Hari Yang Tidak Dinantikan.

1485 Words
Hari yang sebenarnya tidak begitu dinantikan oleh Lylia akhirnya tiba. Ijab kabul pun bahkan sudah dilangsungkan beberapa waktu lalu antara mempelai pria, wali mempelai wanita, para saksi, juga penghulu dan petugas dari Kantor Urusan Agama. Sementara Lylia, kini diminta menunggu di salah satu ruangan dalam keadaan sudah selesai berganti pakaian dengan dress yang sempat dia coba ketika itu. Tidak ada kebahagiaan dari raut wajah Lylia. Bahkan, bagi wanita itu, pernikahan yang tengah berlangsung saat ini adalah suatu keterpaksaan. Beruntung, pernikahan berlangsung di sebuah tempat tertutup, dengan sedikit undangan. Jadi, tidak banyak tamu yang datang, karena memang pesta itu dibuat sesederhana mungkin oleh Ravendra. Perlahan Lylia berdiri di depan cermin, melihat lekuk tubuhnya yang tercetak begitu sempurna. Nampak sangat elegan dengan balutan gaun mewah berwarna putih yang dikenakan, juga hiasan wajah sedikit tebal dengan perpaduan warna soft di bagian mata dan bibir. “Kamu udah jadi istri orang, Ly. Terus sekarang, kalau kamu buat masalah, mau lari ke mana?” gumam Lylia sembari mengibas-ngibas kedua tangannya yang terasa sangat dingin. Di tengah kegelisahan itu, Lylia teringat ucapan Ravendra kemarin. ‘Apa Raven masih marah sama aku karena kejadian kemarin? Kalau, iya ... mati udah, Ly! Gak bisa kabur kamu!’ gumamnya dalam hati. Pikirannya terus berspekulasi tak mendasar, sampai-sampai ia melamun memikirkan hal itu. Dalam lamunannya, Lylia melihat dirinya sedang berjalan menuju pelaminan bersama sang ayah. Dan di depan sana, terlihat Ravendra berdiri dengan gagahnya mengenakan tuxedo hitam. Terlihat begitu tampan dan gagah. Tanpa ada seulas senyum, atau bahkan sambutan hangat dari pria yang kini sudah bergelar suami Lylia tersebut. Di sekelilingnya ada banyak tamu undangan yang hadir. Namun, semua tidak Lylia kenal. Mereka bahkan menatap sinis terhadapnya. Alih-alih diperlalukan bak ratu satu hari, tepat di atas pelaminan, Ravendra dengan wajah datarnya malah melampiaskan kekesalan kemarin pada Lylia, hingga semua tamu undangan menertawakan nasibnya. Ravendra pun tak segan-segan membeberkan semua kesalahan Lylia, termasuk foto dirinya ketika bersama Adzriel di parkiran basement mall, mempermalukan di depan semua orang, juga membentak, mencaci maki Lylia dengan kalimat-kalimat kotor dan hina. “Lihatlah! Semua yang sudah kamu lakukan sebelum pernikahan kita. Wanita sepertimu bahkan tidak pantas bersanding denganku di atas pelaminan ini! Aku menyesal telah memilihmu sebagai istri. Seharusnya sejak awal, aku menolak perjodohan ini dan tidak menikahimu. Perempuan tidak tahu malu! Miskin! Enyah kamu dari hadapanku!” “R-Raven ... Aku–“ “Mira, benar ‘kan kata Mama! Lylia akan menjadi seorang janda hanya dalam waktu beberapa jam saja. Dasar anak tidak tahu diuntung!” “Dia benar-benar perempuan sial! Bikin malu keluarga! Bukankah keputusan kita sudah benar untuk mengosongkan kamarnya? Ha!” “Lylia, Ayah kecewa padamu! Ayah benar-benar malu mempunyai anak sepertimu. Secepatnya, kemasi barang-barangmu dan keluar dari rumah! Ayah sudah tidak sudi lagi melihatmu ada di hadapan Ayah. Dasar anak durhaka!” Belum habis drama dalam lamunan Lylia, wanita itu malah dikejutkan oleh kehadiran Jerry yang datang dan menyentuh pundaknya pelan. “Nak, kok melamun? Pesta pernikahannya akan segera dimulai. Bisakah kamu sedikit fokus? Jangan memikirkan hal lainnya!” Lylia sedikit terperanjat. “A-Ayah ....” “Ayo cepat! Suamimu sudah menunggu di pelaminan.” Bukannya bertanya kondisi putrinya, Jerry malah meminta Lylia untuk segera bersiap. Wanita yang terlihat sangat gugup itu hanya mengangguk setelah kembali dibuat kecewa oleh sang ayah. “Baiklah, Ayah.” Setelah Lylia terpaksa beranjak dari tempatnya, dan berdiri di samping Jerry, pria paruh baya itu pun mulai membawa putrinya berjalan keluar hendak menuju pelaminan, dengan senyuman yang merekah dari kedua sudut bibir. Namun, langkahnya terhenti saat Lylia tiba-tiba mematung di sepertiga jalan. Menatap lurus ke depan, melihat Ravendra yang sedang berdiri menanti kedatangannya. ‘Gimana kalau Raven benar-benar lagi menyusun strategi buat bikin malu aku di depan para tamu undangan? Gimana kalau Raven ternyata cuma mau main-main aja, dan malah pergi ninggalin aku di tengah pesta? Gimana kalau Raven tiba-tiba marah dan mengungkit foto kemarin di depan orang-orang? GIMANA KALAU LAMUNAN AKU MENJADI KENYATAAN?’ Lambat laun, suara hati Lylia berteriak kencang atas spekulasi-spekulasi tersebut. Jerry yang nampak bingung melihat sikap putrinya pun bertanya, “kenapa kamu berhenti di sini? Apa ada yang tertinggal?” Saking takutnya lamunan itu menjadi kenyataan, bukan menjawab pertanyaan sang ayah, Lylia malah memutuskan untuk berlari ke luar dari area itu, tanpa mempedulikan panggilan dari Jerry, juga tatapan bingung dari para tamu yang hadir. Sementara Ravendra, segera mengejar sang istri, dan menarik pergelangan tangannya, ketika berhasil terkejar. “Kenapa kamu berlari ke luar seperti ini?” “A-aku yakin, kamu tidak akan mau mendengarkanku, seperti Ayah,” jawab Lylia dengan raut wajah gelisah. Raven tidak menjawab, dan hanya berhambur memeluk Lylia. Mengusap punggungnya dengan lembut, dan membiarkan wanita dalam dekapannya itu menenangkan diri sejenak. Tarikan napas yang semula terdengar memburu perlahan mulai kembali teratur seperti biasa. “Sudah lebih tenang?” tanya Ravendra setengah berbisik. Wanita itu mengangguk pelan. “Sudah.” “Para tamu undangan sudah menunggu. Apa kita bisa lanjutkan acara hari ini?” tanya Ravendra lagi. Perlahan Lylia melepaskan diri dari dekapan Ravendra, lalu sedikit menengadahkan kepala untuk menatap wajah suaminya itu. “Kamu tidak marah?” “Untuk apa aku marah? Apa kamu melakukan kesalahan?” Ravendra malah balik mengajukan pertanyaan, sementara Lylia hanya terdiam. Tak berani menjawab pertanyaan tersebut. Ravendra segera mengusap pundak Lylia pelan agar wanita itu tidak kembali gugup. “Jika kamu tidak ingin membicarakannya sekarang, kita bicarakan setelah acara selesai. Bagaimana?” Lylia segera menganggukkan kepala. Setidaknya, Lylia sudah bisa memastikan, bahwa Ravendra tidak seperti apa yang dia bayangkan sebelumnya. “Baiklah.” Pria itu tersenyum sangat tipis, bahkan hampir tak terlihat. “Seharusnya ini adalah hari bahagia kita. Jadi, aku mohon, tersenyumlah walau kamu sedang tidak ingin tersenyum.” Setelah berhasil membujuk Lylia untuk kembali memasuki area pernikahan, Ravendra–sembari menggenggam tangan dingin Lylia yang mengait pada lengan kiri–dengan hormat meminta maaf pada para tamu undangan atas kejadian tak terduga beberapa waktu lalu, dan beralasan jika Lylia mengalami kegugupan. Beruntung, semua orang cukup paham dengan alasan yang dikatakan Ravendra, hingga acara pun bisa berlanjut dengan khidmat. Baru saja ketenangan didapatkan Lylia dan Ravendra pada pesta pernikahan mereka, tiba-tiba saja suasana kembali menjadi canggung ketika sosok Adzriel memasuki gedung. Banyak mata bertanya-tanya, siapa sosok tampan yang baru saja memasuki area pernikahan itu? Terkagum-kagum pada ketampanan, juga kesopanan yang diperlihatkan. Sampai langkahnya terhenti di pelaminan, pria itu tersenyum hangay saat memberi selamat pada Lylia dan Ravendra. Tidak seperti sebelumnya. Adzriel bahkan tampak jauh lebih sopan sehingga membuat Lylia bingung. “Loh, Adzriel? Kok kamu ada di sini?” tanya Lylia yang tidak merasa mengundang teman SMA-nya itu. “Untuk memberi doa dan ucapan selamat?” jawab Adzriel, namun lebih terdengar seperti pertanyaan di telinga Lylia. Wanita itu tersenyum begitu lebar mendapat kejutan tak terduga seperti ini. “Tau dari mana aku nikah?” tanya Lylia penasaran. “Dari seorang kolega. Aku juga sedikit kaget saat tahu mempelai wanitanya adalah kamu. Maka dari itu, sebisa mungkin aku sempatkan untuk hadir.” “Astaga, bisa banget bikin orang terharu. Makasih banyak, ya, Zriel udah sempetin dateng ke sini.” “Sama-sama, Ly. Seneng banget bisa turut andil dalam kebahagiaan kamu hari ini.” Tanpa Lylia sadari, Ravendra yang sedari tadi berdiri di sampingnya lebih banyak berdiam diri dan hanya menatap tidak suka pada Adzriel. Apalagi, ketika pria itu kembali memeluk Lylia dan membisikkan sesuatu, hingga istrinya tersipu malu. Setelah puas berbincang dan kembali mengucapkan selamat pada pengantin, Adzriel pun turun dari pelaminan dan menyapa Jerry yang dibuat membungkuk sekilas, seperti memberi hormat pada sosok itu. Tidak banyak yang bisa mendengar percakapan Jerry dan Adzriel, hingga Shinta bergabung hendak memperkenalkan Mira pada pria itu. Adzriel yang tidak begitu ingin merespon ocehan Shinta segera saja berpamitan pada kedua orang tua Lylia tersebut, dan berjalan menuju beberapa stand makanan di bagian samping. Menghiraukan beberapa tatapan kagum dari orang-orang sekitar terhadap dirinya. Pesta benar-benar berhasil berjalan dengan sangat baik, namun nyatanya hal itu tidak berlangsung lama. Sebab, saat Adzriel tengah menikmati hidangan yang ada di sana, tiba-tiba terdengar suara keributan dari arah berlawanan. Andy terlihat berjalan cepat, dan hanya dalam hitungan detik saja satu tinjuan melayang ke wajah Adzriel, hingga pria itu terhuyung, lalu terjatuh beserta makanan yang ada di tangannya ikut berserakan di atas lantai. Seketika itu juga keduanya menjadi pusat perhatian para tamu undangan pada pesta tersebut, termasuk Ravendra dan Lylia yang kini berlari kecil meninggalkan pelaminan untuk menghampiri kedua orang itu. Lylia memilih untuk membantu Adzriel berdiri, sementara Ravendra mengamankan Andy. “Kamu gak apa-apa, Zriel?” tanya Lylia cemas. Adzriel masih sempat tersenyum dan menggelengkan kepala. “Gak apa-apa, Ly. Kamu gak usah khawatir.” Di sisi lain, Ravendra menarik Andy agar menjauh, lalu berbisik, “apa-apaan, sih, lo? Lo sengaja mau hancurin pesta pernikahan gue?” Andy terus memberontak, bahkan tak mempedulikan pertanyaan temannya. “Pengganggu seperti lo, gak pantes ada di pesta ini! Dasar gak tahu diri!” serunya begitu keras, hingga membuat tanda tanya besar bagi seluruh tamu undangan yang hadir pada pesta tersebut. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD