SATU
Jantungnya berdesir hangat, mendapat tatapan yang begitu lembut dari kedua pancaran sinar mata suaminya. Elusan penuh kasih sayang di perutnya yang sudah membuncit saat ini semakin membuat perasaannya menghangat, dan bahagia di dalam sana.
Tangan yang mengelus lembut perutnya saat ini, memang terlihat sangat kokoh, lebar, dan sedikit kasar. Tapi demi Tuhan, telapak tangan lebar itu terasa sangat halus, dan lembut di atas permukaan perut telanjangnya yang buncit saat ini. Ya, bahkan dress selutut yang ia kenakan saat ini, pelan-pelan, dan hati-hati suaminya bahkan menyingkap dressnya.
Memperlihatkan hampir sebagian dari bagian tubuh bawahnya, hati-hati tanpa di sadari oleh anaknya yang sedang asik menonton di bangku belakang kemudi. Yang sengaja di berikan oleh suaminya, agar ia bisa leluasa menyapa anaknya, anak yang ia harapkan kehadirannya bahkan sejak 3 tahun yang lalu. Di saat anak pertamanya lahir, laki-laki itu bahkan mengharap isterinya hamil lagi.
Tapi, laki-laki itu bodoh, masa isterinya bisa hamil lagi di saat sang isteri bahkan belum selesai masa nifasnya.
Dan penantian panjang yang sudah ia tunggu sejak tiga tahun yang lalu akhirnya di kabulkan oleh Tuhannya. Walau di waktu itu, ia hampir menyerah, dan hatinya sudah sedikit kecewa pada sang isteri yang tak kunjung hamil lagi.
Bahkan... ia sudah berniat kalau isterinya tak kunjung hamil lagi dalam waktu enam bulan, dia... dia akan...akan melakukan program bayi tabung.
Ya, bayi tabung. Otaknya masih sedikit waras untuk tak melakukan hal di luar itu, hal yang aneh-aneh. Ia laki-laki yang mempunyai prinsip yang kuat.
"Kamu nggak capek, kan, nunggu papa dari tadi? "
"Hmmm, maaf, ya. Seharusnya dari pagi papa lihat sosok kamu untuk pertama kalinya. Tapi, papa harus kerja dulu. Semua untuk kamu, kakakmu, dan mamamu." Bisik laki-laki itu lembut sekali.
Kepalanya perlahan tapi pasti, menunduk dengan susah payah dari posisi menyamping hanya untuk mengecup lembut perut buncit isterinya yang berisi darah dagingnya di dalam sana.
Darah daging yang sudah ia tunggu, dan damba sejak lama. Intinya ia sangat sayang anak yang ada dalam perut isterinya saat ini. Sangat-sangat menyayanginya.
"Kamu tau? Papa berhasil menangin tender dalam jumlah yang besar tadi, semua untuk kamu, kakak kamu, dan mama kamu."
"Baik-baik di dalam perut mama, ya, Sayang."
"Papa sayang kamu."
Cup!
Ucapnya dengan nada yang sangat lembut, dan hangat. Bahkan, sekali lagi, kedua bibir sedikit tebal kecoklatannya memberi kecupan penuh kasih sayang untuk anaknya.
Kali ini, bukan hanya untuk anaknya, tapi untuk isterinya juga. Di saat lidahnya yang basah, dan hangat terlihat menari memutar tepat di atas pusar isterinya, membuat isterinya dalam waktu seperkian detik, terlihat mencengkram kuat pahanya sendiri di bawah sana.
Karena rasa panas, perlahan tapi pasti mulai menjalar di tubuhnya, dan rasa hangat semakin ia rasakan di saat suaminya memberi usapan lembut terakhir di perutnya. Sangat lembut sekali.
Membuat ia bahkan terbuai, ingin jatuh tertidur karena kenyamanan, dan perasaan menyenangkan yang ia dapat dari suami tercintanya saat ini.
Tapi, kedua matanya yang terasa sangat berat, dan mengantuk saat ini, di tahan sebisa mungkin oleh wanita itu, agar kesadarannya tetap terjaga.
Mereka harus segera ke rumah sakit, siang ini juga. Seharusnya pagi tadi sekitar pukul sembilan pagi. Sayang, seribu sayang, suaminya tiba-tiba harus bertemu dengan rekan kerjanya yang sangat penting, dan dirinya yang merasa sangat malas hanya untuk sekedar beranjak dari atas tempat tidurnya.
Berakhir lah mereka pergi ke dokter spesialis kandungan di siang hari bolong seperti saat ini.
"Hanin, simpan lagi gadget-mu."
"Hanya berapa menit yang papa bilang tadi?"Tanya-nya dengan suara sedangnya, menatap sang puteri yang ada di belakangnya yang terlihat menatap dalam diam dirinya saat ini.
Jelas, sebelum ia menegur lembut anaknya, ia membantu isteri tercinta memperbaiki penampilan, dan pakaiannya yang kacau karena ulah sedikit nakalnya tadi.
"Lima menit, Pa."Jawab anaknya patuh, dan terlihat menyimpan ponselnya di dalam tas selempangan kecil yang masih tersampir di tubuhnya.
"Bagus, kita berangkat."Ucapnya kali ini dengan senyum manis yang terbit begitu indah di kedua bibirnya, di balas dengan senyum tak kalah manis oleh anaknya di belakang sana.
Ella... merasa terharu, dan merasa sangat bahagia. Bahkan wanita itu saat ini, terlihat menghapus lembut air matanya yang sudah mengalir di sudut matanya saat ini. Tak menyangka, ia akan mengalami hal menyenangkan, rasa bahagia, rasa nyaman, rasa berharga untuk anak-anak, dan suaminya.
Tuhan memang adil, ia tersiksa di saat masih berada di kampungnya dulu. Tapi, detik ini ia merasa bahagia. Sangat bahagia. Memiliki sosok anak penurut, dan suami penyayang seperti suaminya, Serkan Ganesha.
Tapi, kebahagian yang terpancar dari raut wajahnya detik ini, dalam seperkian detik lenyap. Di saat suara tegas, dan diktator suaminya, menyapa telak indera pendengarnya kali ini.
"Aku tidak mau tau, kamu harus melahirkan anak laki-laki untukku, untuk kita kali ini. Itu perintah!"Ucapnya dengan nada suara yang sangat-sangat tegas.
Membuat wanita itu, Ella menegang kaku dengan keringat yang begitu cepat mengumpul, dan mengalir dalam jumlah banyak dalam waktu seperkian detik hampir di seluruh tubuhnya.
Ella, melupakan keluh kesah suaminya, ia sedikit tenang karena sudah hamil.
Tapi, tadi untuk waktu beberapa saat, ia lupa pada sang suami yang sangat ingin memiliki anak laki-laki.
Apa yang harus ia lakukan?
****
Ella mencengkram dress selutut longgar yang ia kenakan saat ini dengan cemgkraman yang sangat kuat, untuk menyalurkan rasa takut, was-was, dan tak nyaman yang menghantui telak dirinya saat ini.
Kedua manik cokelat teduhnya, sedari satu menit berlalu tak berani melirik kearah suaminya, yang sepertinya masih berdiri membeku di samping kanan ranjang yang Ella tempati saat ini.
Sedangkan seorang dokter wanita, yang melakukan rangkaian USG pada kandungannya beberapa saat yang lalu, kini tangannya dengan terampil membersihkan sisa gel yang ada di perut Ella dengan raut wajah tak nyamannya.
Ya, tak nyaman, karena beberapa saat yang lalu, di saat dokter itu menyebutkan, dan menunjuk jenis kelamin anak pasiennya pada layar monitor.
Hanya keheningan yang ia dapatkan, dan wajah datar serta memerah dari seorang laki-laki yang berdiri tepat di sampingnya dengan wajah yang bahkan hampir bersentuhan dengan layar monitor. Tak sabar menanti gambar anaknya untuk ia lihat dalam jarak yang dekat.
Dan bagai bom yang meledak. Di saat kata ' selamat, calon anak ibu, dan bapak berjenis kelamin perempuan', laki-laki yang pastinya adalah suami pasiennya Ella, langsung menarik wajahnya yang sangat dekat dengan layar monitor, menatap dirinya dengan tatapan seakan ingin membunuh, seakan kata-kata yang dokter itu ucapkan adalah kata-kata keramat untuknya.
Dan dengan profesionalnya, dokter perempuan yang berusia 40-an tahun itu, tanpa bertanya, mengapa ia mendapatkan tatapan seperti itu dari suami pasiennya. Menjelaskan dengan cepat, dan menyuruh agar suami pasiennya melihat lagi kearah layar monitor. Agar memperhatikan dengan jelas, dan detail sekali lagi pada layar yang menampilkan anaknya yang tumbuh sehat di dalam sana. Usia kandungan pasiennya Ellah juga sudah masuk lima bulan.
Jelas, sudah dapat di lihat dengan jelas jenis kelaminnya, dan bayi yang di kandung Ella tadi, seakan ingin mengekspos dirinya di dalam sana, kalau ia adalah seorang bayi perempuan, alat vitalnya terpampang dengan jelas di layar monitor. Dalam cetakan juga, terlihat jelas, kalau bayi itu merupakan seorang bayi perempuan.
Dokter itu tau, beberapa kali bahkan sering ia mengalami hal seperti saat ini dengan beberapa pasiennya yang lain.
Masalah jenis kelamin anak. Tapi, sepertinya pasangan suami isteri yang ini yang paling parah.
Jelas, yang laki-laki, suami pasiennya Ella sepertinya tidak suka, ah kata itu terlalu kasar. Suami Ella ingin anak laki-laki, mengharap anak yang di kandung isterinya adalah seorang bayi laki-laki.
Tapi, sayang. Malah bayi perempuan'lah yang di kandung isterinya.
Pelan-pelan, tak tahan dengan keheningan yang tercipta sejak beberapa menit yang lalu. Rasa panas juga ikut yang di tengkuknya, karena tatapan tajam dari orang di belakangnya, yang bahkan mundur seakan menjauh dari pembaringan isterinya, Serkan, yang sedang menatap dirinya tajam di belakang sana.
Sudah cukup, perut Ella sudah bersih dari sisa gel. Domter Liliana juga tak kuasa dengan keheningan yang tercipta dalam tuang kerjanya kali ini. Dokter Liliana akhirnya membuka suara pada Ella yang terlihat terkejut.
Ya, wanita itu sepertinya melamun atau pikirannya entah berada di mana saat ini.
"Sudah selesai, Bu. "Ucap Dokter Lilian dengan nada lembut, dan hangatnya.
Ella menatap seperti orang bingung pada dokter Liliana, dan mendapat senyum menenangkan dari sang dokter.
"Sudah selesai, Bu. Perut ibu sudah bersih dari sisa gel, "Ucap Dokter Liliana sekali lagi, masih dengan nada hangat, dan lembutnya.
Ella menganggukan kepalanya kaku dengan senyum tak enak yang terbit begitu terpkasa, dan terlihat lirih kali ini pada dokter Liliana.
Tak lupa, kedua matanya menatap dengan tatapan takut-takut kearah wajah suaminya, yang masih datar, bahkan lebih datar di saat dokter Liliana yang mengumumkan, dan menunjuk jenis kelamin anak mereka dilayar monitor tadi.
Tak tahan dengan raut wajah suaminya, Ella membuang pandangannya kearah lain. Menurunkan dengan lemas dress longgar yang di singkap dokter sampai di bawah kedua payudaranya. Tapi, belum sempat Ella menurunkan dressnya dengan utuh, menutupi perut, dan kedua pahanya.
Telapak tangan lebar, dan kekar seseorang, segera menahan pergerakan tangannya. Membuat Ella yang membuang wajah ke samping kiri, menoleh kearah samping kanannya.
Tangan suaminya'lah yang menahan pergerakan tangannya barusan, dan sedang menggenggam lembut tangannya saat ini. Sangat lembut, dan terasa sangat nyaman.
"Masss..."Bisik Ella pelan.
"Biar aku yang merapikannya,"Ucap Serkan dengan nada sedangnya. Wajahnya yang datar, perlahan tapi pasti sudah terlihat sedikit rileks, bahkan laki-laki itu, dalam waktu seperkian detik, terlihat menundukkan kepalanya, mendekat pada perut buncit Ella. Menatap dengan jarak yang sangat dekat sekali, sebelum kedua bibir sedikit tebal kecoklatannya. Mengecup lembut, dan lama perut buncit Ella yang sedang menampung anaknya di dalam sana.
"Biar bagaimana'pun juga, kamu tetap anakku. Darah dagingku "
"Walau tak dapat di bohongi, hati kecil papa sangat kecewa di dalam sana."Bisik Serkan pelan.
Tapi, masih bisa di dengar dengan jelas oleh Ella maupun Dokter Liliana. Membuat Dokter itu, perlahan tapi pasti tersenyum senang mendengar ucapan suami pasiennya, sedang Ella? Hatinya sangat lega, dadanya yang sempit, dan terasa sangat sesak tadi, perlahan tapi pasti sudah mulai sembuh, dan tak sesempit tadi.
"Terimah kasih, Mas."Ucap Ella dengan nada harunya.
Di balas oleh Serkan dengan kecupan lembut yang laki-laki itu curahkan pada kening hangat, dan lembut isterinya. Membuat Ella semakin senang, dan merasa tenang detik ini.
Ella sangat yakin, suaminya laki-laki baik, dan penyayang.
****
Ella, dan anaknya ikut menghentikan langkahnya. Di saat dengan tiba-tiba suaminya Serkan berhenti melangkah di samping anaknya Hanin.
Bahkan suaminya terlihat merogoh sesuatu dalam kantong celana bahannya. Karena terburu-buru tak sabar ingin melihat anaknya, mengetahui jenis kelamin anaknya, suaminya bahkan tak sempat masuk ke dalam ke rumah untuk sekedar mengganti pakaiannya.
Ella? Ya, baru pertama kali melakukan USG, semua itu jelas karena permintaan, dan keinginan suaminya. Agar melakukan USG di lakukan di saat usia kandungannya sudah sedikit besar. Jelas, Ella mengiyakan, dan menuruti ucapan, dan kemauan suaminya.
"Mas..."Panggil Ella lembut, suaminya sibuk mengetik sesuatu dalam ponselnya.
Hanin mendongak dalam diam untuk melihat wajah kedua orang tuanya. Panggilan Ella tidak di jawab dengan kata-kata oleh Serkan. Hanya menolehkan kepalanya kearah Ella. Bertanya dengan tatapan matanya pada Ella.
"Kenapa----"
Ucapan Ella, di potong oleh bahasa isyarat yang di lakukan suaminya saat ini, dengan ponsel yang sudah menempel di depan telinganya.
Ella bungkam, membiarkan suaminya berbicara terlebih dahulu pada seseorang yang ada di seberang sana.
Mereka saat ini sudah berada di lobi rumah sakit.
Ella yang ingin menunduk untuk menatap anaknya, urung di lakukan Ella di saat suaminya membuka suara setelah beberapa detik terlewat pada orang di seberang sana, jelas yang berbicara sedari awal panggilannya tersambung dengan suaminya Serkan.
"Hubungi lagi Bapak Ridwan. Urusanku sudah selesai. Tidak begitu penting. Ya, 15 belas menit aku sudah sampai di kantor."
"Siapkan berkas-berkas untuk meeting dengan Pak Ridwan nanti. Cepat! Klik!"Ucap Serkan dengan nada tegasnya, tanpa ingin di bantah sedikit'pun.
Wajahnya beberapa saat yang lalu, terlihat sudah tenang, dan rileks. Detik ini, kembali terlihat datar, bahkan sangat datar.
Ella? Wanita itu menatap suaminya bingung. Rumahnya dengan rumah sakit ternama di kota yang mereka pijak saat ini sedikit jauh dengan rumah mereka. Nggak mungkin, kan? Suaminya mengantar dulu dirinya? Lalu balik lagi ke kantornya dalam waktu lima belas menit.
"Mas..."
"Ya, Ella?"Jawab Serkan cepat.
Anaknya Hanin yang super pendiam. Masih setia mendongak. Menatap dalam diam, bergantian kearah wajah mama, dan papanya.
"Nggak mungkin Mas bisa sampai dalam waktu lima belas menit ke kantor."
"Aku nggak mau mas ngebut. Nanti ada apa-apa lagi di jalan menuju kantor. Aku nggak mau sesuatu hal yang tidak di inginkan terjadi pada mas pada saat perjalanan menuju kantor---"
"Nggak akan terjadi apa-apa, Ella."Potong Serkan cepat ucapan dengan nada panik, dan khawatir isterinya, Ella.
" Jarak kantor sama rumah sakit ini dekat, Mas akan sampai dalam waktu lima belas menit."Ucap Serka lagi. Wajahnya yang datar, Alhamdulillah sudah kembali rileks, dan terlihat tenang.
Laki-laki itu, seperti seseorang yang memiliki riwayat penyakit bipolar saat ini. Raut wajahnya dalam waktu seperkian detik bisa berubah-rubah.
"Iyah, Mas. Aku dan Hanin tunggu di ruangan Mas, ya, nanti? Meeting di kantor?"Tanya Ella dengan nada lembutnya.
Serkan kali ini diam. Tak menjawab ucapan Ella. Laki-laki itu terlihat memasukan kembali ponsel ke dalam saku celananya.
Dan terlihat merogoh sesuatu yang lain ke kantong yang ada di belakang tubuhnya.
Sebuah dompet. Ella menatap suaminya bingung. Tapi, raut bingung, dan bertanya Ella hilang di saat suaminya berkata beberapa patah kata, dan otak pintarnya langsung paham apa maksud ucapan suaminya.
"Mas lihat kamu nggak bawa dompet tadi. Cukup'kan 200 ribu buat bayar taksi? Hanya 200 ribu uang cash yang ada dalam dompet, Mas."Ucap Edgar dengan nada santainya kali ini. Dan mengulurkan dua lembar uang merah pada Ella, yang tak langsung di terima Ella.
Wanita itu menatap suaminya dengan tatapan tak percaya, dan pahit dengan apa yang ia dengar barusan.
"Aku...Aku, dan Hanin pulang naik taksi? Tanpa...Tanpa Mas? Gitu?"Tanya Ella dengan kata-kata terbatanya.
Mendapat anggukan mantap dari Serkan.
Ella lama, membuat Serkan akhirnya memberi uang itu pada anaknya Hanin yang di ambil Hanin dengan patuh.
"Baik-baik sama mama. Papa buru-buru, ya. Cup!"Ucap Serkan dengan nada lembutnya, dan satu kecupan singkat mendarat di kening Hanin.
Serkan melangkah tergesa, meninggalakn Hanin, dan Ella yang masih membeku tak percaya dengan apa yang suaminya lakukan pada dirinya, dan kedua anaknya saat ini.
Meeting dengan Pak Ridwan lebih penting, di saat Serkan sudah mengetahui jenins kelamin anaknya. Bukan laki-laki. Malah perempuan lagi. Membuat Serkan marah dan kesal mengetahuinya.
Dan laba dari Pak Ridwan, tidak main-main. Jumlahnya sangat-sangat besar, dan sangat menguntungkan dirinya.
mengobati hatinya yang kesal dan sakit. dia ingin anak laki-laki. tapi, malah anak perempuan lagi yang istrinya kandung, untuk ke tiga kali dengan ini. sialan!
Tbc