Laki-laki yang dipanggil dengan sebutan Alfa itu sejenak terdiam.
“Kami sudah mengaduk-aduk data di kota Arkton dan ... em ... sampai sekarang benar-benar belum menemukan data gadis bernama Harra itu. Em ... dan kami juga belum menemukan adanya kemungkinan gadis itu menggunakan identitas lain,” sambung Alfa yang disambut dengan desah lelah Assad. Laki-laki itu menjulurkan kaki panjangnya setelah menggeser kursi dengan sandaran tinggi itu hingga menghadap ke samping. Pemilik Cosmo Holdings yang terkenal dingin itu kembali menekan rasa senangnya yang tadi sempat mencuat hingga ke dasar-dasarnya.
Alfa menarik napas dalam.
“Harra terdaftar sebagai anggota dari agency detektif swasta yang dikelola oleh detektif berpengalaman yang bernama Alfred. Ya ... laki-laki yang menggunakan kursi roda itu,” tunjuk Alfa pada gambar yang berada di tangan Assad. Penjelasan itu membuat Assad menelisik wajah dalam foto itu.
“Alfred adalah mantan tentara yang mengundurkan diri karena kecelakaaan yang melumpuhkan kakinya ketika menjaga perdamaian dua negara yang sedang bertikai. Setelah itu, laki-laki itu mendirikan agency detektif partikelir dan banyak diminta bantuan untuk memecahkan kasus-kasus besar,” papar Alfa sambil menatap Assad dengan hormat.
“Wah ...! Heroik sekali ...,” komentar Assad sambil meletakkan foto itu.
Assad diam dan menunggu pemaparan selanjutnya.
“Dan gadis itu, Harra, adalah lulusan sarjana psikologi yang tertarik menjadi detektif dan bergabung dengan Alfred. Gadis itu dikenal mengikuti kecemerlangan pendahulunya. Beberapa kolega kita juga telah menjadi klien dari gadis itu. Em sebagai informasi tambahan, banyak dari klan kita yang khawatir dengan keberadaan gadis itu berada dalam tim penyelidik yang sekarang ada di gedung kita ini,” tutur Alfa dengan runut.
Assad terdiam.
“Dan?” desak laki-laki itu sambil menatap tajam bawahannya itu.
“E ... tidak banyak catatan yang ditemukan dari gadis itu, dalam data itu keluarganya tak dapat ditelusuri dengan jelas. Em gadis itu juga tak memiliki banyak teman atau teman dekat.” Alfa menghentikan penuturannya.
“Apa ada penjelasan, gimana gadis itu dan gadis yang dulu ada di rongsokan besi kota Arkton itu bisa punya kemiripan?” kejar Assad dengan tenggorokan yang mulai terasa kering karena informasi panjang yang disampaikan bawahannya itu tak menjawab pertanyaan dalam benaknya. Laki-laki yang telah lama ditugaskan untuk mencari saksi penembakan itu menunduk kemudian menggeleng. Assad kembali mendesah lelah.
Laki-laki yang sedang duduk sambil meluruskan kaki itu merebahkan kepalanya pada puncak sandaran kursi yang tinggi. Tangannya menekan-nekan pelipis.
“Berarti masih ada kemungkinan Harra adalah gadis yang menyaksikan aku menembak Decca di pinggir Arkton waktu itu. Apa memang harus kulenyapkan gadis itu? Tapi ...,” batin Assad mulai beradu argumen, mendadak dadanya terasa berdesar ketika matanya terpejam, wajah Harra bak menari-nari dalam benak.
“Ada lagi?” ujar Assad tanpa membuka mata.
“Belum, Bos. Sejak kemunculan detektif Harra itu, baru itu yang kita dapatkan. Em ... pencarian gadis yang muncul di pinggir Arkton itu, serta laki-laki pincang itu juga masih diteruskan.” Alfa kembali menunduk setelah menjawab pertanyaan Assad dengan tak memuaskan.
Assad menarik napas panjang.
“Informasi tentang penembakan di depan restoran yang kualami?” tagih Assad tegas. Alfa diam sejenak.
“Masih ... meraba dalam gelap, Bos,” jawab Alfa lirih.
“Ah ...!” seru Assad kesal, sejenak kemudian dia tertawa sinis.
“Ironi, aku yang biasa berjalan dalam gelap, sekarang meraba dalam gelap, hem ...aneh sekali,” batin Assad tak terima.
“Apa tak terendus ciri-ciri sniper itu dari mana? Atau apalah gitu yang bisa dijadikan petunjuk?” desak Assad kemudian.
“Negatif, Bos,” jawab Alfa sembari kembali menunduk.
Ketukan keras di pintu membuat percakapan itu berhenti.
“Assad!” seru seorang laki-laki ketika memasuki ruangan itu dengan wajah kesal.
“Apa ada alien masuk otakmu? Atau fungsi otakmu itu mulai turun?” sindir laki-laki dengan tinggi hampir dua ratus centimeter itu. Laki-laki yang tingginya sejajar dengan pemilik korporasi besar itu tanpa menunggu izin menjatuhkan tubuhnya di kursi dengan kasar. Gerakan itu membuat rambut gondrong sebahunya, bagian depannya menutupi wajah. Dengan pelan telapak tangan, laki-laki berhidung mancung itu menyibak rambutnya hingga wajahnya terlihat jelas.
“Ro, mungkin di mulutmu harus diletakkan security biar terjaga,” ejek Assad kemudian tersenyum menyeringai.
Dua laki-laki yang duduk hanya berjarak meja kerja itu saling menatap dengan tajam. Kemudian laki-laki yang berambut gondrong itu bersedekap.
“Lima orang baru yang ada di lantai bawah ini kupikir perlu dilenyapkan,” cetus laki-laki yang duduk di depan meja kerja Assad itu.
“Ah ..., Ronald ...,” desah laki-laki dengan tatapan mata tajam itu terdengar lelah.
“Arogansi yang Kau tunjukkan itu memuakkan. Kau pasti tahu ke mana arah tim penyelidik itu. Bagaimana jika mereka menemukan apa yang mereka cari, hancur ‘kan korporasi ini?” seru Ronald berang.
Assad mendengkus, tangan kanannya menjepit pangkal hidung untuk meredakan ketegangan yang mulai meningkat. Pandangan matanya terarah pada Alfa dan dengan hormat, laki-laki berusia lima puluh tujuh tahun itu undur diri dengan hormat.
“Mereka utusan nasional, utusan masyarakat yang terganggu dengan apa yang klan kita lakukan, dengar! Masyarakat nasional! Itu artinya seluruh negara ini. Kau bisa melenyapkan satu negara?” bantah Assad setelah pintu tertutup dengan keluarnya Alfa.
“Kita bisa melakukan apa yang biasa kita lakukan untuk menghalangi tim penyidik itu,” sanggah Ronald dengan geram.
Assad terdiam sembari menatap dengan tajam.
“Andai itu bisa dilakukan, tentu kelima orang itu tak ada di lantai bawah ini,” jawab Assad kemudian menarik napas dalam. Ronald menegakkan punggung kemudian mencondongkan tubuh ke depan. Kedua tangannya berada di atas meja dengan jari-jari saling terkait.
“Kau, orang dekatku, bisa dibilang tangan kanan, kita melakukan aksi bareng. Kau pasti tahu kenapa yang ini tak bisa dibendung,” lanjut Assad sambil menirukan posisi duduk Ronald. Laki-laki yang berambut gondrong itu mengernyitkan kening. Assad kembali mendesah lelah.
“Ro, tim ini adalah tim mandiri bentukan masyarakat. Mereka tak melapor pada atasan mana pun. Andai mereka punya institusi yang jelas, kita dengan mudah menyuap atasan mereka agar ada di pihak kita ‘kan?” tanya Assad retoris.
“Ah!” desah Ronald sembari memukulkan kepalan tangan ke telapak tangannya sendiri.
“Padahal lima orang itu terlihat bodoh dan lemah,” sesal Ronald dengan geram. Laki-laki ganteng dengan rambut gondrong itu diam sejenak.
“Ayolah!” celetuk Ronald tiba-tiba, laki itu bersikeras , Assad menatap dengan ekspresi penuh tanya.
“Ah! Apalagi? Mereka hanya lima orang bodoh yang lemah, kita bisa melakukan sesuatu dengan mereka. Kita buat itu seperti satu kecelakaan wajar misalnya? Ayolah!” desak Ronald dengan ekspresi tanpa beban.
Assad menarik napas dalam.
“Mereka berlima seolah memang seperti yang Kau lihat itu. Naif dan lemah, tapi apa di pikiranmu itu tak terbetik sesuatu? Jika ada sesuatu yang terjadi dengan mereka, dugaan masyarakat senegara ini pasti terbukti. Dengan begitu kita memakan umpan yang salah. Sekuat-kuatnya klan kita, kita nggak punya angkatan bersenjata. Kau mau musnah sia-sia?” jelas Assad tenang, Ronald ternganga mendengar paparan itu.