Tidak ada satu orang pun yang ingin hidupnya diatur, begitu juga dengan seorang wanita bernama Lylia Ashana. Meski keinginannya untuk hidup bebas sangat tinggi, tetapi sayang, semua itu hanya dapat terealisasi dalam mimpi semata.
Sang ayah yang dulu sangat menyayangi dan menjaganya, kini berubah seperti orang asing yang selalu memberi penekanan. Bahkan, pria paruh baya itu terlihat bak seorang bos yang tidak ingin ditentang oleh putrinya sekalipun.
Seperti sekarang. Di salah satu restoran pusat kota, Lylia terlihat sedang duduk seorang diri. Mengenakan dress yang memperlihatkan lekuk tubuh indahnya, membuatnya nampak mempesona dan menarik perhatian beberapa pasang mata.
“Kenapa baju bocah SD ini dikasih ke aku, sih? Heran!” gerutu Lylia di tengah kekesalannya.
Di meja hanya ada segelas smoothies dan sudah tersisa setengah saja. Ia pun kembali mengedar pandangannya ke pintu masuk restoran, seakan sedang menantikan seseorang yang sudah cukup lama ia nanti.
“Sampai kapan aku harus duduk seperti orang bodoh di sini?” Sekali lagi dia menggerutu dan menghabiskan sisa minumannya dalam sekali tindakan.
Baru saja Lylia hendak beranjak dari kursi, tiba-tiba terdengar dering ponsel dari tas kecilnya. Dengan segera dia menatap layar yang menampilkan nama ‘Pak Tua’, lalu dengan berdecih Lylia menggeser ikon hijau untuk menerima panggilan tersebut.
“Ada apa, Yah?” tanya Lylia pada seseorang di seberang telepon sana.
“Apa dia sudah datang? Bagaimana menurutmu?” Suara berat dari seberang sana membuat Lylia mendengkus kesal.
“Kayanya, dia gak bakalan dateng, Yah. Aku benar-benar udah capek banget nunggu dari tadi.” Lylia mengeluh dan berharap sang ayah tergerak hatinya untuk menyudahi pertemuan hari ini.
“Tidak mungkin, dia mengatakan akan datang. Bahkan, dia mengirimkan foto mobilnya untuk menemuimu.”
“Kalau gitu, aku tunggu beberapa menit lagi aja di sini.”
“Anak pintar.”
“Coba Ayah bilang sama orangnya, kalau aku ada di Resto Victoria. Mejanya deket pintu masuk dan—“ Ucapan Lylia terhenti saat pria di seberang sana menyela dengan nada tinggi.
“Resto Victoria? Loh, apa yang kamu lakukan di sana?! Jelas saja kalian tidak akan bertemu! Bukankah Ayah sudah mengatakan untuk datang ke Empire Gold?! Astaga, Lylia! Kenapa kamu begitu ceroboh?! Dia pasti sudah menunggumu sejak satu jam lalu!” omel Jerry—ayah Lylia.
Lylia memukul keningnya dengan keras hingga ada tanda merah di sana. Ia benar-benar lupa perkataan sang ayah semalam, dan berakhir dengan menebak-nebak tempat pertemuan saking enggannya kembali mempertanyakan.
Setelah berdiam sejenak–merutuki diri, ia pun meletakkan uang untuk segelas smoothies di atas meja. Bergegas keluar dari tempat itu, hendak menuju restoran yang dimaksud Jerry. Beruntung, jarak kedua restoran sangat dekat, hingga tidak memakan waktu lama.
Usai panggilan telepon terputus begitu saja setelah Lylia memasukkannya kembali ke tas, wanita itu berlari tanpa peduli dengan highheels yang bisa saja membuatnya celaka. Napasnya terengah cukup cepat, diikuti bulir keringat kecil-kecil membasahi kening.
“Kenapa aku gak baca ulang pesan Ayah, sih? Ah, dasar ceroboh!” gumam Lylia di tengah langkahnya yang semakin mendekati pintu masuk restoran.
Sesampainya di depan pintu masuk, langkah Lylia ditahan seorang pelayan. Dengan sopan dia bertanya, “Apakah Anda sudah memiliki reservasi atau janji dengan seseorang?”
“Ya, aku memiliki janji dengan … ehm, kenapa aku lupa bertanya namanya?!” Lylia berbicara kepada dirinya sendiri. Terlihat begitu bingung, hingga ia memutuskaan untuk mengedarkan mata, mencari keberadaan seorang pria yang tidak memiliki teman duduk.
“Nona, bisakah Anda menyebutkan nama?” tanya pelayan itu sekali lagi.
“Ah, ya. Aku Lylia.”
“Baiklah, nama Anda ada dalam daftar reservasi kami. Dan Tuan Ravendra sudah menunggu Anda di meja. Silakan,” ungkap pelayan itu sembari menunjukkan tempat duduk untuk Lylia.
Wanita itu bisa melihat punggung seorang pria yang terlihat begitu tegap dan gagah. Jas yang menutup tubuhnya membuat sedikit terpukau meski dia belum melihat garis wajah sekalipun.
Sampai langkahnya terhenti di samping meja, pelayan itu mempersilakan Lylia untuk duduk.
“Silakan, Nona. Saya akan menyiapkan hidangannya setelah ini.”
Lylia bisa melihat wajah datar pria di hadapannya. Dia tahu, ada air muka kekesalan di sana.
“A-aku minta maaf. Sepertinya, aku salah masuk restoran tadi. Apa kamu sudah menunggu lama?” tanya Lylia dengan suara lirih dan sedikit ragu–memulai percakapan.
“Apa alamat yang kuberikan tidak jelas?” tanya pria itu dengan nada tegas.
‘Apa-apaan dia? Kenapa terlihat begitu kaku dipertemuan pertama ini? Astaga, Tuhan … Apa, sih, yang sebenarnya Ayah pikirin waktu jodohin aku sama pria berwajah datar ini?’ Gerutu Lylia dalam hati.
“Ma-maafkan aku. Aku benar-benar tidak melihat pesan yang masuk. Aku langsung saja datang ke restoran itu.”
Di antara percakapan mereka, seorang pelayan kembali datang menghidangkan makanan di meja.
Sementara itu, Lylia hanya bisa memendam rasa kesalnya terhadap sikap yang diberikan teman kencan butanya.
“Sebenarnya, kenapa kamu setuju dengan perjodohan ini? Dan lalu … bukankah ini termasuk kencan buta? Kita tidak saling kenal sebelumnya. Bisa saja, kan, kamu menolak secara terang-terangan sekalipun. Kenapa kamu pasrah-pasrah saja seperti ini?” tanya Lylia sembari memotong daging yang terhidang di depannya.
“Aku lihat orang tuamu begitu membutuhkan bantuan untuk putrinya yang sulit diatur. Jadi, kemungkinan orang tuamu ingin seseorang bisa mengubah sikap itu,” jawab pria dengan wajah tampan tak berekspresi itu.
‘Ha! Bisa-bisanya dia jawab kaya gitu? Belum pernah masuk ke kandang singa, ya? Coba aja kamu tinggal sehari sama ibu dan saudara tiri aku itu. Aku yakin, gak kurang dari dua puluh empat jam, kamu bakalan memohon ampun dan minta balik ke rumah kamu lagi,’ batin Lylia yang kesal dengan ucapan Ravendra.
“Setidaknya kenali dulu orang yang akan kamu temui, bukan menilai tanpa tahu kehidupanku.” Wanita itu menghela napas dalam, sembari menatap pria di hadapannya. “Sepertinya, aku tidak akan melanjutkan perjodohan ini, jadi … kumohon, tolong katakan pada Ayah bahwa kamu menolaknya. Katakan juga pada ayahku untuk menghentikan percobaan ini. Aku sudah selesai dengan kegiatanku dan aku—“ Ucapan Lylia tiba-tiba terhenti saat pria di depannya meletakkan sendok dan garpu bersamaan dengan suara yang cukup menarik perhatian.
“Duduklah jika tidak ingin seseorang datang dan memakimu di sini!”
Mendengar ucapan Ravendra, Lylia sadar bahwa seseorang mengawasi mereka. Tepatnya di salah satu sudut restoran, terlihat ada dua wanita yang memperlihatkan gerak-gerik mencurigakan.
‘Sialan! kenapa mereka ada di sini? Dan sejak kapan mereka ada?’ Lylia membatin saat tahu siapa kedua wanita itu.
Ya, mereka adalah ibu dan saudara tirinya. Lylia yang begitu membenci mereka, tetapi tetap saja tidak bisa berkutik saat keduanya mulai bekerja sama. Kali ini, Lylia kembali dibuat membeku. Dia tidak ingin ada kabar tidak sedap yang akan didengar ayahnya, sehingga memutuskan untuk kembali duduk dan meminum segelas air agar lebih tenang.
“Mereka—“
“Ibu dan saudari tirimu, bukan? Aku bahkan sudah tahu tentang mereka.”
Lylia menatap Ravendra penuh tanya. ‘Siapa sebenarnya pria ini? Dia terlalu tenang, tapi sikap kakunya bikin istigfar berulang kali. Apalagi, ekspresi datar itu. Bikin emosi jiwa!’
Tiba-tiba saja ponsel Lylia berdering, dia pun menerima panggilan itu setelah meminta izin pada Ravendra.
“Lylia, bagaimana?” Pertanyaan yang begitu membuat kesal, bahkan Lylia enggan menjawab jika bukan sang ayah yang bertanya.
“Ayah, aku masih belum selesai menikmati hidanganku. Kenapa sudah bertanya?”
“Bukankah dia tampan? Jangan berlama-lama, cepat putuskan!” kata Jerry dari seberang telepon sana dengan nada penuh penekanan.
“Terserah Ayah. Jika ini yang terbaik untuk Ayah, aku akan menurut.”
“Bagus, kamu memang tidak pernah membuat Ayah kecewa. Baiklah, lanjutkan kegiatanmu dengan Raven.”
Tepat setelah selesai dengan kalimatnya, Jerry memutus sambungan telepon itu untuk membiarkan Lylia menikmati pertemuannya. Sementara Lylia sendiri kembali menatap Ravendra yang kini memperhatikannya dengan wajah datar.
“Maaf, kita belum berkenalan. Aku—“
“Aku sudah tahu siapa kamu.”
“H-Ha?”
“Lylia Ashana. Kamu sangat menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan pemandangan, lukisan, bahkan seorang pekerja keras. Kamu baru saja menyelesaikan sekolah senimu, tetapi tidak berlanjut untuk sebuah pekerjaan karena alasan pribadi.”
Lylia tercengang dengan pernyataan yang baru saja didengarnya. Ravendra mengenalnya, tetapi dia tidak. Lylia benar-benar tidak tahu siapa pria di hadapannya saat ini. Apa pekerjaannya, dan di mana tempatnya tinggal? Benar-benar buta pada sosok pria bernama Ravendra ini.
“Oke, aku masih berusaha memahami situasi ini, jadi tolong, jangan membuatku takut. Aku bahkan tidak tahu namamu, tetapi kamu sudah mengenalku sangat baik.”
“Aku Ravendra Arsenio Bagas, bekerja di salah satu perusahaan manufaktur ternama kota ini. Aku memiliki satu rumah sederhana yang dihuni oleh ibuku, dan aku bukan seorang pria kaya raya, " jelas Ravendra.
“Baiklah. Jadi … apa kamu ingin kita melanjutkan hubungan ini ke—“
“Satu minggu lagi, kita akan menikah.”
Lylia membelalakkan mata. “APA?!”
***