"Kak Nasim ...." ujar Jihan spontan saat matanya tanpa sengaja menangkap seorang pria berbadan tegap dengan balutan baju kokoh putih dan celana dasar, hendak masuk ke dalam masjid.
Nasim menoleh, raut wajah pria itu tidak bisa dipungkiri kalo dia kaget mendapati Jihan ada di sana, tapi juga sekaligus senang bisa bertemu Jihan yang tanpa terlihat sangat cantik dengan gamis berwarna peach dan berkerudung putih.
"Jihan ...." sapa Nasim. "Kamu, di sini ... ?"
Jihan mengangguk pelan, mengerti maksud dari pertanyaan Nasim. "Kebetulan aku sering ikut kajian di sini, Kak. Kakak?"
"Kakak, baru pertamo kali ikut kajian di sini. Kato teman di sini, kajiannyo bagus. Kakak dak nyangko malah ketemu Jihan di sini jugo .... Jihan apo kabar ?" kata Nasim dengan bahas Palembang.
Bukannya menjawab, Jihan malah kembali mengangguk-ngangguk. Jelas itu aneh, Jihan merasa malu sekarang. Ingin rasanya Jihan berlari secepatnya. Jihan pergi dari sana, tapi ... kenapa kakinya juga ikut-ikutan menjadi gagal berfungsi ? Sekuat tenaga Jihan menggerakan kakinya.
"Eh, Jihan mau ke mana ?" panggil Nasim tiba-tiba.
"Mau ke masjid, Kak?"
"Ke masjid ?" Nasim menoleh ke sekeliling masjid yang di d******i warna putih.
Ya Alllah ... otak kenapa sih ? batin Jihan meringgis malu. Buru-buru gadis itu mempercepat langkahnya agar segera masuk ke dalam masjid.
"Eh, kamu kenapa Jihan?" tanya Zia yang kaget mendapati Jihan duduk dengan tergesa-gesa di sebelahnya.
"Habis ketemu calon jodoh ya, sampe pucet gitu ...." goda Zia asal, tapi berhasil membuat rona wajah Jihan makin memerah, malu.
"Apaan sih, Zia. Kita ke sini buat kajian, bukan buat cari jodoh," sahut Jihan cepat.
"Kan gak salah menyelam sambil minum air."
"Kebanyakan minum air bisa kembung," ketus Jihan yang disambut tawa kecil Zia.
"Btw, tadi kamu keluar mau ngambil wuduh, kan? Kok gak keliatan kayak habis wuduh sih? Muka kamu masih kering banget."
"Astagfirullah, aku lupa ambil wudu."
"Lah kok bisa?"
"Hem, itu, itu ...." Jihan panik. Dia tidak ingin Zia tahu kalo Nasim, kakak kelasnya dulu ada di sini. Bisa-bisa sepanjang kajian, Zia hanya akan mengoda Jihan saja.
"Biar aku temanin. Supaya kamu gak lupa lagi." Zia hendak bangkit dari duduknya, secepat kilat Jihan langsung menahan tangan kecil Zia.
"Gak, gak usah !" Jihan makin panik. Jihan takut Nasim masih ada di teras masjid.
Kening Zia berlipat, dia menatap bingung sahabatnya itu.
"Nanti aja aku ambil wuduhnya, setelah kajian selesai."
"Kajian selesaikan pas ashar, entar susah loh ambil wuduhnya. Harus ngantri lama. Sekarang aja, kayak biasanya." Zia hendak bangkit lagi, Jihan kembali menahan tangan Zia. Zia mulai mencium gelagat aneh sahabatnya itu.
"G-gak papa, Zia. Lagian bentar lagi kajiannya mulai."
**
"Tuhkan benar ... ngantrinya panjang. Untung salat ashar berjamaahnya belum di mulai," gerutu Zia sembari bergegas menggunakan mukena putih dari dalam tasnya. Tidak lama, setelah keduanya siap, salat ashar berjamaah pun di lakukan.
"Itu siapa yang jadi imam? Suaranya bagus banget, beda dari yang biasanya. Kayaknya imam baru deh...." ujar Zia setelah selesai memasukkan kembali mukenanya dari dalam tas.
"Suaranya kayak ..." sahut Jihan tanpa sadar.
"Kayak ?" pertanyaan Zia menyadarkan Jihan dari lamunannya. "Emang kamu punya teman yang suaranya mirip suara imam tadi?"
Jihan langsung segera menggeleng cepat. Kenapa sih Jihan? Kenapa isi kepalanya kak Nasim muluk? Astagfirullah ... Ya Allah, ampuni hamba.
"Loh, tadi bilang familliar. Gimana sih kamu." Zia mulai kesal akan Jihan hari ini yang terasa aneh.
"Eh, eh, itu suaranya," seru Zia tiba-tiba, begitu mereka hendak keluar masjid. "Itu suara yang baca dzikir petang, suaranya mirip suara imam yang tadi. Coba deh kamu dengerin."
Deg !
Jihan makin yakin, kalo suara yang sendari dia dengar adalah suara ... Nasim.
"Eh udah selesai tuh dia baca dzikirnya. Kita tungguin yuk, aku penasaran siapa sih yang jadi imam."
Dengan cepat Jihan langsung menghentikan Zia dan menarik pelan gadis mungil itu untuk segera pulang.
"Emang kamu gak kepo ?" bingung Zia, biasanya tingkat kekepoan Jihan lebih besar dari Zia. Bukan mengenai hal ini saja, tapi mengenai semuanya. Mengenai hal yang bahkan tidak terpikir oleh Zia.
"Tumben kamu gak kepo ?"
"Ngapain aku kepo, kalo aku udah tahu," sahut Jihan yang lagi-lagi tanpa filter, dan berakhir ia sesali karena Zia sekarang akan mulai mengorek jawabnya barusan.
"Oh, pantes aja kamu gak kepo, kamu udah tahu. Emang siapa? Beneran teman kamu ya? Teman satu kelas kita ya?"
"Bukan."
"Terus siapa? Teman satu organisasi kamu?"
"Bukan juga." Jihan memutar otaknya untuk mencari cara menganti topik pembicaraan, sialnya Zia sama sekali tidak terpengaruh. Zia masih begitu penasaran siapa orang yang Jihan maksud.
"Teman Sd ? Teman SMP? Teman SMA?"
"Bukan, Zia." Jihan kewalahan dengan semua rasa kepo Zia. Sepertinya Zia sudah tertular virus kepo dirinya.
"Terus siapa dong? Jodoh kamu?" ujar Zia asal, tanpa sadar kembali membuat Jihan tersimpu malu. Dan dengan lancangnya, tanpa terkendali hatinya berucap Aamiin dengan lirih.
Ya Rabb... Kenapa rasa ini hadir lagi? Hamba sudah menguburnya dalam-dalam. Kenapa dia bangkit lagi ?
"Bukan, Zia. Dia kak—"
"Kakak kelas kamu yang waktu itu kamu ceritain ?" sambung Zia.
"Eh, kok?"
"Tuh orangnya ada di belakang kita."
Jihan spontan langsung menoleh dan mendapati Nasim yang tengah berjalan cepat ke arah mereka.
"K-Kak Nasim—" Entah kenapa suara Jihan seperti cekak, sulit untuk melanjutkan pertanyaan, kenapa menghampiri kami. Beruntung, Nasim langsung tahu apa yang ada di kepala Jihan, tanpa di tanya ia langsung menyodorkan paper bag berwarna cokelat yang familiar bagi Jihan. Jihan langsung mengenali paper bag itu, itu miliknya yang berisi mukena.
"Ternyata paper bag ini punya kamu ... kayak tadi kamu buru-buru banget ya? Sampe gak sadar paper bag di tangan kamu lepas. Terus ada ibu-ibu yang manggilin kamu, tapi kamu gak noleh. Makanya saya inisiatif langsung kejar kamu sebelum jauh."
Nasim memberikan paper bag itu dengan senyum tulus, berbanding terbalik dengan Jihan yang seketika meringgis malu atas kecerobohannya yang lagi-lagi merepotkan mantan kakak kelasnya itu.
"M-maaf, kan saya, Kak. Gara-gara saya, Kakak jadi—"
"Gak masalah kok. Gak perlu minta maaf. Saya malah senang bisa ketemu kamu lagi."
Perkataan Nasim barusan langsung memancing reaksi heboh Zia. Zia dengan cepat menyikut lengan Jihan, sebagai ganti kata cie.
"M-makasih, Kak."
Nasim kembali menyunggingkan senyum di wajahnya, sedangkan Jihan setia menundukkan pandangannya. Hal itu entah kenapa membuat Nasim merasa tersentuh, Jihan gadis baik yang tidak sembarang melihat yang bukan mahramnya.
"Kamu ngekos di daerah dekat sini?" tanya Nasim.
"Gak, Kak. Aku gak ngekos, aku tinggal sama tante di sini, di Lebak Bulus. Sekarang aku lagi nginep di kosan Zia. Nemenin Zia beberapa pekan ini."
"Oh, gitu ...." Nasim berdeham pelan, sebelum kembali melanjutkan kalimatnya.
"Apa boleh saya tahu alamat rumah kamu?"
"Ha?" Kepala Jihan spontan terangkat sekilas, sebelum kembali menunduk. "B-buat apa, Kak?"
***