Sadar

2050 Words
"Bukan gue pelakunya ! Gue cuma—" "Diam Lo! " sela Fajar. Suara Fajar menggema di lorong lobi parkiran. Biasanya, Jina tidak takut pada kakak tirinya, yang kini berdiri tegak di hadapannya. Namun kali ini, Jina tidak berani mengangkat kepalanya, barang semenit pun. Tatapan tajam, rahang mengeras dan tangan terkepal menjadi pemandangan pertama jika Jina mengangkat kepalanya. Deru napas Fajar yang begitu keras, sudah cukup membuat Jina spontan melangkah mundur, ingin kabur, tapi langkahnya terkepung. Di belakangnya sudah ada Seno, yang sama marahnya dengan Fajar. Jina tidak mengerti mengapa Seno yang sebaya dengannya sama sekali tidak tertarik sedikit pun pada Jina selayaknya yang lain. "Mau ke mana lo? "sergah Seno. Nada suaranya yang dingin, seolah langsung menghantam Jina untuk kembali menarik langkah. "Udah ketemu di mana Jihan?" Perhatian Seno terbagi begitu Nasim datang dengan wajah cemas dan napas tersenggal. Nasim menggeleng, jelas. Sebenarnya, tanpa menjawab pun Seno sudah tahu jawaban apa yang dia dapat dari Nasim yang kini melempar tatapan benci dan marah pada Jina. Jina cepat-cepat menyembunyikan wajahnya di balik poninya. "Kamar rawat Zia berantakan. Tapi, Jihan tidak ada di kamar rawat Zia," jawab Nasim cepat. Jina melirik, cemburu, tidak suka jika Nasim begitu mencemaskan Jihan. "Di culik? " cemas Seno. Nasim kembali menggeleng tegas, tidak yakin. "Lo tenang aja. Rumah sakit ini sudah di kepung," timpal Fajar, menenangkan. Jina mencuri lirik, menatap sekitarnya yang terlihat sangat tegang. Jina mendesis pelan, sialnya, aksi kali ini menjadi bomerang baginya. Entah apa yang akan terjadi padanya setelah ini. "Perawat melihat Jihan berlari, mengejar pelaku. Seluruh staff rumah sakit sudah menyebar, mencari keberadaan pelaku." Nasim menjelaskan, cepat. "Gue ke sini mau—" "Nyusahin banget sih, tuh cewek ...." desis Jina, tidak tahan lagi melihat Nasim begitu mencemaskan Jihan. Sontak kalimat Jina mengundang tatapan marah dari Nasim, tatapan kesal dari Seno dan tatapan benci dari Fajar. Tapi Nasim dan Seno memilih menahan kemarahan mereka, sebagai bentuk menghargai Fajar. Fajar merasa malu untuk hal itu, bagaimana pun keadaannya, Jina tetaplah adiknya dan kehadirannya membuat semua orang berpikir, kalo Fajar akan tersinggung jika mereka membungkam Jina. "Diam lo! "bentak Fajar. Jina masih saja bertingkah sombong. Fajar meraih borgol di catelan celananya, Jina memberontak, tidak terima kedua tanganya yang habis di rawat di pasang borgol, diperlakukan layaknya penjahat. Namun, tenaganya tidaklah sekuat Fajar, tanpa kesulitan Fajar memborgol tangan adik tirinya itu. "Gue doain lo mati, Jihan! " teriak Jina. Perkataan Jina kali ini tidak bisa Nasim tolerin, Seno segera menahan lengan Nasim. Jina nyaris mendapatkan pukulan keras di wajah mulusnya itu. Fajar mendesis tajam, ingin sekali menyumpal mulut beracun adiknya, yang sama sekali tidak merasa bersalah atas semua masalah yang juga dia lakukan. Tapi, itu hanya sia-sia. Sekarang, tidak ada gunanya menghiraukan Jina. "Seno, tolong lo kembali ke kamar rawat Zia. Gue takut pelaku itu kembali ke kamar Zia," pinta Nasim pada Seno. Seno mengangguk setuju setelah Fajar memberi isyarat kalo Seno tidak perlu khawatir, keadaan di sana, termasuk mengamankan Jina akan Fajar tangani. Mereka bertiga berpisah. Fajar menggiring Jina berjalan cepat keluar dari lobi parkiran, Seno kembali masuk ke dalam rumah sakit dan Nasim berlari ke rooftop melalui tangga darurat. Hanya rooftop yang belum Nasim periksa. Nasim berjalan cepat menapaki tangga. Setiap tangga yang Nasim tapaki, detak jantung Nasim bergemur hebat, seperti ada sesuatu yang menganjal di benaknya. Firasat Nasim kuat soal keberadaan Jihan di sana, firasat Nasim yang jarang meleset, jarang salah, meski begitu, kali ini Nasim berharap firasatnya salah. Nasim tidak ingin Jihan ada di sana, berada di tempat setinggi itu akan sangat berbahaya. Derap langkah Nasim terhenti di depan pintu rooftop yang terbuka lebar dengan engsel yang patah setengah. Jelas baru saja ada yang ke rooftop dengan terburu-buru, menabrak pintu dan membiarkan terbuka lebar. "Jihan! " teriak Nasim tertahan. Pemandangan yang dia lihat membuat seluruh darahnya seolah hilang, tangannya terkepal keras menatap pelaku yang kini tersenyum picik dengan tangan masih setia menodong pisau tepat di leher Jihan. Keduanya berdiri di bagian paling rapuh di rooftop, hembusan udara terasa mengerikan di sana, satu langkah salah saja, nyawa Jihan dalam bahaya. "Hay, pak polisi ...." Pelaku itu kembali tersenyum di balik topengnya. "Mau bergabung? " Jihan meringgis, melempar isyarat mata agar Nasim tidak terpancing, mendekat. Ini berbahaya. Jihan tidak ingin terjadi hal buruk pada Nasim. Di saat genting seperti ini, Jihan masih saja memikirkan mengenai keselamatan Nasim. Nasim tidak akan membiarkan terjadi hal buruk pada Jihan. Nasim kembali melangkah, bergabung bersama mereka. Senyum miring tercetak dari balik topeng hitam pelaku. "Sungguh cinta itu memang racun, cinta membuat dua manusia lebih bodoh dari anjing. Anjing saja tahu apa itu bahaya, tidak seperti dua manusia ini," ejek pelaku pada Jihan, yang sekarang terlihat ketakutan. Sebelumnya gadis itu terlihat tenang saat menyangkut nyawanya sendiri, tapi saat Nasim bergabung, Jihan terlihat seperti bayi yang takut ditinggal. "Selamat datang, Pak Polisi ...." Pelaku langsung menyandra Nasim dengan todongan pisaunya. Sekarang Jihan dan Nasim berada dalam kendalinya, nyawa mereka ada pada keputusannya. Dia ingin langsung mengakhiri drama ini, membiarkan dua sejoli itu, terdorong jatuh dari gedung bertingkat sepuluh lantai, secara bergantian. Mereka akan mati. Dan itu karena cinta. Pelaku bertopeng itu sontak berdecak tajam, dia benci cinta! Cinta membuatnya seperti ini, menyedihkan, terbuang, dan kesepian. "Jadi siapa yang mau mati duluan?" tanya pelaku. Jihan dan Nasim kompak menjawab nama masing-masing membuat pelaku geram kesal. "Kak, biar aku saja," suara Jihan bergetar. "Gak. Saya gak akan biarin kamu terluka," sahut Nasim tegas. Nasim melirik ke bawah kakinya. Di bawah semua orang nampak cemas, keduanya bisa jatuh kapan pun. Fajar memberi Isyarat. Beberapa polisi dengan cepat membentangkan kasur udara, dibawa mereka. Nasim berpikir cepat, satu-satunya cara agar Jihan selamat yaitu mendorongnya ke bawah. Nasim memberi isyarat pada Jihan, untuk melanjutkan perbedatan mereka agar pelaku lengah. "Dan saya juga tidak mau Kakak terluka! Biarkan saya saja duluan ...." Jihan mengangkat kepalanya ke arah pelaku, menatap yakin. Pelaku memicing tajam, menatap kesal Jihan, kenapa cinta membuat orang bahkan tidak takut mati. "Gak! Biar saya saja! " balas Nasim. "Gak Kak, biar saya saja! " "Gak, biar saya! " Perhatian pelaku mulai terbagi. Todongan pisau sedikit melonggar. Nasim terus memberi isyarat pada Jihan. Jihan mengangguk paham. "Saya saja! " "Saya! " "Saya! " "Berhenti! " teriak pelaku, spontan pisau di tanganya menjauh dari Jihan. Nasim menggunakan kesempatan itu untuk mendorong Jihan, Jihan menjerit kaget, tidak tahu apa yang Nasim rencanakan. p Pelaku tersadar akan drama keduanya dengan cepat langsung menyerang Nasim, sayatan pisau berhasil mengenai lengan Nasim. Nasim mencoba menjatuhkan pisau di tangan pelaku. Pisau itu terjatuh. Terjadi perkelahian hebat, pelaku yang bertubuh tidak setinggi Nasim dengan mudah dikalahkan, pelaku nyaris mati, terkapar tidak berdaya. Nasim berhasil memenangkan perkelahian ini, tapi saat Nasim berbalik untuk memastikan keadaan Jihan di bawah sana, tiba-tiba pelaku yang bak setan bangkit, menerkam Nasim dengan pisaunya. Nasim jatuh. Pelaku langsung kabur. Teriakan histeris semua orang di bawah, samar-samar terdengar. "Jihan, kamu baik-baik saja? " teriak Nasim, dengan sisa tenaganya, napasnya mulai tersenggal. Semua luka yang ada ditubuhnya, merintih, membuat ngiluh tubuhnya. Nasim tidak tahu, apakah suaranya sampai atau tidak. Namun, sudah cukup lega melihat Jihan mengangkat kepalanya dengan mata berkaca-kaca. Gadisnya selamat .... ** "Kamu lihat, Zia ... " Dia berhasil masuk. Kabar Nasim yang tertusuk, membuat semua orang lengah, termasuk Seno yang langsung berlari ke rooftop meninggalkan rawat inap Zia. "Aku sudah membuat banyak kekacauan. Semua gara-gara kamu, tapi sayang kamu tidak melihatnya secara langsung ...." Pelaku menatap Zia yang masih terbaring koma, tidak ada suara apa pun di sana, semua hening, hanya ada suara kecil nyaring, berulang, yang berasal dari alat pendektesi jantung. Detak jantungnya stabil, meski matanya enggan terbuka. "Sepertinya kamu menyukai tempat ini," cibir pelaku yang sekarang perlahan membuka topengnya, berjalan mendekat, memperhatikan Zia secara insentif. "Sial, meski koma, kamu tetap semenarik biasanya." Pelaku berdecak keras, tatapan bencinya perlahan mulai meredup, berganti tatapan sendu. "Kapan kamu akan sadar ? Aku tidak sabar melihamu sama menderitanya denganku," gumamnya pelan, nyaris berbisik. "Kamu tahu ... aku merindukanmu ...." Suaranya makin sayup terdengar, tidak berdaya. "Cepatlah buka matamu itu! Aku ingin kamu menatapku ....dengan kebencian yang sama besarnya dengan yang ada di benakku sekarang!" Rahang pria itu mengeras, tangannya refleks menggepal keras, menghentam keras nakas kecil di sebelah Zia, mencoba mengusik tidur panjang gadis itu, tapi suara keras saja tidak cukup membuat Zia tersadar. Zia sedikit pun tidak terganggu, matanya setia menutup rapat, deru napasnya pelan, dan detak jantungnya lemah. "Bangun Zia!" pria itu kehabisan kesabarannya, ia spontan memekik kesal, menjambak kasar rambutnya sendiri, melempar semua benda yang ada di atas meja, tidak peduli bahwa semua itu menimbulkan suara yang mungkin akan memancing orang datang dan menangkapnya. Dia benar-benar tidak peduli. Dia hanya ingin Zia bangun dan melihatnya dengan penuh kebencian! "Bangunlah Zia, lihat aku! Lihat si super hero yang kini menjadi monster. Lihat, Zia! Tidakkah, kamu ingin mengutukku?" pekikinya. "Bangun Zia! Aku yakin kamu hanya berpura-pura! Kamu pasti tahu aku di sini! Kamu selalu begitu, kamu mencoba menghindariku!" "Kamu ingin aku mati menanggung rasa ini sendiri. Kamu yang membantu rasa ini tumbuh, tapi kamu juga yang berusaha memusnahkannya. Bangun sekarang Zia. Aku tidak akan memberikan kesempatan satu kali lagi bagimu! " Pria itu beringsut kembali mendekati ranjang Zia. Tangannya meraih masker oksigen yang begitu setia menepel di wajah Zia, satu-satunya salah satu alat yang membantu Zia bertahan hidup. "Bangun! " serunya pelan. Logikanya benar-benar hilang sekarang, tidak peduli gadis itu koma atau mati sekalipun, dia akan membuatnya bangun. "Bulshit, dengan semua prinsipmu itu! Apa yang kamu inginkan? Kamu ingin mendengar apa dariku, agar berhenti bersandiwara seperti ini? " Tidak ada jawaban, hanya ada hening yang menjengkelkan. "Ya! Aku membencimu," pekiknya tertahan. Deru napasnya kasar, bak kelelahan berlari jauh. "Dan juga mencintaimu ...."Suaranya mendadak pelan, lagi-lagi seperti tidak berdaya, mata cokelatnya kembali menatap sayup Zia. Ada dua gejolak dalam matanya, kebencian dan rasa cinta yang amat besar. "Sekarang kamu puas? Bangun dan lihatlah aku, Zia. Ini kesempatan terakhirmu ...." Lagi-lagi, dia mencoba membuat Zia bangun. Sia-sia belaka. Hening .... Suara detak jantung Zia, kembali mengudara, mengisi keheningan dan kegilaan yang terputar di kepala pria itu. Pria itu muak, melihat Zia setenang ini, sedangkan dia hampir gila dan mati. Zia baginya lebih dari pembunuhan, lebih buruk dari yang dia perbuat pada Zia. Dia memang melukai dan nyaris membunuh Zia, tapi jauh sebelum itu, Zia terlebih dulu yang telah membunuhnya, tanpa menyentuh, membuatnya bagai kapal rusak yang tidak lagi bisa bergerak. Mati. Mati akalnya, mati jiwanya. Dia bak sebongkah tulang, yang sialnya masih memiliki roh. Pria itu mengambil pisau dari balik jaket hitamnya, menodongkannya tepat di lehernya sendiri. Satu tangannya, bersiap menarik masker oksigen Zia. "Mari mati bersama ...." Pria itu tersenyum miring, hanya itu kini ide yang terlintas di kepalamya, tangannya dengan cepat menarik masker oksigen Zia. Tubuh Zia beraksi, kejang-kejang, napas gadis itu tersenggal, detak jantungnya tidak stabil, suara nyaring terdengar memenuhi ruangan. Pria itu tersenyum puas, dalam benaknya menghitung, hanya butuh hitungan detik, gadis itu akan tiada. "Selamat jalan, Zia. Mari bertemu di alam baka...." Kali ini senyumnya berubah menjadi senyum kecut, senyum seorang yang merindu. Satu, dua, tiga.... Tiba-tiba .... Zia terbatuk keras, seolah ada bongkah batu yang masuk ke dalam mulutnya, yang meminta untuk segera dikeluarkan. Diikuti bahu yang bergetar hebat, memaksa gadis itu mengubah posisi dari tertidur menjadi terduduk. Pria itu memperhatikan, pergerakan tangannya terhenti di udara. Perlahan, mata gadis itu terbuka dengan napas tersengal. Zia sadar .... Pria itu bergerak cepat, hendak menujam Zia, tapi sebelum itu terjadi letusan pistol milik Fajar, mengenai tepat di betisnya, menghilangkan keseimbangan tubuhnya, pria itu tumbang, tersujud di lantai. Fajar segera mmengamankanya, tanpa perlawanan. Jihan berderap masuk, beringsut memeluk Zia yang telah sadar dari komanya. Zia menatap sekitar, mata bulatnya, bergerak kebingungan, meski sadar, ia belum sepenuhnya mengerti apa yang terjadi. Jihan yang tiba-tiba memeluk, aroma rumah sakit yang menyeruak di hidungnya, tubuh yang terasa sakit dna begitu banyak alat yang menempel padanya. "Zia, aku kangen sama kamu," lirih Jihan, haru. Zia membiarkan Jihan memeluk tubuhnya yang terasa sedikit ngilu. Zia hendak bertanya, tapi mulutnya masih terasa kaku, suara tangis haru Jihan juga menghentikannya bertanya. Mungkin, setelah semuanya tenang, dia akan mengerti, pikir Zia. Tangan Zia yang terpasang selang infus, bergerak naik mengelus punggung Jihan, menenangkan sahabatnya yang masih belum berhenti menangis. Ada banyak hal yang sudah Zia lewati. Jihan tidak mengerti bagianmana yang akan dia ceritakan terlebih dulu. Bagian, betapa bahagianya dia melihat Zia sadar dari komanya, atau bagian pilu, bahwa Nasim kini .... **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD