan keutuhan rumah tangga mbak Yeti. Ya kalau gadis itu baik-baik. Kalau ternyata gadis itucuma mau morotin atau merusak rumah tangga mbak Yeti, bagaimana?"
Yeti jadi bimbang. Keresahan makin menghimpit, hingga dadanya terasa sesak untuk bernapas. Mungkinkah mas Fendy tidak bisa menilai macam apa gadis yang disenanginya itu? Dan
haruskah aku hilang rasa kepercayaan dan rasa
pengertian yang selama ini ada dalam diriku? Cuma untuk seorang gadis yang bernama Dewi?
"Ayo, Mbak. Kita cari mas Fendy di sana."
Yeti menimbang-nimbang ajakan Nita. Masih
nampak ragu-ragu. Namun ketika dia ingat sewaktu Fendy pergi dalam kondisi badan yang kurang sehat, maka tergerak hatinya untuk mencarinya. Bukan lantaran cemburu atau jengkel. Bukan. Bukan itu.
Dia khawatir kalau sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Itu saja.