Pertemuan kedua

1823 Words
"Dek, ayo naik.." Tiba-tiba sebuah motor berhenti tepat di depan Jihan. Jihan terteguh melihat siapa pengendara motor yang mengajaknya untuk naik ke atas motornya itu. Dia Nasim. Ketua OSIS, yang hampir semua murid dan guru mengenalnya. Bukan hanya OSIS yang membesarkan namanya, ia juga mengikuti segudang eksul mulai dari PASKIBRAKA, pramuka bahkan ROHIS (Rohani siswa) juga. Dan menempati semua posisi penting di sana. "Ayo, Dek... " katanya lagi dari dalam helm yang tidak di bukanya sedikit pun, namun karisma sebagai pemimpin tetap keluar dari sana. Membuat Jihan spontan berlari-lari kecil mendekati motor Nasim dan langsung duduk di jok motor. Motor langsung melaju dengan kencang di jalan yang terbilang masih sepi, karena ini baru pukul enam pagi. Yap enam pagi! Jihan memang sengaja selalu berangkat awal karena dia tidak mau seperti ini, bertemu dengan orang yang di tidak kenal atau teman yang tidak akrab, yang iba padanya karena dia berjalan kaki dan menawarkan tumpangan, biasanya Jihan selalu menolak jika itu terjadi. Tapi saat Nasim yang mengajak, Jihan tidak bisa berkutik. Bukan lantaran dia suka pada kakak seniornya itu, tapi karena Jihan segan untuk menolak Nasim yang notabennya merupakan teman dari tetangganya yang sering ia lihat dan juga seniornya dulu di SMP, meski Jihan bahkan tidak tahu fakta itu. Ia baru tahu saat ibu tetangganya mengatakan hal itu. Jauh sebelum mengenal sosok Nasim yang berwibawa, tampan dan sangat berkarismatik. Jihan pernah melihat sosok Nasim sebagai anak SMP yang... Ya... ala kadarnya, postur tubuh yang tambun dan tidak terlihat keberadaannya, entah karena dia berada di antara bintang-bintang, atau memang belum waktunya dia bersinar. Pokoknya Nasim SMP dan Nasim SMA sangat jauh berbeda. Tidak seperti Jihan yang tetap menjadi orang yang tidak pernah dikenal. Dan karena semua itu, Jihan merasa tidak bisa menolak ajakan baik kakak seniornya itu, meski ia harus canggung dan tidak nyaman. Sebenarnya hanya membutuhkan waktu lima menit untuk sampai ke sekolah jika menggunakan motor apalagi dengan kecepatan seperti ini. Tapi bagi Jihan, lima menit itu terasa sangat lama. Tidak henti-hentinya gadis itu menggerutui dirinya sendiri karena bisa-bisanya menerima ajakan itu. Jihan menyesali keputusannya itu. Begitu sampai di depan gerbang sekolah, Jihan langsung turun dari motor, mengucapkan terima kasih lalu buru-buru pergi ke kelasnya. Momen ini sangat akward yang pernah Jihan alami. Dan hari ini semua itu terulang lagi! "Jihannnn.... " gerutu Jihan, malu atas dirinya sendiri. Banyangan mengenai peristiwa nangis tadi siang terus berputar di kepalanya. Meski sudah berkali-kali mengingatnya rasa malu akibat kejadian tadi tetap terasa sama, tidak berkurang sedikit pun. "Ya Allah, Jihan, Jihan, Dak usah di ingat! " Ultimatum gadis itu pada dirinya sendiri. Ia menarik nafas panjang-panjang dan membuangnya pelan-pelan, berharap semua ingatan tadi siang segera pergi dari trending topik di kepalanya. "Buat apa dipikirin, kalian gak akan ketemu lagi juga." "Kenapa mesti malu, kalian juga gak akan ketemu lagi... " "Anggap semua ini gak pernah terjadi." "Oke ?" "Jakarta ini luas, mustahil buat ketemu orang yang sama lagi..." "Jadi, tenang Jihan.... " "Tarik nafas, hembuskan... " "Ingat, itu gak pernah terjadi!" Tiba-tiba ponsel Jihan berdering. Tertera nama Zia di sana. "Assalamualaikum, ada apa Zia? " "Oh seminar itu ya? " "Emang wajib banget bawa kartu tanda mahasiswa? " "Oh, iya, gak masalah sih sebenarnya, cuman takut lupa aja." "Oke deh....see you." "Waalaikumsalam." Karena semua peristiwa itu, Jihan sampai lupa akan kegiatan pentingnya besok. Dosennya meminta Jihan dan Zia sebagai perwakilan untuk datang ke seminar education, mereka harus mencatat dan mendokumentasikan beberapa hal penting. "Duh, KTMnya aku taruh mana ya? " Jihan mengobrak-abrik tas miliknya tidak hanya itu ia juga mencari di seluruh kamarnya, tapi benda kecil itu tidak juga ia temukan. "Di mana sih tuh KTM! " Jihan duduk di kasur. Berpikir keras kapan terakhir kali ia melihat kartunya itu. "Astagfirullah! " "Kartu itu ada di kak Nasim!” ** "Aku gak bisa ikut seminar." Jihan menunduk lemas. Semalaman dia tidak tidur, kantong matanya sudah mirip mata panda, matanya sangat sayup dan dadanya sakit, mungkin kekurangan darah. Dan tidak lupa kepalanya juga nyut-nyut aduhai. Meski sering begadang, tubuh Jihan masih belum bisa berdamai dengan kegiatan para workholic itu. Jika ia memaksa, ya hal inilah yang akan di dapatkan di pagi hari. "Loh, masa aku sendirian sih ke sana? Kamu tahukan dari kelas kita cuman kita bertiga ceweknya, kak Fifin gak bisa ikut dan kamu juga. Masa aku sendirian sih...," protes Zia. Jihan sangat merasa bersalah, tapi dia tidak berdaya. "Aku gak bisa ke masuk, KTM aku gak ada." "Ha? Hilang? " Jihan menggeleng pelan. "Bukan." "Terus?" "Hem, aku jadiin jaminan buat minjam uang. " "Ha? " Entah kenapa pengakuan Jihan itu membuat Zia malah terkekeh. "Eh, emang bisa ya? Kamu gadain ke mana? Ke bank atau pegadaian?" goda Zia. "Hem..." Jihan cemberut. "Aku serius tahu, Zi. Beneran... ceritanya panjang banget." "Ceritai dong, kepo nih," desak Zia. "Intinya, dompet aku hilang, terus aku mewek di pinggir jalan, dan ketemu senior waktu di SMA, aku gugup plus malu makanya dengan bodohnya aku jadiin KTM sebagai jaminan dan langsung pulang." "Lah terus gimana, KTM kamu balik lagi? " Jihan mengangkat bahunya pelan, menjatuhkan dirinya di kursi kelas. "Entahlah...itu yang aku gak ngerti." "Kamu gak punya nomor ponsel or something tentang gitu? " "Gak." Zia kembali terkekeh. "Ih, kok malah ketawa." "Maaf-maaf... abisnya lucu aja gitu..." "Hem...," Jihan menghela nafas panjang. "Jadi, maaf ya, Zi. Aku gak bisa ikut seminar. Biar aku nanti yang bilang sama pak Yusuf." "Hem....," Zia mengangguk akhirnya. "Mau gimana lagi..." "Jadi entar mata kuliah kedua, kamu langsung ke sana ya? " "Iya." "Hem, Maaf ya." "Udahlah, is okey...." Zia tersenyum. "Jihan, di depan ada yang nyariin kamu tuh." Tiba-tiba ada teman cowok Jihan yang baru masuk ke kelas, menyelah percakapan mereka. "Eh, siapa yang nyariin kamu, An? " "Gak tahu....." "Mungkin...mungkin, kakak senior kamu yang itu, mau ngembaliin KTM." "Serius? " Jihan langsung panik. "Mungkin. Abisnya siapa dong yang nyariin kamu di kampus?" "Iya juga ya... duh, gimana dong, Zi." Jihan panik bukan main. "Ya udah, temuin aja," jawab Zia, santuy. "Gak semudah itu Zia." "Lah emang mau gimana? Lagian kamu mau ketemu kakak senior aja kayak mau di sidang aja, takut banget." "Hem, bukan gitu..." "Emang ada apa sih? Kamu suka ya sama senior kamu itu? " Blush.. Wajah Jihan seketika memerah, "Emang keliatannya gitu ya? " Zia menahan tawa, lalu mengangguk pelan. "Cie...." "Ah, Zia.... aku harus apa dong ?" "Ya udah temuin aja. Aku temenin deh....” "Serius? Ya udah ayo. " Jihan langsung menggandeng tangan Zia. "Tegang banget sih, ukhti... santai aja, " goda Zia. Jihan tidak peduli, ia terlalu deg-degan bertemu kakak seniornya itu. 'Tenang Jihan.... ' rapal Jihan dalam hatinya tapi dia tidak juga kunjung tenang meski sudah sampai di depan gerbang kampus. Jihan mengedarkan pandangnya. "An, itu bukan senior kamu? " tunjuk Zia, refleks saat melihat pria yang asing berdiri di dekat pagar kampus. "Eh, kamu asal nunjuk aja....!" Jihan cepat-cepat menarik tangan Zia. "Bukan dia." "Bukan ya? " "Bukan." "Eh, tapi orangnya kok ke sini, Na... " "Gara-gara kamu nunjuk tadi kayakan.. nah loh.." "Apaan si, An....." "Tuh, dia beneran datang." goda Jihan. Zia sebelas-dua belas sama seperti Jihan yang gampang panik, langsung panik terlebih pemuda yang dia tunjuk benar jalan mengarah pada mereka. "Ehm, maaf, kalian kenal mahasiswi di kampus ini, kan? "tanya pria berperawakan tinggi, berotot dan berkulit sawo matang, khas polisi-polisi muda. Usianya juga terlihat masih di usia dua puluhan tahunan. Zia dan Jihan mengangguk cepat. Pria itu mengeluarkan sebuah kartu yang tidak asing di mata Jihan. "Kalian kenal Jihan Rabiah gak?" "Nah ..iya, itu saya.. " "Oh, ini punya mbak ya." "Iya, Mas." Jihan mengambilnya. "Terima kasih ya, Mas." "Nasim yang minta tolong saya buat ngasihin KTM ini sama mbaknya, dia lagi banyak kerjaan di kantor." "Oh...." Jihan tersenyum kecil. "Tolong bilangi terima kasih ke kak Nasim juga ya, ka....” "Iya, oke." "Mas, maaf, bisa saya titip uang ini juga.” Jihan memberikan selembar uang biru pada pria itu. Pria itu menanti kalimat selanjutnya dari Jihan, sejenis keterangan kenapa Jihan menitipkan uang padanya. “Ini buat bayar hutang ke kak Nasim, kemarin." "Oh, hutang itu..." pria itu mengangguk mengerti, ia tersenyum namun tidak mengambil selembar uang yang Jihan berikan. "Amanah dari Nasim, katanya soal hutang itu gak perlu di bayar. Anggap itu pertolongan dari kakak senior." "Hem..." Zia menyenggol lengan Jihan, bermaksud menggoda gadis itu. "Oh, gitu, hem...." Jihan jadi makin tidak enak hati, karena kebaikan hati seniornya itu. "Terima kasih ya, mas, hem, kak," ucap Jihan jadi rancau. "Hem, mending kamu ucapin terima kasih langsung ke orangnya. Ini nomor ponselnya." Pria itu menyodorkan ponselnya pada Jihan. Apa ini, huft... Jihan tidak mengerti. Tapi karena tidak enak hati, Jihan langsung menyalin nomor ponsel kak Nasim di ponselnya. "KTM udah ada....berarti kamu jadi ikut seminar, kan? " "Hem... " Jihan hanya berdeham pelan. "Bagus kalo gitu. Kita langsung ke sana aja yuk..." "Loh, kitakan masih ada kelas jam pertama." "Coba liat tuh di grup kelas, dosennya gak ada." Zia memutar bola matanya. Jihan langsung mengecek ponsel. "Oh iya...." "Ya udah, ayo langsung pergi." Keduanya lalu berangkat ke seminar menaiki busway, seminar di adakan tidak jauh dari kampus, mereka hanya perlu berhenti di pemberhentian kedua busway. "Zi, menurut kamu aku chat gak? " Jihan memandangi nomor ponsel kakak seniornya itu. Busway melaju di jalan ibu kota. "Namanya kak Nisam...." "Iya." "Oh, namanya bagus." "Jadi, menurut kamu aku chat kak Nasim gak, buat bilang makasih? " "Iya, chat aja, yang penting ada uzur yang jelas, dan dibenarkan dalam agama, ingat jangan kelewatan batas. Kalo gak ada lagi uzur yang jelas, berhenti chatan." "Hem... " Jihan bergumam. Masih ragu, atau tepatnya ragu pada dirinya sendiri. Sejauh Jihan mengenal dirinya sendiri, sepertinya dia tipe orang yang mudah sekali baper, mudah geeran. Dan hal lain yang berhubungan dengan perasaan, Jihan sangat lemah. Jihat takut, dialah yang kelewatan batas. "Tulisnya gimana, Zi? " Jihan mengetuk-ngetuk layar ponselnya bingung mau menulis apa. "Assalamualaikum kak, maaf mengganggu waktunya, Kak. Ini Jihan Rabian, mau ngucapin terima kasih atas...apa Zi? " "Hem, bantuannya, minjamin uang dan balikin KTM kamu." "Hem..." Jihan kembali menambahkan kalimat itu. Jantung gadis itu berdegup kencang saat jarinya menekan 'send' bertepatan dengan keduanya sampai di gedung seminar. "Udah? " "Udah." "Eh, kita duduk di sana aja yuk, deket jendela." Zia langsung menarik tangan Jihan ke deretan kursi di sebelah jendela kaca. "Tempat acaranya bagus banget ya, An." "Iya. Aku denger juga ada pejabat yang datang." "Eh, serius? " "Iya..." "Oh pantes tadi aku liat ada polisi." "Polisi? " "Iya, di depan, kamu gak liat? " "Gak." "Coba liat dari jendela itu...." Jihan langsung membuka sedikit gorden jendela, bertepatan dengan ponselnya bergetar. Jihan mengecek ponselnya, tertera pesan dari Nisam. "Waalaikumsalam. Sama-sama. Kamu sakit ya? Wajah kamu pucat banget." 'Ha? ' Jihan kaget, dari mana kakak senior itu tahu. Ponselnya kembali bergetar. 'Kaget ya? Coba liat keluar jendela.' Jihan mengedarkan pandangnya keluar jendela, terlihat Nisam dengan baju seragam khas polisi melambaikan tangannya ke arah Jihan. Jihan terkesiap. Nisam tersenyum, lalu memberikan sebuah isyarat yang membuat Jihan bingung, namun hal itu tidak berlangsung lama, saat ponsel Jihan berdering. Ada panggilan telepon dari Nisam. Tangan Jihan gemetar, menyentuh tombol hijau di ponselnya. "Assalamualaikum, kamu semalam begadang ya ?" Deg!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD