Hari ini, Selasa pagi, tepatnya satu menit setelah bel masuk berbunyi. Di ruang BK, Bu Maya sedang menghakimi enam anak muridnya.
Mereka berdiri membentuk satu shaf dengan Diego yang berada di tengah. Tampak seperti makmum yang hendak shalat jamaah, bedanya semua tangan mereka berada di belakang, dalam posisi istirahat di tempat.
"Kalian tau kenapa kalian ada di ruangan ini sekarang?" tanya Bu Maya.
"Karena kelas kami sedang direnovasi, Bu," jawab Diego.
"Bukan!" Terdengar suara khas ibu-ibu yang sedang marah. Bu Maya menahan emosinya. Ini masih terlalu pagi untuk membuat wajahnya kusam sebab marah-marah.
"Karena kalian membuat kelas kalian sendiri terbakar," tambah Bu Maya. "Kenapa kalian bermain petasan di dalam kelas?"
Anugrah yang berada di sebelah Diego menyenggol lengan cowok itu, menyuruhnya untuk menjawab.
Diego mengangkat wajah, dia mengingat kejadian sebelumnya, lantas menceritakan semuanya pada Bu Maya.
Senin pagi, setelah upacara bendera selesai, masih ada waktu sekitar sepuluh menit sebelum pelajaran pertama dimulai. Diego dan teman-temannya berada di kantin, membeli air untuk menyegarkan tubuh yang sejak pagi terpapar sinar matahari. Mereka berbincang-bincang.
"Habis ini pelajaran MTK," ucap Anugrah.
Bayu menghela. "Dulu, gue pikir anak IPS itu gak bakal ketemu MTK lagi, tapi ternyata tetep aja ketemu, capek gue."
"Seandainya kita dapet tambahan libur seminggu." Anas menimpali, membuat mereka berangan-angan.
"Ya gak, Go."
Diego yang barusan disenggol Anas mengangguk. Kemudian dia melihat Conan yang sedang menerawang-rawang.
"Kenapa Lo? Ada setan* ya di sini?" tanya Diego.
Seperti yang dia tahu, Conan adalah satu-satunya teman mereka yang bisa melihat setan*, dan terkadang apa yang dia ucapkan bisa menjadi kenyataan, meski mungkin itu kebetulan. Dejavu-nya sering muncul sebelum suatu peristiwa terjadi.
"Ada kelas yang kebakar," kata Conan.
"Di mana?"
"Gak tau. Dia gak ngasih tau," jawab cowok itu, membuat kelima temannya merinding melihat sekitar. Mereka tahu dia yang dimaksud oleh Conan itu adalah makhluk halus.
"Ah, yang bener lo, buat gue merinding aja," protes Bayu.
"Beneran, tuh, setannya ada di sebelah Diego," tambah Conan.
Sontak, Bayu dan Anas yang ada di sebelah Diego langsung pindah tempat. Diego melongo. Namun sejurus kemudian, tiba-tiba saja Diego memiliki ide agar mereka bisa mendapat jatah libur tambahan.
"Gue punya ide," kata Diego.
"Tuh, kan, dia punya ide," kata Conan. Namun saat itu teman-temannya tidak merespon Conan dengan serius.
"Gimana kalau kita rusakin kelas kita? Kalau kelas kita rusak, otomatis bakal direnovasi. Nah, kalau kelas kita direnovasi, pasti kita bakal diliburin."
Diego membuat teman-temannya perlahan tersenyum dengan kedua alis naik, itu pertanda mereka merespon positif ide yang diberikan Diego.
"Gue setuju." Anas maju.
"Gimana cara ngerusakinnya?" tanya Demian.
Sekejap Diego berpikir, hingga akhirnya dia mendapatkan ide lagi. "Istirahat nanti gue kasih tau."
Ketika istirahat, anak-anak itu keluar dari sekolah untuk membeli beberapa petasan dan korek api. Benar, mereka telah berencana untuk merusak kelas menggunakan petasan. Semua itu mereka lakukan demi untuk mendapatkan libur.
"Jadi gitu ceritanya, Bu," ucap Diego.
Bu Maya menopang kepala di atas meja, tidak habis pikir dengan ulah anak-anak muridnya. "Sekarang kalian betul-betul akan mendapat jatah libur," ucap Bu Maya sambil menyiapkan sebuah buku.
"Beneran, Bu?" tanya Diego dengan wajah sumringah.
"Kalian di-skors selama seminggu!"
Diego, Anas, Anugrah, Bayu, Conan, dan Demian tertegun. Mereka tidak menyangka jika usaha mereka akan membuahkan hasil. Yah, meski hasilnya tidak semulus harapan. Setidaknya mereka tetap mendapat jatah libur satu minggu.
Keenam anak itu pun dipulangkan. Mereka tidak boleh bersekolah hari ini sampai Selasa depan.
Ketika masuk ke kelas untuk mengambil tas, mereka mendapat ucapan terima kasih dari salah satu rekan sekelas. Dia adalah Mawar, ketua kelas di kelas mereka, kebetulan saat itu dia masuk ke kelas untuk mengambil alat tulis, dan dia bertemu Diego dan kawan-kawan.
"Makasih ya, karena ulah kalian, sekarang kita jadi belajar di lapangan sekolah!"
Diego membalasnya dengan senyum mencibir dan kedua alis naik. "Sama-sama anak teladan."
Mawar kesal sebab sindirannya dibalas tanpa rasa bersalah. Anak-anak bandel itu malah menambahkan godaan untuk Mawar.
"Mawarku jangan marah-marah dong, masih pagi tau, nanti cantiknya ilang loh," ucap Bayu, khas dengan kata-kata gombalnya.
"Uuh." Mawar meninggalkan anak-anak itu sebab wajahnya memerah.
Demian mendecak, lalu mendorong wajah Bayu. "Parah lu, semua cewek digodain."
"Daripada gue godain cowok, kan. Memangnya Lo orang mau gue godain?" tawar Bayu, seketika membuat teman-temannya menggeliat ngeri, kecuali satu orang yang berjalan di samping Diego.
Mereka melangkah menyusuri koridor, hendak melewati anak-anak kelas mereka yang sedang belajar di luar kelas. Diego memperhatikan seorang gadis yang menjadi pusat perhatian di sana. Dia merasa tidak pernah ada guru secantik itu di sekolah mereka sebelumnya.
Kulitnya putih. Wajahnya mulus, bening, dan sangat manis, seperti permen kapas. Senyumnya tampak sangat indah ketika berbicara, sebab gigi taring itu menghiasi tawanya. Tubuhnya tidak tinggi, tetapi terlihat tinggi sebab high heels yang dia kenakan. Dia memakai kacamata photocromic, dan sepertinya itu kacamata minus. Diego jatuh cinta pada pandangan pertama.
"Masya Allah, sungguh ciptaan-Mu yang sangat luar biasa." Diego kalah cepat dengan Demian, cowok itu sudah lebih dulu memujinya.
Seketika senyum Diego memudar. Dia melihat ke arah teman-temannya. Ternyata sejak tadi bukan hanya dia yang sedang mengagumi ciptaan Tuhan di depan sana. Keempat temannya pun tampak jatuh cinta pada pandangan pertama.
"Woi, woi, gue duluan yang ngeliat," protes Diego sambil menghalangi teman-temannya yang ingin berlari menghampiri guru baru itu.
"Minggir-minggir." Bayu sedang mencoba untuk menerobos tangan Diego yang menghalangi, begitupun tiga orang lainnya, sedangkan Anas membantu Diego.
"Awas, gue duluan!"
"Aum!" Anugrah menggigit tangan Diego yang menghalangi.
"Arrgh!" Diego berteriak, membuat anak-anak dan guru baru itu memusatkan perhatian ke arah mereka.
Tidak ada penghalang, keempat cowok itu langsung berlari, berlomba-lomba untuk sampai lebih dulu. Diego tidak mau kalah, dia juga ikut berlari dan menyusul, sedangkan Anas kebingungan.
Ketika tiba di hadapan sang guru baru, kekacauan kecil terjadi. Mereka saling tarik-menarik untuk menghalangi satu sama lain. Berlomba untuk memperkenalkan diri.
"Wahai ibu guru yang sangat cantik, per--" Demian menarik Bayu ke belakang dan menggantikan posisinya.
"Nama saya Demian," ucapnya sopan sambil membungkuk. "Saya--" Gantian Anugrah yang menarik Demian ke belakang.
"Saya Anugrah. Anugerah terindah yang pernah kau miliki." Cowok itu menampakkan aura ketampanannya.
Ketika Conan hendak maju dan memperkenalkan diri, Diego tiba dan berdiri di depan keempat temannya. Dia merentangkan tangan, menghalangi teman-temannya yang telah membuat guru baru itu kebingungan, dan mungkin ketakutan.
"Saya selaku ketua dari geng ini meminta maaf yang sebesar-besarnya. Saya berjanji tidak akan membiarkan me--" Ucapan Diego terputus sebab Conan berhasil lolos lewat bawah tangannya yang terentang.
"Ibu guru, perkenalkan nama saya Conan Decatlier, saya bisa melihat, setan!" Pria itu reflek memekik pada kata terakhir sebab Diego kembali menariknya, memaksa cowok itu untuk mundur.
Perebutan posisi pun terjadi. Mereka semua ingin berada tepat di hadapan sang guru. Namun Diego berhasil menghalangi mereka dengan bantuan Anas.
"Oke, jangan keroyokan, Ibu bakal dengarkan kalian satu-satu. Perkenalkan nama Ibu, Anggun, dan ibu adalah guru magang untuk kelas 12." Guru baru itu tersenyum, mencoba untuk memaklumi kekacauan di hari pertamanya magang.
Mereka sempat diam untuk mendengarkan Bu Anggun berbicara. Namun sedetik setelah Bu Anggun menyelesaikan ucapannya, anak-anak itu kembali keroyokan.
Hal itu mengundang Bu Maya yang kebetulan melihat dari ruang BK segera menghampiri mereka.
"Diegoo!" Suara khasnya terdengar, membuat anak-anak itu berhenti dan menoleh.
"Mau buat masalah lagi kalian?" Bu Maya berkacak pinggang.
"Nggak, Bu. I-ni kita mau pulang, kok," ucap Diego. Tanpa ba-bi-bu-be-bo lagi, anak-anak bandel bin usil itu langsung berlari meninggalkan sekolah.
Namun ternyata tidak. Sebelum benar-benar menghilang dari pandangan, Diego sempat-sempatnya menoleh ke arah Bu Anggun sambil melangkah mundur. Dia berteriak, "I love you, Bu Anggun!"
Bu Maya menggeleng sambil memijat kepala. Sementara Bu Anggun hanya terkekeh memaklumi.
"Maklumin aja ya, Anggun. Mereka memang kayak gitu anaknya. Lain kali kalau mereka usil, laporin aja ke saya," ucap Bu Maya.
"Iya, terima kasih Bu Maya," ucap Bu Anggun sopan dan penuh senyum.
"Oh, iya, satu lagi, maklumin juga ya kalau hari pertama magang ngajarnya di luar kelas."
"Hehe, iya tidak apa-apa, Bu."
"Ya sudah saya tinggal."
"Iya, Bu."
Bu Anggun kembali fokus pada anak-anak muridnya. Dia melanjutkan intermezo yang tadi terpotong di tengah jalan sebab ulah Diego dan kawan-kawan.
"Sampai di mana kita tadi?" tanya Bu Anggun.
"Sampai di penjelasan tentang Bu Mei, Bu." Mawar menjawab pertanyaannya.
"Oke, baik. Jadi seperti yang saya jelaskan sebelumnya, mulai hari ini sampai beberapa minggu ke depan, saya diberi amanah untuk membantu Bu Mei mengajar, dan ini juga termasuk program magang saya sebagai mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia. Jadi saya harap, kita bisa belajar bareng-bareng di sini," papar Bu Anggun.
"Baik, Bu."
"Sebelumnya, sudah belajar sampai mana?" Bu Anggun memulai kelasnya.
***
Sementara itu, Diego dan kawan-kawan sudah sampai di sebuah restoran coffe. Mereka terdengar sedang membicarakan kejadian hari ini, dan kemarin.
"Giliran kita libur aja, ada guru cantik yang ngajar," ucap Bayu frustasi.
"Hidupmu sangat tidak adil." Entah mengapa tiba-tiba saja Conan menjadi sangat puitis.
"Gara-gara Lo nih, Go." Anugrah menimpali, menyalahkan Diego karena telah memberi mereka ide sehingga membuat mereka di-skors.
"Gue?" Diego menunjuk dirinya sendiri.
"Iya lah, Lo yang ngasih ide buat idupin petasan di kelas," kata Bayu.
"Bukannya kita semua udah sepakat?" Diego protes.
"Iya, betul." Anas berada di pihak Diego.
"Udah, udah, gak usah kubu-kubuan. Ini semua, tuh, salah setan*," ucap Demian tak berpihak pada siapa-siapa.
Teman-temannya, selain Conan, mengernyit heran.
"Percaya gak? Kemaren, Conan bilang ada kelas yang kebakar? Terus gak lama dia bilang ada setan* di samping Diego. Nah, pasti setan itu yang udah bisikin Diego buat main petasan di kelas, biar kelasnya kebakar," papar Demian dengan teori mistisnya.
Namun jika dipikir lagi, teori itu cukup masuk akal. Seperti yang Demian tahu, syaitan tidak pernah berhenti menggoda manusia untuk berbuat kejahatan.
"Nah, betul, ini semua, tuh, salah setan*." Diego mempertegas penjelasan Demian, demi untuk menghindar dari kesalahan.
"Tuh, denger gak? Ini semua salah setan*." Anas menunjuk Anugrah yang tadi menyalahkan Diego.
"Iya, salah setan*." Anugrah melemparnya kembali pada Bayu.
"Ih, gara-gara elu ini. Ngomong sana sama temen-temen Lo gak usah gangguin kita orang," ucap Bayu sambil mendorong lengan atas Conan menggunakan jari telunjuk.
Sementara Conan tampak masih asyik ngobrol dengan temannya. "Tuh, kamu denger gak apa yang temen-temen hidup aku obrolin barusan?"
Pertanyaan Conan pada makhluk halus itu membuat Bayu menjauh. "Gue rasa udah stadium empat nih anak."
Diego menghela. Dia sedikit lega sebab tidak dikeluarkan dari sekolah. Ini pasti sebab bantuan mamanya. Diego tahu, mamanya itu tidak mungkin membiarkannya berada dalam masalah.
Benar saja, malam itu, Nandira berbicara pada Glen yang tampak sangat marah dengan Diego. Glen tidak ingin membela putranya yang nakal itu di depan kepala sekolah. Namun, sebab kasih sayang seorang ibu, dan bujukan dari seorang istri, akhirnya Glen luluh.
_____________
Jangan lupa tap love yang banyak...